50 of the Best Things of Mine

Yap, Life is beautiful. Ada saat senang atau susah. Klise tapi begitulah adanya. Pengalaman dalam hidup mengajarkan seseorang untuk jadi pribadi yang lebih baik. Dan yang namanya belajar, pasti ada saat yang tidak menyenangkan. Tapi kalo lulus ujiannya, insya Allah kita akan naik satu level lebih baik. Ada banyak hal yang terjadi dalam hidup. Berikut adalah keisengan saya mengingat hal-hal terbaik yang menjadi bagian dari hidup. (and it will still count on),

  1. Being Muslim
  2. Mom and Dad, they’re the most precious love I have
  3. Saat berkumpul bersama keluarga besar pada saat Idul Fitri. Selalu ada berita terbaru tentang apa yang terjadi setelah sekian lama tidak bertemu.
  4. Smartphone dan free wifi
  5. Indomie goreng istimewa
  6. Ciuman pertama
  7. Perjalanan dari Kondang Merak ke Balekambang bersama teman-teman sekelas “Geng Ijo”
  8. The Lord of the Rings franchise
  9. Makan buah mangga muda
  10. Sarapan Sayur bening bayam dan penyet tempe
  11. Petrichor: aroma tanah saat hujan turunPetrichor
  12. Aroma kopi
  13. Melewati lembah di desa Doulu, Kab, Karo dimana disitu terdapat Pabrik Aqua. Menikmati hijaunya pemandangan dataran tinggi karo dari bis Sutra
  14. Menikmati sunset di sepanjang pantai menuju pelabuhan Tenau, Kupang
  15. Mie Ramen dan Sushi
  16. Fany Safriansyah
  17. Pernah menjadi bagian dari The Darmadji
  18. Perasaan bahagia setelah menolong orang, walau sekecil apapun… pernah mengalami ini kan?
  19. Mengapung di pantai Tanjung Aan, Lombok pada sore hari. Ketika matahari sudah tidak terik, dan permukaan air tenang
  20. Mentari Pagi di Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (from any part of it)
  21. Cute KittenAwww
  22. Stalking media social seseorang yang kutaksir
  23. Tidur siang yang nyenyak. Saat bangun tidak terganggu oleh kebelet pipis
  24. Pas niat shopping, pas ada item yang bagus, dan pas ada duit
  25. Menangis haru saat nonton film di bioskop. Film-film yang sukses membuatku menangis seperti the Iron Giant, The Lord of the Rings: The Return of the King, Inside Out, Big Hero 6, dll.
  26. Menemukan barang atau foto lama, yang membuat kembali mengenang masa lalu26649_111031378907710_3172239_n
  27. Tertawa bersama orang-orang terkasih
  28. Secangkir teh hangat saat kena flu. Plus lemon dan madu… hmmmm…
  29. Nasi Padang langganan di Jl. Cik di Tiro, Medan (warung kaki lima pas di perempatan). Ga tahu sih apa masih jualan atau nggak
  30. Suasana sejuk yang dibawa oleh hujan
  31. Sepatu Converse lawas yang ga pernah dicuci, namun masih awet dan enak dipakai
  32. Berenang jam 12 malam di kolam renang hotel Sinabung Berastagi, Sumatera Utara
  33. Pengalaman telat check in di bandara Hang Nadim Batam. Ditungguin penumpang satu pesawat.. hehe
  34. Five Monkeys Burger (Saya bukan fan burger tapi burger mereka paling enak – versi saya loh)
  35. Ketika tiba-tiba Radio muter lagu lawas yang pernah jadi favorit, dan sudah lama tidak mendengarkan
  36. Ayat ini:

    QS. Ar Rahman

    QS. Ar Rahman

  37. Saat bokek lalu tiba-tiba menemukan uang di saku celana
  38. Battlestar Galaktica Universal Studio Singapore
  39. Aero Test Jatim Park I
  40. Bermain bersama anak-anak
  41. Ngikutin cerita Naruto sampai habis
  42. Chocolate – Darker is better
  43. Mengunjungi Museum Ullen Sentalu di Kaliurang, Jogja
  44. Pengalaman snorkeling pertama di Pulau Menjangan, Taman Nasional Bali Barat bersama rombongan Couchsurfing Malang
  45. Mengumpulkan karcis bioskop film yang pernah kutonton
  46. Menjadi penyiar radio kampus
  47. Pengalaman salah naik kereta api. Harusnya jurusan Kediri  langsung ke Surabaya, tapi malah naik Kediri – Tulungagung – Blitar – Malang – Surabaya
  48. This Moment207105_199897653376949_641003_n
  49. Naik pesawat untuk pertama kalinya
  50. Kutipan inikindness-is-the-language-which-the-deaf-can-hearWhat’s yours?

Numpak Sepur nang Ambarawa

Selama 2 hari jalan-jalan di Semarang, hampir semuanya berhubungan dengan kereta api. Bisa dibilang, tema perjalanan ini memang tentang kereta api.

Perjalanannya sih udah seminggu yang lalu, tapi karena untuk mulai menulis itu terpengaruh mood, jadi molor. Yang suka menulis pasti pernah merasakan deh.

Berangkat bertiga dari Surabaya naik kereta api ekonomi Maharani jurusan Surabaya Pasar Turi ke Semarang Poncol, kami menempuh perjalanan dari jam 6 pagi hingga jam 11 siang. Walaupun ekonomi, kereta api sekarang sudah enak karena berAC, ga ada pedagang keliling, dan semua dapet tempat duduk. Yah, sebagai gantinya, mesti siap2 bahan makanan biar mulut ga asem.

Ini adalah kali pertama saya mengunjungi Semarang. Dan tujuan utamanya adalah Museum Kereta Api di Ambarawa. Namun karena kami sampai di Semarang sudah siang, maka tidak mungkin kami langsung ke Ambarawa. Bisa sih, tapi agenda naik kereta api wisata nya tidak akan kekejar. Lha wong tujuan ke Ambarawa untuk naik kereta api itu.

Maka pit stop pertama (setelah dapet kasur buat tidur), adalah Lawang Sewu, yang tidak jauh dari hostel kami di jalan Imam Bonjol. Cukup berjalan kaki saja.

Lawang Sewu saat sore hari

Lawang Sewu saat sore hari

Lawang Sewu yang ikonik ini memang memiliki banyak pintu, walau ga sampai 1000 buah. Bangunan yang desainnya cantik ini dulunya adalah kantor perusahaan kereta api Nederlands Indische Spoorweg Maatschappij atau NIS. Dibangun pada tahun  1904 dan selesai pada tahun 1907. Terletak di bundaran Tugu Muda yang dahulu disebut Wilhelminaplein. Disini, banyak spot bagus buat selfie atau foto rame-rame. Dan tentu saja, di dalam bangunan bersejarah ini, pengunjung bisa membaca cerita tentang perjalanan sejarah kereta api di Indonesia. Jujur, saya tidak banyak membaca informasinya. Hanya sepenggal-penggal. Itupun langsung lupa begitu keluar dari sana. Hahahah.. akhirnya googling lagi deh.

Konon katanya Lawang Sewu ini memiliki cerita mistis, well.. sepertinya udah memudar deh mitos itu. Setidaknya, saat saya disana malam hari, malah bagus tuh buat foto-fotoan. Karena di dalam gedung, cahaya lampu malah bikin cantik. Tapi ga tahu juga sih, mungkin pengalaman orang lain beda lagi. Mungkin kalo ikutan tur yang bawah tanah itu, akan terasa suasana sejarahnya. Sayang, tur bawah tanah sedang ditutup karena renovasi.

Lawang Sewu after Maghrib

Lawang Sewu after Maghrib

Saat yang pas menurut saya berkunjung ke Lawang Sewu, adalah sore menjelang maghrib hingga after maghrib. Mulai sekitar jam 4.30 sorean hingga jam 7 malam. Jadi bisa membedakan suasana saat cahaya matahari masih menyeruak diantara tembok-tembok dengan suasana ketika langit telah diambil alih oleh kegelapan. Bagi yang muslim, tenang, ada ruangan di belakang yang disediakan untuk menunaikan sholat maghrib. Jalan-jalan itu perlu, tapi ibadah itu ga boleh ditinggal… (pesan dari teman)

Dari Lawang Sewu, kami mencari makan malam di Simpang Lima yang rame banget. Oh, saat itu malam minggu, pantes. Dapetnya nasi kucing lesehan yang ruame banget. Harganya cuma 2.000 Rupiah, tapi isinya yah, sesuai harganya lah. Kalo mau nambah lauk, ya bayar lagi. Ala angkringan di Jogja itu loh. Sudah lama sekali saya tidak melakukan hal yang biasa saya lakukan saat jalan. People Watch. Duduk manis di lesehan sambil minum teh, sambil mengamati orang-orang disekitar, orang-orang yang berlalu lalang. Tuh, ada sesama rekan traveler yang juga lagi nyari makan, ada penjual mainan, ada yang pacaran, ada 2 cowok yang janjian ketemuan… ehem (tertangkap radar), ada yang membawa keluarganya, ada yang salah kostum, dll.

Bagian terbaik yang paling saya suka dari act like local, adalah di alun-alun Simpang Lima nya, beli mainan yang ditembakkan ke atas seperti ketapel, tapi yang ditembakkan itu seperti mainan terjun payung yang saat jatuh dia berputar2. Karena dipasangin lampu diode kecil yang bisa berganti warna, maka saat berputar, lampunya menimbulkan efek cantik. Nah, kami mainan itu, persis seperti anak-anak kecil disana.

Kami berangkat ke Ambarawa dari depan Stasiun Poncol naik bis mini jurusan Bawen. Sebenernya nunggu di depan hostel bisa, tapi sambil nyari ATM akhirnya jalan deh. Harusnya, ada bis langsung ke Palagan, Ambarawa. Nama bisnya Putra Palagan. Namun karena kami mendapat informasinya kurang banyak (Cuma tanya ke petugas di hostel dan tukang parkir) jadinya kami naik bis ke Bawen. Dari Bawen oper bis lagi, lupa namanya, turun di depan museum Palagan, Ambarawa.

Jalan sebentar ga sampai 10 menit, kami sudah sampai di museum kereta Api Ambarawa. Dan langsung menuju loket kereta api wisata. Setelah mengantri agak lama karena jadwal jam 10.00 sudah habis, kami dapat tiket untuk jadwal jam 12.00.

Sambil menunggu jadwal selanjutnya, kami puas-puasin foto-fotoan di koleksi kereta api uap yang sudah tidak beroperasi. Karena sudah tua tentunya. Koleksinya cukup bagus dan terawat, beberapa jenis loko ada disana. Bahkan loko yang ada di pintu masuk, sengaja “dinyalakan” biar menambah efek dramatis. Loko-loko tersebut masih menggunkana bahan bakar kayu. Jadi petugas yang menyalakan “kereta uap” nya kudu kerja beneran memasukkan kayu ke tungku apinya.

Kereta api wisata Ambarawa hanya terdiri dari 3 “gerbong” yang tempat duduknya terbuat dari kayu. Dengan jendela terbuka full Angin Cepoi-cepoi. Walau namanya kereta wisata, tapi menggunakan karcis resmi PT. KAI, hanya saja, tidak perlu nama asli dan menunjukkan ktp saat naik. Tapi, saat kereta berjalan, pemeriksaan tiket oleh pak kondektur benar-benar dilaksanakan.

Kereta Api wisata ini berangkat dari stasiun Ambarawa (Museum Kereta Api ini sebenernya adalah stasiun Ambarawa yang dulunya dikenal sebagai Willem I) menuju stasiun Tunteng. Kereta berjalan dengan pelan mengingat selain usianya yang sudah sepuh. kereta api ini menggunakan bahan bakar diesel. Sepanjang perjalanan, penumpang disuguhi pemandangan sawah yang hijau dan danau yang juga hijau karena dijajah oleh enceng gondok. Dengan latar gunung Merapi. Pemandangannya, suasananya, bagus sih.. asri, sejuk, adem, bikin ngantuk.. hahha..

Choo chooo

Choo chooo

Dengan tiket seharga Rp. 50.000, kita bisa menikmati perjalanan dengan kereta api antik tersebut selama kurang lebih satu jam. Lumayan menarik lah untuk membawa keluarga berwisata. Oh ya, sebaiknya datang lebih pagi karena untuk menghindari habisnya tiket kereta. Karena perjalanan kereta hanya dilakukan pada hari Minggu dan hari Libur Nasional. Dengan jadwal jam 10.00, 12.00 dan 14.00 saja.

Kereta Api Wisata

Kereta Api Wisata

20150802_104831

Satu hal yang menjadi ciri khas beberapa stasiun yang pernah saya singgahi adalah theme song dari stasiun itu. Seperti halnya di stasiun gubeng atau pasar turi yang kerap memutar lagu Surabaya oh Surabaya, atau di stasiun Yogyakarta memutar lagu Yogyakarta, di Stasiun Tawang Semarang juga tak mau kalah. Theme songnya adalah Gambang Semarang. Ditambah penampilan musisi-musisi yang menghibur para calon penumpang yang sedang menunggu jadwal keberangkatan kereta mereka. Enak juga loh, sambil menunggu, mendengarkan alunan music keroncong. Bisa request lagi.

Dari Semarang Tawang, kereta Kertajaya kami berangkat jam 9 malam. Walau berangkat malam, semua seat kereta 8 gerbong ini full. Dan Alhamdulillah, di bangku seberang saya, ada cowok yang menurut saya menarik. Tipeku banget deh, Hahaha.. lumayan buat pemandangan. Hahaha.. Sepertinya, dia dan rombongan teman-temannya juga sedang melakukan perjalanan. Sayang, dia bersama rombongan, coba kalo sendiri,,, eh, ga berani ah… hahaha

 

 

Belajar Budaya dan Seni di Ullen Sentalu

Ulating Blencong iku Sejatine Tataraning Lumaku

Ulating Blencong iku Sejatine Tataraning Lumaku

“One destination is never a place, but a way to see new things” – Henry Miller

Itulah salah satu pengingat saya ketika merencanakan sebuah perjalanan. Setelah cukup lama saya berkutat dengan tagihan-tagihan di meja kerja, tiba waktunya bagi saya untuk sejenak meninggalkan kantor dan melihat hal-hal baru. Dan hal baru itu adalah Museum Ullen Sentalu.

Awalnya, secara tidak sengaja saya “menemukan” museum ini ketika iseng googling tempat-tempat wisata April lalu. Saya lupa tepatnya bagaimana, sepertinya dari twitter sih. Ulasan tentang tempat ini cukup bagus. Di trip advisor pun juga tampak menarik. Seminggu kemudian saya confirm memesan tiket kereta api dari Jogja ke Surabaya.

Yes, Saya hanya memesan tiket balik dari Jogja ke Surabaya. Karena rencananya, saya berangkat sabtu malam naik bis umum supaya sampai Jogja nya Minggu pagi. Minggu sore langsung balik ke Surabaya. Ketika hal ini saya sampaikan ke teman, mereka langsung bereaksi, apa ga capek? Ya, mungkin saja, tapi memang begitulah rencananya. Saya berniat melakukan perjalanan sendiri dan tidak menginap. Saya bisa saja menginap atau menghubungi teman-teman di Jogja supaya lebih mudah menikmati jalan-jalan ini. Tapi tidak, saya ingin menantang diri saya lagi, setelah cukup lama tidak melakukan perjalanan sendiri, atau yang kadang disebut solo traveler.

Museum ini letaknya di Kaliurang, Sleman, Jogjakarta. Menurut informasi dari web yogyes, blog dan beberapa artikel di internet, untuk menuju kesana sebaiknya menggunakan kendaraan pribadi atau sewa. Bagi yang ingin menggunakan transportasi umum bisa, namun minim info. Hanya disebutkan, dari Halte Kentungan TransJogja, naik mobil elf, turun di pertigaan hostel Vogel. (sampai saya balik ke Jogja, saya ga nemu hostelnya.. lol).

Saya sampai di Jogja ketika hari Minggu baru dilahirkan. Sebenarnya ada angkutan umum dari Giwangan yang langsung ke Kaliurang. Tapi, saya melipir dulu ke kawasan Malioboro untuk mencari sarapan. Duduk-duduk dulu sambil menikmati pagi di Malioboro. Melakukan people watch… yang ternyata banyak juga para traveler berlalu lalang di sepanjang jalan itu.

Petunjuk dari Mbah Internet adalah naik Bus Transjogja turun di halte kentungan. Udah itu aja. Di lapangan, dari Malioboro saya naik transjogja jurusan 3A, turun di halte Ngabean, oper jurusan 3B, turun di halte Kentungan. Pokoknya kalo ga ngerti rutenya, tanya aja sama mbak mas petugas TransJogja, mereka dengan ramah memberi informasi. Di dalam bisnya juga ada petugas yang mengingatkan dimana kita mesti turun.

Dari halte kentungan, saya naik mobil elf tua. Saya pasrahkan sama pak sopir untuk turun di pertigaan hostel Vogel. Saya juga sampaikan mau ke Ullen Sentalu biar lengkap. Tapi rupanya, karena penumpangnya sedikit, dan akhirnya tinggal saya, sedang perjalanan masih jauh, lalu saya diturunkan di depan pasar Pakem dan disuruh oper ke mobil bison yang sedang ngetem disitu. Dioperin ini tetep bayar loh ke mobil elf nya. Rp. 10.000!

Akhirnya, saya sampai juga di pertigaan hostel Vogel yang tidak saya temukan itu. Rupanya, supaya lebih gampang, turunnya di taman Kaliurang. Dari situ jalan sebentar hingga sampai di Museum.

Ok, jam menunjukkan sudah pukul 9.30 pagi. Dan antrian untuk memasuki museum udah lumayan banyak. Semuanya rombongan kecuali saya yang seorang diri. Karena untuk masuk ke museum ini harus dalam grup dengan pemandu, maka saya digabungkan dengan rombongan 10 orang dari Jakarta dan 5 orang dari Samarinda. Saya pengen ikut grup dari belanda tapi mereka lebih lama menunggunya. Momen yang menyenangkan adalah ketika saat masuk, kami dipanggil dengan diabsen, kalo yang lain disebut jumlah orang dan dari kota mana, saat giliran saya, dipanggil 1 orang dari Malang. Saat itu juga semua mata menatap saya.

Seperti yang diketahui, masuk ke dalam museum ini dilarang mengambil gambar, dilarang menggunakan HP. Sebenarnya, inilah yang membuat saya penasaran. Apa bagusnya hingga dilarang mengambil gambar. Dan ternyata bagus banget. Menarik. Sepanjang tur dalam museum, saya menikmati penjelasan si guide yang cukup fasih menjelaskan dan menjawab pertanyaan. Selain itu juga menikmati koleksi-koleksinya. Dan tentu saja, ada banyak informasi baru yang membuat peserta berkata “Oooo..”. Pelajaran: Budaya Jawa itu indah dan banyak filosofi yang baik.

Tur selama satu jam terasa singkat. Sepertinya masih kurang. Ingin lebih lama lagi. Terutama di ruang romantisme Gusti Nurul, putri dari keraton Mangkunegaran, yang menampilkan puisi-puisi beliau. Dan masih ingin mengagumi arsitektur bangunan yang keren. Atau menikmati suasana magis di gua sela giri nya.

Di lokasi terakhir kami diperbolehkan berfoto-foto. Disitu terdapat replika salah satu relief dalam candi Borobudur yang sengaja dipasang dengan posisi miring sebagai kritik terhadap anak-anak muda yang tidak peduli dengan budaya bangsanya.

Replika Relief Candi Borobudur

Replika Relief Candi Borobudur

Setelah mengikuti tur, saya mengintip sebentar ke Muse, toko souvenirnya. Buset, baju batik nya paling murah Rp. 600.000!. Tapi ga tau kenapa, kok saya malah beli sebuah buku dengan judul Punakawan Menggugat. Niatnya cuma ke Museum dan Beukenhof, eh, keblinger beli buku. Ya sudah, lumayan ntar buat membunuh waktu dikereta.

Beukenhof, tujuan saya selanjutnya. Yaitu restoran yang juga ada di kawasan Museum ini. Open order jam 11 siang. Tepat setelah tur saya selesai. Karena baru buka, jadi sepi sekali. Rombongan yang saya ikuti tadi sibuk berfoto-foto dilokasi pintu keluar, sedang saya naik ke restoran ini. Restorannya bagus, desainnya cantik, ada balkonnya juga. Dari balkon kita bisa melihat taman “cupid”. Bisa memotret taman itu dari balkon, karena saat tadi tur melewati taman itu, kita masih dilarang mengambil gambar.

The Garden

The Garden

Kawasan Kaliurang berada di dataran tinggi. Lokasi dan penataan Museum yang asri membuat suasana tampak teduh dengan udara yang segar. Diiringi lagu gamelan jawa, tambah adem ayem.

Saya memesan Chicken Pesto Spaghetti (Rp. 58.000 + tax). By the way, Resto ini menyediakan menu western food dengan harga yang agak mahal. haha…. tapi, rasanya enak kok.

Chicken Pesto Spaghtetti

Chicken Pesto Spaghtetti

20150531_104402

Perjuangan saya selanjutnya adalah balik ke Jogja. Saya menunggu hingga 1 jam sampai angkutan umum yang berupa mobil elf itu muncul. Eh, rupanya saya dioper lagi di pasar Pakem karena tidak ada penumpang lain selain saya. Di pasar itu, si elf ngetem cukup lama sampai saya tertidur! Walau mungkin tertidur cuma sebentar, saat bangun, anehnya saya merasa lumayan segar. hahaha… Saya terbangun gara-gara mobil berangkat dan saya diketawain oleh sopirnya.

Sampai di Jogja, saya masih harus naik transjogja. Oper 2 kali juga. Dari halte kentungan naik 2B turun di condongcatur, lalu naik 3A turun di stasiun tugu. Masalahnya, saat itu Malioboro dan Mangkubumi sedang ditutup karena ada festival apa gitu. Maka bis transjogja hanya sampai halte Samsat. Dari situ, penumpang yang ke Malioboro atau ke tugu, mesti jalan kaki kurang lebih 15 menitan. Atau naik becak.

Seorang teman berkata, “nanggung banget cuma sehari”, “hah, jauh-jauh ke Jogja cuma ke Museum?”.. well, bagi saya ini bukan tentang berapa lama perjalanan, atau berapa banyak tempat yang dikunjungi, tapi.. ini tentang saya mendidik diri saya.

Puisi itu berjudul B29

Morning at B29 (Photo by Kus Andi)

Morning at B29 (Photo by Kus Andi)

Seperti puisi tentang sebuah lukisan alam yang indah, tidak terlalu berlebihan jika B29 disebut sebagai Negeri diatas Awan. Keindahan yang memang mempesona. Letaknya yang lebih tinggi daripada gunung Bromo, menawarkan pemandangan yang elok. Terutama ketika momen berada “di atas” awan. Siapa tidak merasa di negeri diatas awan ketika gumpalan awan putih membentang di bawah kaki kita. Belum lagi ketika matahari terbit, cahayanya yang hangat melengkapi lukisan pagi oleh alam.

Namun, walau keindahan pemandangan di puncak B29 itu laksana puisi, perjalanan menuju kesana menawarkan cerita yang lain. Sebuah petualangan dan tantangan. Saya sebenarnya lebih adem naik Battlestar Galaktica di Universal Studio Singapore 10 kali dibanding naik ojek dibawah guyuran hujan menuju puncak B29. Yap, untuk menuju puncak bukit ini, anda bisa mencapainya dengan pilihan: motoran, hiking atau naik ojek.

Disebut B29 karena sebenarnya ia adalah dataran tinggi 2900m dpl. Terletak di desa Argosari, Lumajang. B29 merupakan bagian dari kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru.

Nah, Sebelum sampai di desa Argosari, starting poin menuju bukit B29, saya dan 2 teman saya naik ojek dari Pasar Senduro, Kota Lamongan. Kami memang sengaja memilih melakukan trip ini dengan menggunakan kendaraan umum. Dari pasar hingga desa Argosari ternyata jalannya sudah cukup bagus dan beraspal. Namun sayang, hujan mengguyur kota Lamongan sejak kami tiba disana sekitar jam 2 siang. Maka kamipun nekat ngojek dibawah hujan. Tukang ojeknya sih pake jas hujan, tapi kami hanya bermodal jaket biasa (bukan jaket gunung yang anti air), untungnya dari pasar hujan hanya gerimis walau intensitasnya lumayan sedang.

Jalan semakin meninggi, dan mulailah berkelok-kelok. Yap, tipikal jalan di gunung atau dataran tinggi. Badan jalan tidak terlalu besar dan berkelok-kelok. Semakin naik, kabut semakin menebal, hingga jarak pandang sangat dekat. Tukang ojek saya sampai mengurangi kecepatannya. Kami menerobos kabut tanpa tahu disebelah kanan atau kiri itu seperti apa. Kata tukang ojeknya sih pemandangannya bagus. Bahkan Semeru aja bisa kelihatan. Tapi kabut menutup itu semua. Duh, udah dingin, basah, dikelilingi kabut tebal, jalan yang menantang adrenalin, mantap.

Kami berhenti di desa Argosari. Tidak jauh dari Gapura desa. Kami menghangatkan badan dulu di sebuah warung sambil makan indomie kuah panas. Hujan masih belum berhenti. Pak Tukang ojek menawari pilihan menginap di rumah warga (Rp. 50.000 per orang per malam) atau langsung naik ke puncak dengan ongkos Rp. 80.000 per orang PP. Kalo tidak hujan bisa dinego jadi Rp. 50.000.

Setelah berdiskusi, kami memutuskan untuk nekat naik ke atas. Informasi yang kami dapatkan, diatas ada warung-warung yang buka 24 jam. Jadi kami berpikir, sudahlah, kita nongkrong aja di warung sampai fajar. Rencana awalnya sih mengejar momen sunset. Namun hujan udah keburu menghapusnya.

Jika perjalanan dari Pasar sudah beraspal, maka dari starting poin ke puncak, jalannya adalah Makadam. Masih tanah dan berbatu. Karena hujan, otomatis jalan menjadi basah dan licin. Modal nekat itupun berubah menjadi uji adrenalin saat ngojek menuju puncak. Bagaimana tidak, jalannya kecil, basah, banyak yang berlubang, dan ditepi jalan adalah bagian tanah yang curam. Mana tukang ojek nya sering memilih mengendarai motornya di bagian tepi jalan. Hanya sekian senti dari bibir jalan. Kalo motor itu terpeleset, bisa dipastikan saya atau teman-teman saya plus tukang ojeknya, jatuh ke bawah.

Dari pos desa Argosari menuju puncak jaraknya cukup jauh. Selama ngojek saya hanya bisa berdoa semoga tidak jatuh ke dasar bukit yang curam itu. Tapi sambil menikmati pemandangan yang hijau dan indah. Jadinya ngeri-ngeri sedap. Lalu kami pun diturunkan sekitar 2 km dari puncak, karena jalan semakin licin. Maka kamipun melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki. Untungnya, kali ini hujan sudah reda.

See the Road (Photo by Kus Andi)

See the Road (Photo by Kus Andi)

Tiba di area warung-warung ketika hari sudah gelap. Kami langsung mencari warung yang direkomendasikan oleh tukang ojek kami. Kebetulan saat itu ada beberapa anak UNAIR yang KKN di Probolinggo sedang ngetrip juga ke B29. Namun mereka batal pulang hari itu karena hujan. Singkat cerita, berkenalanlah kami dengan mereka. Berbagi pawon (semacam tungku untuk memasak dengan kayu sebagai bahan bakar) untuk menghangatkan badan. Untungnya, warung itu lumayan lebar untuk menampung kami. Beberapa anak tidur di dipan berselimut hangat. Ada yang tidur dibawah meja untuk jualan. Yang lain menghangatkan diri di perapian.

Melihat mas pemilik warung yang welcome, kami menyewa sleeping bag untuk tidur. Tidurnya diatas bangku di warung itu. Saya menyewa sleeping bag karena tidak tahan dinginnya malam. Dan asap dari perapian yang memedihkan mata. Lumayan bisa tidur sekitar 4 jam diatas bangku bambu. Tapi yah, tidurnya antara sadar dan ngantuk.

Sekitar jam setengah empat kami naik ke puncak. Jarak dari warung ke puncak dekat kok. Disana sudah banyak pengunjung yang mendirikan tenda-tenda. Kami membeber jas hujan salah seorang anak Unair sebagai alas duduk dan berbaring sambil memandang langit penuh bintang. Ya… setelah sekian lama, akhirnya saya bisa menyaksikan langit bertabur bintang. Sedang dibawah sana, kelap-kelip lampu kota juga tak kalah indahnya. Dari puncak, kami bisa melihat kota Lumajang yang masih terlelap, dan siluet gunung Batok dan Bromo.

A Sky full of Stars (Photo by Kus Andi) You can see more pictures at his IG : sayakusandi

A Sky full of Stars (Photo by Kus Andi) You can see more pictures at his IG : sayakusandi

Tak lama kemudian, perlahan-lahan, cahaya keemasan menyeruak diantara awan hitam. Good morning sunshine…

the Sun rises

the Sun rises

20150201_054132

Walau awan yang terbentuk tidak sebanyak yang saya lihat diinternet, tapi tidak masalah. Karena lukisan pagi itu luar biasa. Udara pagi yang sejuk membelai mesra. Sinar mentari hadir menghangatkan jiwa. Semeru yang agung berdiri kokoh disana, menyapa para pecinta negeri ini. Dan keindahan yang terbentang di depan mata, menggetarkan hati. Ok, mungkin saya agak lebay, tapi Saya percaya, ketika menciptakan Bumi ini, Tuhan pasti sedang tersenyum.

Burger (lagi!)

Beberapa catatan terakhir saya berhubungan dengan makanan terus. Padahal saya bukanlah seorang food blogger, hanya pecinta makanan yang suka berbagi.. halah. Dan kali ini pun catatan saya masih seputar dunia kuliner.

Berawal dari sudah lama ga main-main ke sutos, kemarin saya kesana bersama seorang teman yang niatnya ngebir. Sempat mampir di Holycow namun ga jadi makan steaknya (yang Wagyu) itu. Bukan karena harganya yang mahal (ehem.. padahal ntar juga dibayarin temen :P) tapi teman saya kecewa karena resto itu tidak menyediakan bir atau wine, yang biasa diminum untuk menemani steak. Well, sepertinya sih resto itu emang family friendly. Maka kunjungan kesana ditunda lain hari saja.

Lalu mampirlah kami ke U cafe Eatery and Beer. Resto yang tergolong pemain baru di kecamatan Sutos ini. Karena jamnya masih jam 5 sore, resto ini sepi. Hanya kami berdua.

Space nya sih enak, luas, lapang, terbuka, dan ga terlalu banyak ornamen yang malah membuat resto keliatan tersekat-sekat. Menunya seputar menu western. Tidak terlalu banyak pilihan, namun cukup lengkap mulai dari Salad, Soup, hingga Main Course. Untuk menu “life style” nya ada pilihan Sandwich dan Burger. Ada juga menu breakfast yang didominasi kreasi telur seperti Egg Benedict yang femes itu. Sayangnya hari sudah sore, jadi menyantap Egg Benedict saat sore hari agak aneh. Kami memesan Parisien Burger dan Sandwich Sapler.

Parisien Burger

Parisien Burger

Parisien Burgernya datang dengan ukuran gede. Daging patty nya tebal. Ada tambahan telur mata sapi dan tentunya, sayuran standar seperti lettuce, Onion dan Tomat. Secara keseluruhan rasanya lumayan, tapi masih ada yang lebih sedap darinya.

Parisien Burger

Parisien Burger

Sandwich Sapler

Sandwich Sapler

Sandwich Sapler terdiri dari 3 macam pilihan. Sandwichnya sendiri sederhana. Dua tangkup roti yang diisi mozarella yang leleh. Disajikan dengan topping 2 buah meatball yang cukup enak juga. Bagian ini yang paling enak dari menu ini. Bagian keduanya adalah potongan roti dengan topping sayuran dan disiram saus (seperti saus barbeque?), dan bagian ketiganya, potongan roti dengan topping beef black pepper sauce. Sayangnya, daging sapi dan saus black peppernya disajikan dalam keadaan dingin!!! padahal sandwichnya masih terasa hangat dan mozarella nya lumer. Tapi beefnya dingin. Apa mungkin beef ini sudah diprepare trus mereka lupa menghangatkan.. uuh, sayang sekali. Kalo hangat, mungkin terasa enak.

Sandwich Sapler

Sandwich Sapler

Menemani burger dan sandwich nya, disajikan pula sebucket kecil french fries. Harga Burger dan Sandwich masing2 yaitu IDR. 50K. Untuk pilihan minuman, dari jus hingga liquer, cocktail dan mocktail ada kok.

Five Monkeys, My New Favorite Burger

Picture was taken from Google (kura2guide.com)

Picture was taken from Google (kura2guide.com)

Sebenarnya sudah sejak tahun lalu teman saya mengajak ke tempat ini. Namun tahun lalu (akhir 2013) ketika jalan-jalan ke Legian, Bali, resto ini sudah tutup karena waktu sudah menunjukkan jam 12.00 (kami pikir karena lokasinya di Legian, maka ngikut klub-klub tetangganya.. hehe). Nah, pas pergantian tahun 2014 ke 2015 kemarin saya berkesempatan untuk jalan-jalan di Bali (lagi). Kali ini saya sudah mempersiapkan diri untuk datang ke resto ini lebih awal. yaitu jam 7 malam.

Five Monkeys namanya. Mendengarnya saja sudah ear catching. Pas juga dengan nama akun social media saya yang menggunakan kata Monkey. Lokasinya di Jl. Legian, Bali. Tidak jauh dari Sun Island atau Love F hotel. Restonya kecil, memanjang ke belakang. Namun tempat ini asik buat nongkrong. Di teras disediakan meja dan kursi buat yang suka menikmati udara Kuta sambil melihat orang berlalu-lalang. Atau yang ingin adem, bisa ke bagian dalam yang berAC. Suasana restonya lucu. Meja dan kursi dari kayu dengan desain antik, namun pas dengan warna temboknya. Di dindingnya sendiri dipajang beberapa poster lawas sebagai pemanis ruangan. Dan meja bar memanjang buat nongkrongin staff nya. Yep, Burger atau Hot Dog anda dimasak di depan anda. Menarik.

20141231_203354(1)

Five Monkeys, Fresh Burgers and Cold Beers. Pilihan menunya tidak banyak, ada beberapa pilihan Burger dan Hot Dog. Ada juga menu combo Burger atau Hot Dog dengan Bali hai Beer. Sayangnya, ketika saya kesana, Hot Dognya sudah sold out! Baru jam 7 malam itu… Padahal saya udah siap menyantap itu. Akhirnya saya pilih Cheese Burger, Chicken Burger dan Curly Fries.

Saya, yang biasanya menomorsekiankan burger dalam pilihan makanan ketika lapar, langsung jatuh cinta saat menggigit cheeseburgernya. Enak banget. Semuanya fresh. Rotinya enak, sayurnya segar dan crunchy, sausnya pas, dan yang terpenting, dagingnya… ukurannya balance dengan roti, juicy dan enak. Sampai-sampai saking semangatnya saya makan, sampe lupa memfoto terlebih dahulu. Hehehe… Chicken burger juga enak.

Cheese Burger

Cheese Burger

Beberapa pilihan bir juga ada disana. Kebayang deh, kalo misalnya kerja di Bali. Pulang kerja pingin nongkrong sambil njajan. Trus mampir ke Five Monkeys, duduk di meja bar, pesen cheeseburger dan sebotol corona dingin atau soft drink sambil ngobrol dengan Spongebob, eh.. chef nya 😀

Next visit to Bali… semoga bisa dapet Hot Dog nya.