In Malang (1) – Sego Resek –

Walaupun saya hidup di Malang bertahun-tahun, jujur saya kurang mengenal kota kelahiran saya ini. Ok, dulu waktu masih jaman sekolah kadang keluyuran kesana sini. Namun sekedar main ke rumah temen atau main di mall. Kini setelah 4 tahun saya tinggal, tentu sudah banyak hal yang berubah. Kota kecil ini sudah mulai sesak jalan rayanya, sudah semakin banyak bangunan baru, dan bergeliat kehidupannya.

Karena itu, menikmati kota saya sendiri adalah hal yang sudah saya agendakan. Walau saya jarang jalan – jalan tiap kali pulang ke Malang sekarang. Namun tiap ada kesempatan, dan duit, langsung cabut.

Sabtu lalu saya diajak seorang teman untuk mencoba mencicipi Sego Resek (Nasi Sampah). Bukan, makanannya bukan terbuat dari sampah, melainkan warung tenda kaki lima ini berdiri di bekas tempat pembuangan sampah. Tidak ada aroma sampah. Lokasinya ga jauh dari perempatan Kasin.

Kami datang agak malam, dan antrian sudah cukup banyak. Untunglah kami dapat tempat duduk. Warungnya kecil, tapi yang ngantri cukup banyak. Padahal yang dijual hanya nasi goreng mawut. Kami makan di tempat, dan tidak menunggu lama hingga piring kami datang. Porsinya pas lah. Nasi gorengnya agak basah, berisi tauge, kol cincang,mie, telur ayam, daging ayam yang disuir-suir, dan potongan jerohan. Yang membedakan dengan nasi goreng lainnya. Nasi goreng ini tidak berwarna merah karena saus tomat itu, dan tidak memakai vetsin (MSG). warnanya memang pucat, secara penampilan, hmmmm, bisa dibilang memang terlalu biasa. Tapi rasanya enak kok.

Sambil makan, saya melihat bagaimana nasi tersebut dimasak. Luar biasa! Di wajan yang gede itu, nasi dimasak dalam jumlah yang besar. Karena pesanan pun juga banyak. Pertama-tama, sekilo tauge, lalu cincangan kol yang langsung memenuhi wajan, setelah itu baru mie dan nasinya dimasukkan ke wajan. Dan jumlahnya bisa 5 kiloan beras yang sudah jadi nasi. Jadi wajan segede itu penuh dengan nasi. Tak lama kemudian, si bapak pemilik warung dan sekaligus kokinya, menuang kaldu ke dalam wajan (pantas tampak basah), dan kecap manis. Lalu mulailah dia mengaduk-aduk nasinya.

Menurut mas yang membantu jualan, warung buka mulai jam 6 sore. Dan ketika kami datang sekitar jam 8, sudah masak nasi yang ke 7 kalinya!!!!!  Menurut teman saya pula, beberapa kali dia datang diatas jam 8, sudah habis. Apalagi saat itu adalah malam minggu. Rame-ramenya.

Harga nasi goreng mawut biasa RP. 6.000,-. Dengan jerohan Rp. 8.000,-

Warung ini sudah jualan sejak tahun 1958. Tapi warungnya masih kaki lima, tenda terpal, dan di pinggir jalan raya. Mungkiiin… ah, whatever

Perjalanan saya sabtu lalu berlanjut ke kawasan Jalan Soekarno Hatta, Malang. Wih, rame banget. Sepanjang jalan yang banyak berdiri ruko itu, kini penuh dengan penjual makanan, café, warkop lesehan, hingga berdiri rumah makan- rumah makan. Padahal dulu ga segitunya.

Asiknya, kini lebih banyak pilihan untuk nongkrong di kota dingin ini (Setidaknya saat malam hari). Ada beberapa pilihan malam itu, misalnya ke depan kampus SOB yang rame, di kawasan Universitas Brawijaya di Dinoyo yang berjajar warung kaki lima dan café – café kecil, dan Soetta. Kami memilih di Soetta.

Awalnya pingin ngopi, tapi karena semua warkop lesehan penuh sesak. (Malam itu ada acara nonton bola bareng rupanya), akhirnya kami parkir di depan Taman Krida Budaya. Dan duduk lesehan sambil menikmati Angsle dan Ronde.

Angsle adalah makanan berkuah santan, isinya ada sagu mutiara, ketan putih, kacang hijau, roti dan pethulo. Sedang Ronde adalah makanan berkuah bening, kuahnya air jahe, isinya kacang tanah yang disangrai, sagu, dan bola-bola putih dari ketan sebesar biji kelereng. ISinya kalo ga gula merah ya kacang. KEduanya disajikan dalam keadaan panas. Pas banget untuk malam yang dingin itu.

About Rochman LJ
Geminian, Suka Makan, Nonton, Jalan - jalan

Leave a comment