Numpak Sepur nang Ambarawa

Selama 2 hari jalan-jalan di Semarang, hampir semuanya berhubungan dengan kereta api. Bisa dibilang, tema perjalanan ini memang tentang kereta api.

Perjalanannya sih udah seminggu yang lalu, tapi karena untuk mulai menulis itu terpengaruh mood, jadi molor. Yang suka menulis pasti pernah merasakan deh.

Berangkat bertiga dari Surabaya naik kereta api ekonomi Maharani jurusan Surabaya Pasar Turi ke Semarang Poncol, kami menempuh perjalanan dari jam 6 pagi hingga jam 11 siang. Walaupun ekonomi, kereta api sekarang sudah enak karena berAC, ga ada pedagang keliling, dan semua dapet tempat duduk. Yah, sebagai gantinya, mesti siap2 bahan makanan biar mulut ga asem.

Ini adalah kali pertama saya mengunjungi Semarang. Dan tujuan utamanya adalah Museum Kereta Api di Ambarawa. Namun karena kami sampai di Semarang sudah siang, maka tidak mungkin kami langsung ke Ambarawa. Bisa sih, tapi agenda naik kereta api wisata nya tidak akan kekejar. Lha wong tujuan ke Ambarawa untuk naik kereta api itu.

Maka pit stop pertama (setelah dapet kasur buat tidur), adalah Lawang Sewu, yang tidak jauh dari hostel kami di jalan Imam Bonjol. Cukup berjalan kaki saja.

Lawang Sewu saat sore hari

Lawang Sewu saat sore hari

Lawang Sewu yang ikonik ini memang memiliki banyak pintu, walau ga sampai 1000 buah. Bangunan yang desainnya cantik ini dulunya adalah kantor perusahaan kereta api Nederlands Indische Spoorweg Maatschappij atau NIS. Dibangun pada tahun  1904 dan selesai pada tahun 1907. Terletak di bundaran Tugu Muda yang dahulu disebut Wilhelminaplein. Disini, banyak spot bagus buat selfie atau foto rame-rame. Dan tentu saja, di dalam bangunan bersejarah ini, pengunjung bisa membaca cerita tentang perjalanan sejarah kereta api di Indonesia. Jujur, saya tidak banyak membaca informasinya. Hanya sepenggal-penggal. Itupun langsung lupa begitu keluar dari sana. Hahahah.. akhirnya googling lagi deh.

Konon katanya Lawang Sewu ini memiliki cerita mistis, well.. sepertinya udah memudar deh mitos itu. Setidaknya, saat saya disana malam hari, malah bagus tuh buat foto-fotoan. Karena di dalam gedung, cahaya lampu malah bikin cantik. Tapi ga tahu juga sih, mungkin pengalaman orang lain beda lagi. Mungkin kalo ikutan tur yang bawah tanah itu, akan terasa suasana sejarahnya. Sayang, tur bawah tanah sedang ditutup karena renovasi.

Lawang Sewu after Maghrib

Lawang Sewu after Maghrib

Saat yang pas menurut saya berkunjung ke Lawang Sewu, adalah sore menjelang maghrib hingga after maghrib. Mulai sekitar jam 4.30 sorean hingga jam 7 malam. Jadi bisa membedakan suasana saat cahaya matahari masih menyeruak diantara tembok-tembok dengan suasana ketika langit telah diambil alih oleh kegelapan. Bagi yang muslim, tenang, ada ruangan di belakang yang disediakan untuk menunaikan sholat maghrib. Jalan-jalan itu perlu, tapi ibadah itu ga boleh ditinggal… (pesan dari teman)

Dari Lawang Sewu, kami mencari makan malam di Simpang Lima yang rame banget. Oh, saat itu malam minggu, pantes. Dapetnya nasi kucing lesehan yang ruame banget. Harganya cuma 2.000 Rupiah, tapi isinya yah, sesuai harganya lah. Kalo mau nambah lauk, ya bayar lagi. Ala angkringan di Jogja itu loh. Sudah lama sekali saya tidak melakukan hal yang biasa saya lakukan saat jalan. People Watch. Duduk manis di lesehan sambil minum teh, sambil mengamati orang-orang disekitar, orang-orang yang berlalu lalang. Tuh, ada sesama rekan traveler yang juga lagi nyari makan, ada penjual mainan, ada yang pacaran, ada 2 cowok yang janjian ketemuan… ehem (tertangkap radar), ada yang membawa keluarganya, ada yang salah kostum, dll.

Bagian terbaik yang paling saya suka dari act like local, adalah di alun-alun Simpang Lima nya, beli mainan yang ditembakkan ke atas seperti ketapel, tapi yang ditembakkan itu seperti mainan terjun payung yang saat jatuh dia berputar2. Karena dipasangin lampu diode kecil yang bisa berganti warna, maka saat berputar, lampunya menimbulkan efek cantik. Nah, kami mainan itu, persis seperti anak-anak kecil disana.

Kami berangkat ke Ambarawa dari depan Stasiun Poncol naik bis mini jurusan Bawen. Sebenernya nunggu di depan hostel bisa, tapi sambil nyari ATM akhirnya jalan deh. Harusnya, ada bis langsung ke Palagan, Ambarawa. Nama bisnya Putra Palagan. Namun karena kami mendapat informasinya kurang banyak (Cuma tanya ke petugas di hostel dan tukang parkir) jadinya kami naik bis ke Bawen. Dari Bawen oper bis lagi, lupa namanya, turun di depan museum Palagan, Ambarawa.

Jalan sebentar ga sampai 10 menit, kami sudah sampai di museum kereta Api Ambarawa. Dan langsung menuju loket kereta api wisata. Setelah mengantri agak lama karena jadwal jam 10.00 sudah habis, kami dapat tiket untuk jadwal jam 12.00.

Sambil menunggu jadwal selanjutnya, kami puas-puasin foto-fotoan di koleksi kereta api uap yang sudah tidak beroperasi. Karena sudah tua tentunya. Koleksinya cukup bagus dan terawat, beberapa jenis loko ada disana. Bahkan loko yang ada di pintu masuk, sengaja “dinyalakan” biar menambah efek dramatis. Loko-loko tersebut masih menggunkana bahan bakar kayu. Jadi petugas yang menyalakan “kereta uap” nya kudu kerja beneran memasukkan kayu ke tungku apinya.

Kereta api wisata Ambarawa hanya terdiri dari 3 “gerbong” yang tempat duduknya terbuat dari kayu. Dengan jendela terbuka full Angin Cepoi-cepoi. Walau namanya kereta wisata, tapi menggunakan karcis resmi PT. KAI, hanya saja, tidak perlu nama asli dan menunjukkan ktp saat naik. Tapi, saat kereta berjalan, pemeriksaan tiket oleh pak kondektur benar-benar dilaksanakan.

Kereta Api wisata ini berangkat dari stasiun Ambarawa (Museum Kereta Api ini sebenernya adalah stasiun Ambarawa yang dulunya dikenal sebagai Willem I) menuju stasiun Tunteng. Kereta berjalan dengan pelan mengingat selain usianya yang sudah sepuh. kereta api ini menggunakan bahan bakar diesel. Sepanjang perjalanan, penumpang disuguhi pemandangan sawah yang hijau dan danau yang juga hijau karena dijajah oleh enceng gondok. Dengan latar gunung Merapi. Pemandangannya, suasananya, bagus sih.. asri, sejuk, adem, bikin ngantuk.. hahha..

Choo chooo

Choo chooo

Dengan tiket seharga Rp. 50.000, kita bisa menikmati perjalanan dengan kereta api antik tersebut selama kurang lebih satu jam. Lumayan menarik lah untuk membawa keluarga berwisata. Oh ya, sebaiknya datang lebih pagi karena untuk menghindari habisnya tiket kereta. Karena perjalanan kereta hanya dilakukan pada hari Minggu dan hari Libur Nasional. Dengan jadwal jam 10.00, 12.00 dan 14.00 saja.

Kereta Api Wisata

Kereta Api Wisata

20150802_104831

Satu hal yang menjadi ciri khas beberapa stasiun yang pernah saya singgahi adalah theme song dari stasiun itu. Seperti halnya di stasiun gubeng atau pasar turi yang kerap memutar lagu Surabaya oh Surabaya, atau di stasiun Yogyakarta memutar lagu Yogyakarta, di Stasiun Tawang Semarang juga tak mau kalah. Theme songnya adalah Gambang Semarang. Ditambah penampilan musisi-musisi yang menghibur para calon penumpang yang sedang menunggu jadwal keberangkatan kereta mereka. Enak juga loh, sambil menunggu, mendengarkan alunan music keroncong. Bisa request lagi.

Dari Semarang Tawang, kereta Kertajaya kami berangkat jam 9 malam. Walau berangkat malam, semua seat kereta 8 gerbong ini full. Dan Alhamdulillah, di bangku seberang saya, ada cowok yang menurut saya menarik. Tipeku banget deh, Hahaha.. lumayan buat pemandangan. Hahaha.. Sepertinya, dia dan rombongan teman-temannya juga sedang melakukan perjalanan. Sayang, dia bersama rombongan, coba kalo sendiri,,, eh, ga berani ah… hahaha

 

 

Belajar Budaya dan Seni di Ullen Sentalu

Ulating Blencong iku Sejatine Tataraning Lumaku

Ulating Blencong iku Sejatine Tataraning Lumaku

“One destination is never a place, but a way to see new things” – Henry Miller

Itulah salah satu pengingat saya ketika merencanakan sebuah perjalanan. Setelah cukup lama saya berkutat dengan tagihan-tagihan di meja kerja, tiba waktunya bagi saya untuk sejenak meninggalkan kantor dan melihat hal-hal baru. Dan hal baru itu adalah Museum Ullen Sentalu.

Awalnya, secara tidak sengaja saya “menemukan” museum ini ketika iseng googling tempat-tempat wisata April lalu. Saya lupa tepatnya bagaimana, sepertinya dari twitter sih. Ulasan tentang tempat ini cukup bagus. Di trip advisor pun juga tampak menarik. Seminggu kemudian saya confirm memesan tiket kereta api dari Jogja ke Surabaya.

Yes, Saya hanya memesan tiket balik dari Jogja ke Surabaya. Karena rencananya, saya berangkat sabtu malam naik bis umum supaya sampai Jogja nya Minggu pagi. Minggu sore langsung balik ke Surabaya. Ketika hal ini saya sampaikan ke teman, mereka langsung bereaksi, apa ga capek? Ya, mungkin saja, tapi memang begitulah rencananya. Saya berniat melakukan perjalanan sendiri dan tidak menginap. Saya bisa saja menginap atau menghubungi teman-teman di Jogja supaya lebih mudah menikmati jalan-jalan ini. Tapi tidak, saya ingin menantang diri saya lagi, setelah cukup lama tidak melakukan perjalanan sendiri, atau yang kadang disebut solo traveler.

Museum ini letaknya di Kaliurang, Sleman, Jogjakarta. Menurut informasi dari web yogyes, blog dan beberapa artikel di internet, untuk menuju kesana sebaiknya menggunakan kendaraan pribadi atau sewa. Bagi yang ingin menggunakan transportasi umum bisa, namun minim info. Hanya disebutkan, dari Halte Kentungan TransJogja, naik mobil elf, turun di pertigaan hostel Vogel. (sampai saya balik ke Jogja, saya ga nemu hostelnya.. lol).

Saya sampai di Jogja ketika hari Minggu baru dilahirkan. Sebenarnya ada angkutan umum dari Giwangan yang langsung ke Kaliurang. Tapi, saya melipir dulu ke kawasan Malioboro untuk mencari sarapan. Duduk-duduk dulu sambil menikmati pagi di Malioboro. Melakukan people watch… yang ternyata banyak juga para traveler berlalu lalang di sepanjang jalan itu.

Petunjuk dari Mbah Internet adalah naik Bus Transjogja turun di halte kentungan. Udah itu aja. Di lapangan, dari Malioboro saya naik transjogja jurusan 3A, turun di halte Ngabean, oper jurusan 3B, turun di halte Kentungan. Pokoknya kalo ga ngerti rutenya, tanya aja sama mbak mas petugas TransJogja, mereka dengan ramah memberi informasi. Di dalam bisnya juga ada petugas yang mengingatkan dimana kita mesti turun.

Dari halte kentungan, saya naik mobil elf tua. Saya pasrahkan sama pak sopir untuk turun di pertigaan hostel Vogel. Saya juga sampaikan mau ke Ullen Sentalu biar lengkap. Tapi rupanya, karena penumpangnya sedikit, dan akhirnya tinggal saya, sedang perjalanan masih jauh, lalu saya diturunkan di depan pasar Pakem dan disuruh oper ke mobil bison yang sedang ngetem disitu. Dioperin ini tetep bayar loh ke mobil elf nya. Rp. 10.000!

Akhirnya, saya sampai juga di pertigaan hostel Vogel yang tidak saya temukan itu. Rupanya, supaya lebih gampang, turunnya di taman Kaliurang. Dari situ jalan sebentar hingga sampai di Museum.

Ok, jam menunjukkan sudah pukul 9.30 pagi. Dan antrian untuk memasuki museum udah lumayan banyak. Semuanya rombongan kecuali saya yang seorang diri. Karena untuk masuk ke museum ini harus dalam grup dengan pemandu, maka saya digabungkan dengan rombongan 10 orang dari Jakarta dan 5 orang dari Samarinda. Saya pengen ikut grup dari belanda tapi mereka lebih lama menunggunya. Momen yang menyenangkan adalah ketika saat masuk, kami dipanggil dengan diabsen, kalo yang lain disebut jumlah orang dan dari kota mana, saat giliran saya, dipanggil 1 orang dari Malang. Saat itu juga semua mata menatap saya.

Seperti yang diketahui, masuk ke dalam museum ini dilarang mengambil gambar, dilarang menggunakan HP. Sebenarnya, inilah yang membuat saya penasaran. Apa bagusnya hingga dilarang mengambil gambar. Dan ternyata bagus banget. Menarik. Sepanjang tur dalam museum, saya menikmati penjelasan si guide yang cukup fasih menjelaskan dan menjawab pertanyaan. Selain itu juga menikmati koleksi-koleksinya. Dan tentu saja, ada banyak informasi baru yang membuat peserta berkata “Oooo..”. Pelajaran: Budaya Jawa itu indah dan banyak filosofi yang baik.

Tur selama satu jam terasa singkat. Sepertinya masih kurang. Ingin lebih lama lagi. Terutama di ruang romantisme Gusti Nurul, putri dari keraton Mangkunegaran, yang menampilkan puisi-puisi beliau. Dan masih ingin mengagumi arsitektur bangunan yang keren. Atau menikmati suasana magis di gua sela giri nya.

Di lokasi terakhir kami diperbolehkan berfoto-foto. Disitu terdapat replika salah satu relief dalam candi Borobudur yang sengaja dipasang dengan posisi miring sebagai kritik terhadap anak-anak muda yang tidak peduli dengan budaya bangsanya.

Replika Relief Candi Borobudur

Replika Relief Candi Borobudur

Setelah mengikuti tur, saya mengintip sebentar ke Muse, toko souvenirnya. Buset, baju batik nya paling murah Rp. 600.000!. Tapi ga tau kenapa, kok saya malah beli sebuah buku dengan judul Punakawan Menggugat. Niatnya cuma ke Museum dan Beukenhof, eh, keblinger beli buku. Ya sudah, lumayan ntar buat membunuh waktu dikereta.

Beukenhof, tujuan saya selanjutnya. Yaitu restoran yang juga ada di kawasan Museum ini. Open order jam 11 siang. Tepat setelah tur saya selesai. Karena baru buka, jadi sepi sekali. Rombongan yang saya ikuti tadi sibuk berfoto-foto dilokasi pintu keluar, sedang saya naik ke restoran ini. Restorannya bagus, desainnya cantik, ada balkonnya juga. Dari balkon kita bisa melihat taman “cupid”. Bisa memotret taman itu dari balkon, karena saat tadi tur melewati taman itu, kita masih dilarang mengambil gambar.

The Garden

The Garden

Kawasan Kaliurang berada di dataran tinggi. Lokasi dan penataan Museum yang asri membuat suasana tampak teduh dengan udara yang segar. Diiringi lagu gamelan jawa, tambah adem ayem.

Saya memesan Chicken Pesto Spaghetti (Rp. 58.000 + tax). By the way, Resto ini menyediakan menu western food dengan harga yang agak mahal. haha…. tapi, rasanya enak kok.

Chicken Pesto Spaghtetti

Chicken Pesto Spaghtetti

20150531_104402

Perjuangan saya selanjutnya adalah balik ke Jogja. Saya menunggu hingga 1 jam sampai angkutan umum yang berupa mobil elf itu muncul. Eh, rupanya saya dioper lagi di pasar Pakem karena tidak ada penumpang lain selain saya. Di pasar itu, si elf ngetem cukup lama sampai saya tertidur! Walau mungkin tertidur cuma sebentar, saat bangun, anehnya saya merasa lumayan segar. hahaha… Saya terbangun gara-gara mobil berangkat dan saya diketawain oleh sopirnya.

Sampai di Jogja, saya masih harus naik transjogja. Oper 2 kali juga. Dari halte kentungan naik 2B turun di condongcatur, lalu naik 3A turun di stasiun tugu. Masalahnya, saat itu Malioboro dan Mangkubumi sedang ditutup karena ada festival apa gitu. Maka bis transjogja hanya sampai halte Samsat. Dari situ, penumpang yang ke Malioboro atau ke tugu, mesti jalan kaki kurang lebih 15 menitan. Atau naik becak.

Seorang teman berkata, “nanggung banget cuma sehari”, “hah, jauh-jauh ke Jogja cuma ke Museum?”.. well, bagi saya ini bukan tentang berapa lama perjalanan, atau berapa banyak tempat yang dikunjungi, tapi.. ini tentang saya mendidik diri saya.

Puisi itu berjudul B29

Morning at B29 (Photo by Kus Andi)

Morning at B29 (Photo by Kus Andi)

Seperti puisi tentang sebuah lukisan alam yang indah, tidak terlalu berlebihan jika B29 disebut sebagai Negeri diatas Awan. Keindahan yang memang mempesona. Letaknya yang lebih tinggi daripada gunung Bromo, menawarkan pemandangan yang elok. Terutama ketika momen berada “di atas” awan. Siapa tidak merasa di negeri diatas awan ketika gumpalan awan putih membentang di bawah kaki kita. Belum lagi ketika matahari terbit, cahayanya yang hangat melengkapi lukisan pagi oleh alam.

Namun, walau keindahan pemandangan di puncak B29 itu laksana puisi, perjalanan menuju kesana menawarkan cerita yang lain. Sebuah petualangan dan tantangan. Saya sebenarnya lebih adem naik Battlestar Galaktica di Universal Studio Singapore 10 kali dibanding naik ojek dibawah guyuran hujan menuju puncak B29. Yap, untuk menuju puncak bukit ini, anda bisa mencapainya dengan pilihan: motoran, hiking atau naik ojek.

Disebut B29 karena sebenarnya ia adalah dataran tinggi 2900m dpl. Terletak di desa Argosari, Lumajang. B29 merupakan bagian dari kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru.

Nah, Sebelum sampai di desa Argosari, starting poin menuju bukit B29, saya dan 2 teman saya naik ojek dari Pasar Senduro, Kota Lamongan. Kami memang sengaja memilih melakukan trip ini dengan menggunakan kendaraan umum. Dari pasar hingga desa Argosari ternyata jalannya sudah cukup bagus dan beraspal. Namun sayang, hujan mengguyur kota Lamongan sejak kami tiba disana sekitar jam 2 siang. Maka kamipun nekat ngojek dibawah hujan. Tukang ojeknya sih pake jas hujan, tapi kami hanya bermodal jaket biasa (bukan jaket gunung yang anti air), untungnya dari pasar hujan hanya gerimis walau intensitasnya lumayan sedang.

Jalan semakin meninggi, dan mulailah berkelok-kelok. Yap, tipikal jalan di gunung atau dataran tinggi. Badan jalan tidak terlalu besar dan berkelok-kelok. Semakin naik, kabut semakin menebal, hingga jarak pandang sangat dekat. Tukang ojek saya sampai mengurangi kecepatannya. Kami menerobos kabut tanpa tahu disebelah kanan atau kiri itu seperti apa. Kata tukang ojeknya sih pemandangannya bagus. Bahkan Semeru aja bisa kelihatan. Tapi kabut menutup itu semua. Duh, udah dingin, basah, dikelilingi kabut tebal, jalan yang menantang adrenalin, mantap.

Kami berhenti di desa Argosari. Tidak jauh dari Gapura desa. Kami menghangatkan badan dulu di sebuah warung sambil makan indomie kuah panas. Hujan masih belum berhenti. Pak Tukang ojek menawari pilihan menginap di rumah warga (Rp. 50.000 per orang per malam) atau langsung naik ke puncak dengan ongkos Rp. 80.000 per orang PP. Kalo tidak hujan bisa dinego jadi Rp. 50.000.

Setelah berdiskusi, kami memutuskan untuk nekat naik ke atas. Informasi yang kami dapatkan, diatas ada warung-warung yang buka 24 jam. Jadi kami berpikir, sudahlah, kita nongkrong aja di warung sampai fajar. Rencana awalnya sih mengejar momen sunset. Namun hujan udah keburu menghapusnya.

Jika perjalanan dari Pasar sudah beraspal, maka dari starting poin ke puncak, jalannya adalah Makadam. Masih tanah dan berbatu. Karena hujan, otomatis jalan menjadi basah dan licin. Modal nekat itupun berubah menjadi uji adrenalin saat ngojek menuju puncak. Bagaimana tidak, jalannya kecil, basah, banyak yang berlubang, dan ditepi jalan adalah bagian tanah yang curam. Mana tukang ojek nya sering memilih mengendarai motornya di bagian tepi jalan. Hanya sekian senti dari bibir jalan. Kalo motor itu terpeleset, bisa dipastikan saya atau teman-teman saya plus tukang ojeknya, jatuh ke bawah.

Dari pos desa Argosari menuju puncak jaraknya cukup jauh. Selama ngojek saya hanya bisa berdoa semoga tidak jatuh ke dasar bukit yang curam itu. Tapi sambil menikmati pemandangan yang hijau dan indah. Jadinya ngeri-ngeri sedap. Lalu kami pun diturunkan sekitar 2 km dari puncak, karena jalan semakin licin. Maka kamipun melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki. Untungnya, kali ini hujan sudah reda.

See the Road (Photo by Kus Andi)

See the Road (Photo by Kus Andi)

Tiba di area warung-warung ketika hari sudah gelap. Kami langsung mencari warung yang direkomendasikan oleh tukang ojek kami. Kebetulan saat itu ada beberapa anak UNAIR yang KKN di Probolinggo sedang ngetrip juga ke B29. Namun mereka batal pulang hari itu karena hujan. Singkat cerita, berkenalanlah kami dengan mereka. Berbagi pawon (semacam tungku untuk memasak dengan kayu sebagai bahan bakar) untuk menghangatkan badan. Untungnya, warung itu lumayan lebar untuk menampung kami. Beberapa anak tidur di dipan berselimut hangat. Ada yang tidur dibawah meja untuk jualan. Yang lain menghangatkan diri di perapian.

Melihat mas pemilik warung yang welcome, kami menyewa sleeping bag untuk tidur. Tidurnya diatas bangku di warung itu. Saya menyewa sleeping bag karena tidak tahan dinginnya malam. Dan asap dari perapian yang memedihkan mata. Lumayan bisa tidur sekitar 4 jam diatas bangku bambu. Tapi yah, tidurnya antara sadar dan ngantuk.

Sekitar jam setengah empat kami naik ke puncak. Jarak dari warung ke puncak dekat kok. Disana sudah banyak pengunjung yang mendirikan tenda-tenda. Kami membeber jas hujan salah seorang anak Unair sebagai alas duduk dan berbaring sambil memandang langit penuh bintang. Ya… setelah sekian lama, akhirnya saya bisa menyaksikan langit bertabur bintang. Sedang dibawah sana, kelap-kelip lampu kota juga tak kalah indahnya. Dari puncak, kami bisa melihat kota Lumajang yang masih terlelap, dan siluet gunung Batok dan Bromo.

A Sky full of Stars (Photo by Kus Andi) You can see more pictures at his IG : sayakusandi

A Sky full of Stars (Photo by Kus Andi) You can see more pictures at his IG : sayakusandi

Tak lama kemudian, perlahan-lahan, cahaya keemasan menyeruak diantara awan hitam. Good morning sunshine…

the Sun rises

the Sun rises

20150201_054132

Walau awan yang terbentuk tidak sebanyak yang saya lihat diinternet, tapi tidak masalah. Karena lukisan pagi itu luar biasa. Udara pagi yang sejuk membelai mesra. Sinar mentari hadir menghangatkan jiwa. Semeru yang agung berdiri kokoh disana, menyapa para pecinta negeri ini. Dan keindahan yang terbentang di depan mata, menggetarkan hati. Ok, mungkin saya agak lebay, tapi Saya percaya, ketika menciptakan Bumi ini, Tuhan pasti sedang tersenyum.

Perjalanan (ga ada) sehari di Pulau Menjangan

Begitu menerima Broadcast BBM dari seorang teman yang isinya open trip ke Pulau Menjangan, saya langsung mengiyakan ikut tanpa berpikir. Apalagi biaya perorangnya terjangkau, cuma Rp. 360.000 (saat pelunasan ternyata cuma Rp. 245.000 per orang termasuk life jacket)

Bahkan saya yang biasanya prepare ketika merencanakan jalan-jalan, kali ini nyaris tidak sama sekali. Hanya sekali dua kali saya googling tentang Pulau Menjangan. Dan saya tahu disana bakalan snorkeling. Untunglah sudah bisa berenang… hehe. Mungkin karena acara ini digagas oleh para ahlinya backpacker, jadi saya merasa tenang. Dan bahkan siap2 belajar ilmu backpacker mereka. Oya, open trip ini diadain oleh couchsurfing Malang. Kebetulan, teman yang BC itu adalah anggotanya.

Sejak dulu saya ingin jalan bareng mereka, namun sering terkendala oleh pekerjaan. Seringnya sih soal waktu. Syukurlah, kali ini acaranya pas diadakan pada long weekend. Walau sempat ketar-ketir karena H-7 sebelum berangkat nasabah saya di Krian ada yang kecelakaan dan butuh saya untuk mengurus administrasi rumah sakit hingga klaim. Mana ga bisa selesai dalam satu hari, dan harus bolak balik Surabaya – Sidoarjo – Mojokerto.

Berhubung yang ngadain ini couchsurfing Malang, yang mana semua berangkat dari Malang, maka hanya saya seorang diri yang berangkat dari Surabaya. Hari keberangkatan Jumat sore, ketemunya di Ketapang Banyuwangi Sabtu jam 5 pagi. Kata temen saya, mereka brangkat dari Malang jam 6 sore. Saya baru selesai kerja jam 4 sore. Kalo saya ke Malang dulu malah akan membuang2 waktu. Ya kalo lancar, lha wong hari Jumat itu malam 1 suro.

Beberapa hari sebelumnya saya coba hunting tiket kereta api, semua jenis kereta udah habis bis. Nelpon travel, katanya lama perjalanan bisa sampe 9 Jam. Wuih, kalo brangkatnya jam 9 malam, sampe Banyuwangi bisa-bisa jam 6 Pagi. Ga kebayang rasa bersalahnya ntar. Semua orang nungguin saya seorang.

Akhirnya sepulang kerja saya langsung cabut ke Terminal Bungurasih. Barang bawaan udah disiapin sejak pagi. Toh cuma one day trip. Ga perlu banyak barang yang dibawa. Malahan setengah isi tas saya adalah makanan buat amunisi di jalan.

Perasaan ga enak langsung hadir ketika masuk tol perak-waru. Baru masuk tol saja barisan kendaraan udah merayap. Mana kendaraannya didominasi truck2 kontainer pula. Biasanya sih di depan ada truck mogok atau kecelakaan. Sialnya, kepadatan itu memanjang hingga selepas gunungsari. (Rupanya ada truk container terguling). Alhasil sampe terminal Bungurasih jam 6 sore.

Sesuai perkiraan saya, suasana di terminal penuh dengan calon penumpang. Malam 1 Suro itu mirip arus mudik lebaran. Calon penumpangnya membludak, tapi bisnya terbatas. Jurusan-jurusan gemuk seperti Surabaya – Malang, Surabaya – Kediri – Tulungagung, Surabaya – Jogja dipadati calon penumpang. Begitu bisnya datang, langsung diserbu. Berdesak-desakan. Bahkan jurusan banyuwangi pun juga rame. Parahnya, setelah sejam menunggu bisnya ga datang-datang. Akhirnya saya putuskan naik bis jurusan denpasar, turun di Ketapang.

Setelah nego dari harga Rp. 200rb, saya harus bayar Rp. 150rb. Sebagai orang yang ga bisa nawar, bagi saya itu udah penuh perjuangan. Nyesel karena travel Cipaganti aja jurusan Surabaya – Banyuwangi “hanya” Rp. 135.000.

Sambil menunggu bisa penuh, saya sempatkan ngobrol dengan beberapa penumpang yang naik setelah saya. Syukurlah ada 2 orang Ibu-ibu yang juga akan turun di Ketapang. Dan, pembicaraan dibuka dengan “Kena berapa, Mas?” Ternyata mereka nawar hingga Rp. 145.000. Bapak yang di bangku depan saya malah cuma Rp. 125.000. Parahnya, ada mas-mas yang turun Denpasar cuma bayar Rp. 160.000! Gilanya, ada juga sepasang kekasih yang juga turun di Denpasar bayar Rp. 245.000 per orang!!

Bis baru berangkat jam 9 malam. Saya udah kuatir akan sampai Ketapang lebih dari jam 5 pagi. Oya, satu lagi, sinyal XL dan Telkomsel di Bungurasih malam itu kacrut pol. BB saya tidak bersinyal sama sekali.

Perjalanan menuju Banyuwangi lancar jaya. Saya bisa tertidur walau sesekali terbangun. Sampai di Pelabuhan ketapang jam 4 subuh. Kekuatiran saya ga terjadi. Dan ternyata malah rombongan dari Malang terbagi jadi 2 (total yang ikut ada 29 orang). Saat saya tiba, rombongan kedua belum sampai. Sambil menanti rombongan kedua, kami menguasai pelataran Indomaret hingga matahari terbit. Hahah…

Ternyata perjalanan ke Taman nasional Bali Barat lancar jaya, jalan mulus dan sepi. Memasuki area dermaga nya saja yang macadam (ini bahasa indonesianya apa ya?).

Setelah briefing sebentar tentang cara penggunaan alat snorkeling, kami dibagi dalam 3 kapal menuju ke Pulau Menjangan. Rencana awalnya sih akan nyebur di 3 titik. Tapi hanya 2 yang terlaksana. Di titik pertama, kami langsung nyebur begitu saja. Karena ini adalah pengalaman pertama saya snorkeling yang bener (sebelumnya pernah nyobain snorkeling di Gili Trawangan tapi tanpa guide atau arahan, sehingga ntah waktu itu ngapain), maka saya cukup menikmatinya. Bagi mereka yang udah pernah kesana, katanya sih udah ga bagus lagi karena terumbu karangnya kurang berwarna. Tapi bagi pemula seperti saya, kok itu udah bagus ya.. hahah. Terlebih saya fokusnya melihat ikan-ikan yang cantik-cantik. Mulai dari yang sekelompok ikan kecil-kecil, hingga ada yang besar (ga tau namanya, ga pernah liat di TV). Dari sekian buanyak ikan, saya hanya bisa menyebut sedikit diantaranya, ada ikan Kakatua, angel fish, ikan kelelawar, ikan buntal, dan yang pasti… nemo, eh, ikan badut. Saat ketemu Nemo, saya berhenti supaya bisa bener-bener melihat dengan jelas ikan itu bermain-main diantara tentakel anemone. Karena selama ini cuma lihat di TV. Hahaha…

Di titik kedua, anak-anak snorkeling hingga palungnya. Tapi saya urung menuju sana karena gelombang yang makin gede, snorkel saya sering kemasukan air laut, dan perut udah mulai mual2, kepala pusing. Saya putuskan balik ke kapal saja. Kata anak-anak sih, lebih bagus. Karena wall nya keren, soft coralnya lebih berwarna. Bahkan ada yang free style diving. Wuih,…. Keren abis.

Tapi ga nyesel juga sih, daripada saya maksain diri ke tengah, ntar malah jackpot lagi. Karena udah ada satu orang yang muntah-muntah sejak di dive spot pertama.

Sayang, spot ketiga gagal karena udah jam 2 lebih. Jam 3 semua pengunjung udah harus balik ke “daratan”. Sayangnya lagi, karena ini acaranya nyebur laut, sedikit yang membawa kamera. Bahkan selama disana saya nggak ambil foto sama sekali. Cuma numpang foto sesekali. Itupun groufie. Agak heran pada diri sendiri karena selama seharian ga terlalu peduli dengan hp dan isinya.

Di Pulau Menjangan ini, pantainya tampak bersih, sayang sekali kami tidak main-main ke pantainya. Tapi bisa menikmati pesona bawah airnya, udah luar biasa. Semoga saja baik pengunjung maupun para pengelola bersikap arif sehingga bisa menjaga dan merawat terumbu karang supaya bisa lestari. Karena indah banget. Sayang jika 10 tahun ke depan, terumbu karangnya rusak atau kotor karena ulah pengunjung.

Karena ini one day trip, maka hari itu juga kami langsung balik ke Malang. Sebagian rombongan extend ke denpasar. Sebagian besar pulang. Mengunjungi Bali cuma sehari itu terasa singkat, sebenarnya masih ingin lebih lama, apa daya budget juga terbatas. Bahkan sebenarnya saya tidak terlalu merasa berada di Bali. Tapi, hei… Bali ga cuma tentang Denpasar, Kuta, Sanur, atau Nusa Dua.. ada banyak keajaiban yang bisa dieksplore… Salah satunya ya Pulau Menjangan ini. Kalo bosen dengan hopping club di Legian – Seminyak, atau bosan berbelanja.. kenapa tidak mencoba menceburkan diri ke laut dan menikmati lukisan dasar laut yang indah? Puasnya sepadan kok…

Perjalanan balik ke Malang juga asik. Naik bis Akas dari terminal banyuwangi, oper di Probolinggo sekitar jam 2 dini hari. Perjalanan terasa cukup lama. Apalagi saat di Situbondo kami terjebak diantara karnaval peringatan 1 Muharram. Jadi ada semacam karnaval lampion yang diadakan di jalan utama Situbondo. Pesertanya adalah perwakilan dari SMP-SMP di kota itu. Jadi di depan kami ada rombongan peserta karnaval, lalu bis kami, lalu dibelakang juga ada rombongan karnaval lagi. Anak-anak SMP itu membawa lampion warna warni sambil bersholawat. Ada juga mobil hias, becak hias, ada juga mobil hias yang full sound system, ada layar dan pake LCD pula. Walau sebenarnya pingin segera keluar dari kemacetan itu, saya memperhatikan antusias masyarakat disana menyaksikan karnaval tersebut. Sepanjang jalan mereka berdiri menunggu peserta karnaval lewat. Sebenernya sih, karnaval lampionnya biasa aja. Tapi semangat untuk merayakannya patut diapresiasi.

Anyway, terima kasih buat anak-anak couchsurfing Malang yang sudah welcome dan ramah pada newbie seperti saya. Sungguh pengalaman yang seru. Ingin belajar banyak dari kalian-kalian yang pastinya sudah malang melintang berpetualang ke pelosok negeri atau luar negeri. Apalagi kalian seru-seru dan rumpik. Hahaha…

KL Ekspress…

KL Ekspress berlokasi di daerah yg tertinggi di kota Malang, tentu bisa langsung dibayangkan bahwa resto ini menawarkan pemandangan yang bagus, suasana yang nyaman, dan udara yang sejuk. Bagaimana tidak, dibangun di Villa Puncak Tidar, Malang, salah satu perumahan elit di kota Malang. Jauh dari kebisingan jalan raya yang sesak oleh kendaraan.

KL Ekspress

KL Ekspress

Sayangnya saya mampir kesana saat malam hari. Memang pemandangan tidak dapet. Tapi harus diakui bahwa resto yang mengusung konsep cafeteria-kantin ini emang asik. Luas dan terbuka sehingga udara dengan mudah berganti. Karena di wilayah tinggi, maka udaranya emang sejuk dingin.

Pertama kali sampai sana, langsung aware kalo resto ini kelasnya menengah atas. Secara hampir semua pengunjung bermobil bagus. Karena saya celingukan kesana sini liat parkir motor isinya cuma sedikit.

Mungkin karena saya datang saat jam makan malam, jadi resto ini sangat ramai. Rata-rata pengunjungnya adalah keluarga. Ada yang membawa anak-anak. Jujur, kalo makan di resto keluarga yang rame, dan ada anak-anak yang berisik, saya cepat kehilangan selera. Walaupun resto itu kategori mahal. Ada sih yang rombongan anak-anak muda. Kayaknya sih mahasiswa Universitas Machung yang emang deket banget dengan resto ini. Dan beberapa anak muda yang sekedar nongkrong sambil ngebir.

Sebagian besar menunya masih seputar Chinese food. Tapi yang mencuri perhatian saya justru dim sum nya. Udang Mayonaise, Siomay goreng Udang, dan Gyoza nya enak banget… Harga seporsi satu macam dimsum Rp. 15rb an. Untuk minumnya saya pilih teh tarik hangat yang lumayan enak untuk kesejukan malam itu.

Udang Mayonaise

Udang Mayonaise

Karena resto ini buka 24 jam (katanya), maka kalo anak-anak muda ingin nongkrong, enaknya diatas jam 8 malam. Atau datang sore sekalian, jam 5 atau 6 sore. Kalo mau gaya-gayaan ngebir ya silakan, tapi kalo saya sih lebih suka menikmati minuman panas. Kalo ada angsle atau ronde lebih enak.

Untuk menu, bagi yang muslim hati-hati ya, karena beberapa menunya adalah bebong alias babi.

Reuni

Ada sedikit cerita saat kemarin saya jalan-jalan ke Jogja. Sebenarnya tujuan jalan-jalan ini untuk reunian dengan dua teman yang sudah saya anggap seperti adik sendiri. Mereka adalah Awan dan Randa, dua orang adik ketika dulu saya masih bekerja di Medan. Secara teknis memang mereka adalah adik angkat saya. Bukan karena saya kenal mereka lalu jadi adik, namun melalui nama besar Darmadji yang kami sandang sebagai anak angkat. Sudah pernah saya tulis tentang the brotherhood ini di tulisan sebelumnya… jauh sebelum ini.
Jadi ceritanya, si Awan ini asli Klaten. Dia sedang masa cuti dan menggunakannya untuk pulang kampung, sungkem ke ortu sekaligus menghadiri acara 1000 hari kakak perempuannya, dan sekaligus memperkenalkan calon istrinya ke keluarga besarnya. Yak, Awan pulang kampung membawa rombongan. Selain Randa dan calon istrinya, ada 4 orang lagi yang ikut terbang dari Medan. Semuanya kerja di tempat yang sama, kecuali 2 orang teman yang kerja di TV Swasta.
Hari pertemuan kami adalah Minggu, 23 Maret 2014. Saya berangkat dari Surabaya Sabtu malam naik bis. Supaya ngirit saya naik bis malam agar Minggu pagi sampai Jogja (ga perlu nginep gitu). Rupanya tiba di Terminal Giwangan jam 4 pagi. Langit masih gelap. Untungnya saya tidak sendirian, beberapa penumpang juga menunggu jemputan, ada juga yang menunggu bis pagi.
Satu setengah jam saya menunggu di terminal. Hingga jam 5.30 bis transjogja siap berangkat. Ternyata dari Giwangan menuju Stasiun Tugu, harus transit 2 kali. Jadi dari Giwangan naik TransJogja 3A, lalu transit naik 2A, lalu transit lagi naik 1A, turun di halte Mangkubumi 1 atau Malioboro 2. Tapi enak sih, jadinya emang jalan-jalan. Mana Cuma bayar sekali 3000 perak saja.
Meeting point di Stasiun Tugu karena saya harus menukarkan struk pembayaran kereta api dari Indomaret keloket penukaran tiket lebih dulu. Karena saya datang terlalu pagi di stasiun, lagi-lagi saya harus menunggu rombongan dari Medan itu karena mereka tiba di Adi Sucipto jam 7 pagi. Maka saya pun duduk manis di depan stasiun melihat orang-orang berlalu lalang di stasiun. Mengamati orang-orang yang datang dan pergi lewat stasiun itu. Saya emang cukup sering melakukannya. Dulu waktu pertama kali di Kediri, pernah juga cuma duduk-duduk di depan masjid Agung dan Alun-alun, sambil mengamati orang-orang disekitar saya. Lumayan daripada ngabisin batere hp dengan main game atau main medsos. Dan salah satu hal keren yang saya saksikan pagi itu adalah, seorang mbak-mbak yang lari dari parkiran mobil menuju loket stasiun sambil menenteng koper kecilnya dan.. memakai high heel. Luar biasa, mbak ini pasti punya “sesuatu”. Hahaha
Setelah dijemput, kami sarapan dulu di Sop Ayam Pak Min Klaten. Di Malang juga ada warung ini dan pernah saya tulis. Sedikit membandingkan, secara rasa tidak jauh beda. Kuahnya menendang dengan rasa mericanya.
Setelah itu langsung berangkat ke Klaten. Sebuat kota kabupaten kecil di jogja. Seperti yang saya bayangkan sebelumnya, perjalanan ini akan melewati sawah-sawah. Dan memang benar. Wah… perjalanan kali ini adalah ke desa.
Rumah awan ada di desa Kopat Gede, Kec. Tulung, Kab Klaten . Saat kami tiba, di rumahnya sedang sibuk mempersiapkan acara doa untuk 1000 hari kakaknya. Kesan desa itu terasa sekali. Saudara dan tetangga ikut membantu. Ada yang memasak nasi, ada yang membungkus kue, ada yang menyiapkan makan siang kami, dll. Oh ya, disana tungku api masih digunakan loh. Di samping rumahnya tampak tumpukan kayu bakar untuk memasak. Rumahnya sih udah bagus, lantainya udah pake keramik. Tapi jalan di depan rumah ada bagian yang masih tanah. Bener-bener mengembalikan ke romantisme dulu saat saya masih kecil. Saat kampung saya di Malang dulu belum sepadat sekarang.
Namanya juga di desa, saat ada tamu, maka semua suguhan dikeluarin. Kue-kue tradisional, kripik, buah, dan tentu saja, makan besar….. gimana ga besar, untuk makan siang saja ada ayam kampung, gule kambing, jerohan, 2 piring lele goreng, sayur pecel sepanci, tahu goreng yang gede-gede… dan semuanya enak-enak…
Abis itu sebagian dari kami tidur siang. Saya mencoba tidur siang tapi ga bisa. Akhirnya diajak sama Awan dan Kakaknya ke kebun rambutan. Oya, saat itu emang pas panen rambutan. Hampir semua kebun rambutan yang ada di desa itu sedang berbuah lebat. Sampai-sampai di jalan menuju desa dibuka pasar kaget yang khusus menjual rambutan. Di kebun keluarganya Awan saja ada belasan pohon rambutan, dan semuanya berbuah lebat. Buah rambutan yang bergerombol merah-merah itu sampai menunduk saking banyaknya. Belum lagi yang ada diatas pohon sana. Bisa memetik sepuasnya sampe mabok rambutan dah… hihihi… Tapi sayangnya… di kebun itu banyak sekali nyamuknya. Jadi ga konsen antara ingin menyikat rambutan dan sibuk menghindar dari serangan puluhan nyamuk. Nggak bermaksud lebay, tapi emang nyamuknya banyak. Alhasil kami ga sampai 10 menit disana. Bahkan saat balik ke rumah pun cuma bawa segerombol kecil saja. Belakangan saya lihat kakaknya Awan bawa sekarung rambutan.
Eh, ternyata rambutan yg melimpah ga cuma rambutan merah. Tapi juga rambutan hijau. Saya sempat kaget karena itu pertama kalinya saya lihat rambutan yang “masih” hijau, kecil-kecil.. tapi sudah masak dan rasanya manis-manis.
Keesokan harinya kami serombongan ke Candi Borobudur, untuk foto prewed nya Awan. Sayang, karena semuanya pada molor, maka berangkat ke Magelang jam 9 pagi. Saya was-was aja nih, karena Klaten ke Magelang aja 2 jam perjalanan, belum lagi baliknya ntar ke Jogja, belum lagi sesi foto-fotoannya. Secara tiket kereta saya jam 3 sore.
Jalan-jalan dengan banyak orang itu perlu toleransi yang tinggi. Karena gaya kita saat jalan-jalan belum tentu sama dengan orang lain. Dan bener, untungnya saya cukup sabar. Jadinya yah, geleng-geleng kepala saja saat melihat anak-anak “ngaret”.
Gimana ga musti sabar, sampai di kawasan Candi Borobudur jam 12 siang teng teng. Kebayang ga sih, foto prewed jam segitu.. saat sang Raja Siang sedang meradang. Yak, panasnya luar binasa. Maka kami pun menyewa payung dan naik kereta kelinci menuju pos “pakai batik” itu.
Dari 9 orang, yang nekat sampai Stupa terbesar cuma 2 orang. Saya dan yang lain cukup sampai undakan kedua saja, langsung muter ke pintu belakang. Malah sebenarnya sejak awal saya udah males mau masuk candi.
Karena terlalu banyak waktu yang terbuang sia-sia, acara di candi itu molor sampai jam 2. Persis jam 2 siang mobil kami meluncur menuju Jogja. Mengantar saya ke Stasiun. Tengkyu buat mas Naldi yang nyetirnya “cukup kenceng” supaya terkejar sampai Jogja jam 3. Harusnya sih yg nyetir si Fitra, tapi dia dapet jackpot masuk angin setelah turun dari candi.
Pas jam 3 tiba di Stasiun Tugu. Untungnya ga perlu check in panjang kayak di bandara. Dan 15 menit kemudian, kereta Argo Wilis datang.
Rupanya si kereta ga lama berhenti di stasiun, karena barusan saja saya duduk. Kereta langsung berangkat.
Itu pertama kalinya juga saya naik kereta api kelas eksekutif. Kereta Argo Wilis lumayan bagus dan bersih. AC nya cukup dingin. Tempat duduknya juga cukup enak. Pramugaranya manis pula. Hahah… Kursi saya 1C. Paling depan, sendirian. Asiknya, disamping jendela.. Maka, puas lah jalan-jalan saya kali ini dengan menikmati pemandangan indah hamparan sawah yang hijau membentang bak permadani raksasa. Atau sawah yang padinya menguning keemasan. Dengan latar gunung yang hijau. Keren.
Semoga aja sawah-sawah itu tetap dipertahankan. Jangan sampai seperti kota-kota yang atas nama pembangunan, sawah, kebun, dan area terbuka hijau disulap menjadi ruko atau bangunan-bangunan. Negeri ini indah, sudah seharusnya dipelihara dengan baik.