Enaknya ikut dalam sebuah tur yang sudah dirancang oleh travel agent adalah tidak ribet. Semua tetek bengeknya sudah diurus. Mulai dari penginapan, makanan, tempat tujuan atau objek wisata yang sudah diatur, termasuk tiket masuknya, transportasi, hingga proses bagasi dan cek in bandara. Peserta tur hanya tinggal membawa badan, baju ganti dan uang saku saja.
Nggak enaknya, karena semua sudah diatur, kita mesti mengikuti jadwal yang sudah ditetapkan. Jadi apabila di sebuah tempat wisata yang disukai, ingin berlama-lama, tapi tidak bisa karena waktunya sudah ditentukan. Selain itu harus bertoleransi dengan peserta tur yang lain. Walaupun peserta tur nya adalah teman-teman sendiri.
Beberapa hari lalu saya ikut rombongan tur kantor ke Lombok. Acara yang rutin diadakan tiap tahun. Setelah tahun lalu ke Singapore, tahun ini jalan-jalannya ke negeri sendiri. Yah, itung-itung menyemarakkan Wonderful Indonesia…. Hweeee
Berangkat dari Juanda SUB, jam 4 sore dengan Citilink. Maskapai ini sebenarnya enak, tapi delaynya itu yang malesin. Di hari terakhir, saat kami harus kembali dari Lombok ke Surabaya. Delay dari yang seharusnya penerbangan jam 18.30 WITA, menjadi jam 22.00 WITA!!!
Penerbangan ke pulau Lombok lebih kurang satu jam. Karena bagasi sudah diurus, bahkan sudah diantar ke hotel, maka kami satu rombongan langsung naik bis menuju kota Mataram
Ada Apa di Lombok?
Hari pertama kami mengunjungi 3 desa budaya di Lombok. Yang pertama adalah Desa Banyumulek. Desa ini terkenal akan kerajinan tembikar atau gerabahnya. Konon para perempuan di desa ini wajib bisa membuat gerabah agar mudah mendapat jodoh.
Sempat melihat sebentar bagaimana proses pembuatan sebuah vas dari tanah liat. Dari bahan yang sederhana dan ketrampilan si artis, si mbaknya maksud saya, sebuah vas dengan mudahnya dibentuk. Butuh keuletan dan sentuhan passion untuk bisa membuat kerajinan – kerajinan itu. Dalam satu komplek dengan workshopnya, ada art shop yang dikelola secara koperasi. Disana dijual hasil kerajinan gerabahnya. Mulai dari miniature tokek dan penyu, asbak, cangkir hingga guci yang tingginya 1 meter. Harganya… hmmmm, lumayan mahal. Satu set teko dan 4 buah cangkir seharga Rp. 350.000,-, lalu sebuah kuali kecil untuk merebus jamu saja harganya Rp. 140.000,-.
Kerajinan Gerabah/Tembikar
Sayangnya, akses menuju desa ini sangat jelek. Jalan masuk ke desa ini sempit. Sehingga apabila ada 2 bis berpapasan, harus melaju dengan sangat pelan dan hati-hati. Dan kendaraan-kendaraan dibelakangnya harus sabar menunggu.
Setelah dari Banyumulek, kami menuju desa Sukarare (Huruf e nya dibaca seperti e pada elang). Kali ini, desa ini spesialisasinya di kain tenun khas Lombok. Jika kita melewati rumah-rumah di desa ini, ada beberapa perempuan yang duduk diatas lantai atau balai-balai dengan peralatan menenun di pangkuannya. Beberapa galeri yang menjual kain tenun juga ada disitu. Biasanya di depannya ada perempuan-perempuan penduduk setempat yang menenun. Pengunjung bisa juga mencoba bagaimana cara menenun. Saya melihatnya saja cukup susah. Harus sabar dan tekun. Menurut mereka, membuat sebuah kain tenun bisa memakan waktu hingga berminggu-minggu hingga berbulan-bulan. Tergantung ukuran dan motifnya.
Harganya, mahal memang. Dijual mulai Rp. 400.000,-. Untuk kain tenun dengan hasil yg tebal, harganya bisa mencapai Rp. 750.000,-. Jika melihat bagaimana proses pembuatannya, harga segitu cukup pantas.
Kain Tenun suku Sasak
Apabila anda merasa harga kainnya terlalu mahal, anda masih bisa berfoto-foto dengan menggunakan baju adat suku Sasak hanya dengan sewa bajunya sebesar Rp. 10.000,-.
Oya, dibanyak tempat wisata di pulau Lombok ini, ada banyak penjual souvenir yang menjual kain tenun. Tapi tentu dengan harga yang sangat jauh berbeda. Jika memang anda ingin memiliki kain tenun khas Lombok, yg KW banyak kok. Hehehe
Kemudian kami menuju desa Sade. Desa yang masih mempertahankan rumah adat suku Sasak. Termasuk budaya dan cara hidupnya. Rupanya di desa itu ada beberapa rumah yang masih menjaga keaslian struktur bangunan rumah adat. Dan wisatawan diperbolehkan masuk. Rumah-rumah itu bukanlah rumah yang sengaja dibuat untuk wisatawan. Tapi rumah-rumah itu ya tempat tinggal warga disana.
Rumah Adat Desa Sade
Setelah melewati gang-gang kecil yang berbatu dan masih tanah, kami sampai pada sebuah rumah adat. Bangunan berdinding bamboo dan beratap daun rumbia kering. Lantainya, saya ga yakin, tapi sepertinya sudah disemen, daaaaan, katanya si tuan rumah sih, kalo ngepel, dicampur dengan kotoran kerbau.. ups.
Ruangannya kecil, tidak ada furniturnya. Di bagian depan merupakan tempat untuk menerima tamu. Tempat berkumpul keluarga. Ada sedikit anak tangga untuk masuk ke ruangan selanjutnya. Untuk memasuki ruangan selanjutnya ini, hanya ada satu pintu kecil berukuran satu orang dewasa. Tinggi saya 170cm, dan saya masih harus membungkuk untuk melewatinya. Di ruangan ini, cukup membuat saya menahan napas, karena di ruangan yang tidak terlalu lebar ini, dapur, tempat menyimpan beras dan tempat tidur jadi satu. Kalo tidur masih pakai tikar. Dan satu-satunya penerangan adalah sebuah alat mirip lentera. Walau hari masih siang, suasana di ruangan itu agak gelap.
“lentera” yang dipakai untuk menerangi ruangan
The Beach
Ke Lombok itu nggak afdol kalau nggak ke Pantainya. Dan sebenarnya inilah yang memang saya nantikan. Setelah mengunjungi ke3 desa tersebut. Kami menuju pantai Seger yang masih dikawasan Pantai Kuta, Lombok.
Pemandangan alamnya bagus banget, pantai ini juga masih sangat alami. Saking alaminya, nyaris tidak ada apa-apa disana. Ada sih yang menjual makanan dan minuman, itupun hanya ada satu diujung sana. Jalan menuju kesana awalnya memang sudah beraspal, tapi setelah itu, kami melewati jalan yang belum diaspal alias masih tanah. Untung medan yang kami lalui rata. Karena sepertinya, pantai ini juga sudah sering dikunjungi.
Saya suka pantai ini bersih, tepian pantainya juga cukup luas menjorok ke daratan. Sayangnya ini jenis pantai yang berkarang. Memang untuk foto-fotoan, karang mati yang lebih tinggi dari permukaan air laut bisa jadi tempat foto-fotoan. Selain itu juga bisa ditemui beberapa ikan kecil berwarna-warni, bulu babi, bahkan juga bintang laut. Tapi jika untuk berenang, jadi harus hati-hati. Jangan sampai menginjak si bulu babi.
Saya yang memang sudah siap, tanpa pikir panjang langsung nyebur ke pantai. Bersama beberapa teman dan anak-anak kecil serombongan. Sedang rombongan yang lain memilih duduk-duduk di tempat berteduh. Yang lain foto-fotoan, yang lainnya sibuk dikejar-kejar pedagang asongan.
Pantai Seger, Kuta, Lombok
Pantai Seger, Kuta, Lombok
Ombaknya cukup rapi, nggak terlalu kuat. Suhunya juga dingin. Awalnya, orang-orang nggak mau berlama-lama karena panas. Tapi rupanya, cuaca mendukung saya, panas hilang. Sinar matahari yang terik terhalang oleh awan. Maka semakin nyaman saya berendam di pantai. Hingga jadwal yang harusnya 30 menit, molor jadi sejam. Halooo, di pantai yang bagus gini Cuma setengah jam, yang benar saja…
Sayangnya, karena pantai ini masih belum dikelola dengan baik, dan seperti yang saya bilang, belum ada fasilitas penunjang apapun. Kamar mandi tidak ada. Jadi saya terpaksa ganti baju di sebuah gubuk tak terpakai yang agak terbuka. Huft…
Oya, kata guide kami, di pantai ini setiap setahun sekali diadakan perayaan untuk memperingati putri Mandalika, yaitu tradisi Nyale. Berburu cacing laut untuk dikonsumsi.
Berikutnya, kami menuju Tanjung Aan. Ini setelah proses voting karena rupanya ada beberapa orang yang tidak mau ke pantai lagi, dengan alasan sudah cukup puas di pantai Seger. Saya tidak terima, lha di tour Itenerary nya ada jadwal ke tanjung Aan.
Wuih, rupanya Tanjung Aan bagus juga, pemandangannya luar biasa. Di satu sisi ada sebuah bukit yang bisa dinaiki, lalu menyaksikan pantai dari atas. Keren….
Dan yang paling ok, airnya tenang. Tidak berombak. Sayang kalau dilewatkan begitu saja. Maka, dari 33 orang yang ikut tur, hanya saya dan Glenn, anak SMP kls 2 yang nyebur. Ada sih yang bermain air di pinggir pantai. Tapi yang bener-bener sampai berenang hanya kami berdua.
@ Tanjung Aan (my only one picture, :P)
Saat orang-orang sibuk foto-fotoan, saya malah asik berenang. Karena pantai ini dasarnya tidak berkarang seperti pantai sebelumnya. Jadi lebih enak, lebih leluasa. Oya, pantai ini juga disebut Pantai pasir Merica karena butiran pasirnya yang memang seperti biji merica.
Berbeda dengan pantai Seger, Tanjung Aan sudah lebih ramai. Sudah ada parkiran kendaraan. Warung penjual makanan juga lebih banyak. Dan yang paling penting, ada kamar mandi.
Sayangnya di pantai ini hanya sebentar, mungkin hanya 30 menitan. Karena orang-orang sepertinya sudah bosan kali ya… Selama saya ikut tur, baru kali itu saya ditungguin orang satu bis. Karena saya dan Glenn harus mandi dan ganti baju dulu.
Sumpah, saya masih belum puas disana. Masih ingin berendam dan berenang lebih lama. Kalau perlu hingga matahari terbenam.
Semoga pantai Kuta, Pantai Seger dan tanjung Aan segera dikembangkan dan dikelola dengan baik oleh pemerintah setempat. Dan investor mengembangkan bisnisnya dengan bijak disini. Mungkin bisa dibangun hotel dan beberapa villa di sekitar pantai atau tak jauh lah dari sana, lalu akses transportasi dan sarana penunjang seperti jalan raya wajib segera dibangun, fasilitas-fasilitas seperti spa, warnet, shop, diperlukan disini. Pantai ini memiliki potensi yang bagus, Pemandangannya indah, air lautnya menarik orang untuk berenang, bisa dipakai untuk even-event. Pengembangannya juga harus diawasi, jangan sampai terlalu over seperti Bali.
Hari Kedua, kami menyebrang ke Gili Trawangan. Diantara 3 gili, ini yang paling ramai. Kami tidak menyebrang dari dermaga bangsal, tapi dari pelabuhan mentigi, yaitu pelabuhan kecil yang biasa dipakai para nelayan. Katanya, di bangsal sedang ramai. Masuk akal karena kami berlibur saat libur panjang.
Di Gili Trawangan hanya 2 jam!!! Saya yang sebelumnya mengagendakan bersepeda dan snorkeling, terpaksa harus memilih salah satu. Yaitu snorkeling.
Dengan sewa Rp. 30.000,-/jam, peralatan snorkeling sudah ditangan. Saya dan beberapa teman memberanikan diri nyebur ke pantai. Dan ternyata, tidak semudah yang saya bayangkan. Kesalahan kami adalah tidak sekalian menyewa pelampung. Dan kami memulainya dari pinggir pantai. Bayangkan, kami harus menggunakan kaki katak (Flipper) untuk menuju sedikit ke tengah. Agak susah karena ombak sering menerjang walau tidak besar. Tapi bagi orang sekurus saya, hantaman ombaknya mampu membuat saya terombang ambing. Akhirnya saya putuskan untuk melepas kaki katak. Dan berenang menuju lebih ke tengah. Namun lagi-lagi masalahnya di peralatan, Alat bantu bernafasnya sering kemasukan air. Padahal saya sudah berusaha serapat mungkin menggigit alatnya. Sehingga air masuk dan menyusahkan untuk bernafas. Belum lagi masih ada air yang mencuri celah masuk ke hidung PAdahal hidung tertutup alat.
Alhamdulillah saya sudah bisa berenang walau masih sedikit-sedikit. Sehingga saya saya cukup menguasai diri ketika sampai agak ke tengah dan berpapasan dengan gelombang. Walaupun ya itu tadi, harus dengan penuh perjuangan.
Pemandangan bawah air, keren, subhanallah…. Ikan-ikannya cantik-cantik. Dari yang satu school of fish kecil-kecil berwarna biru, hingga yang berwarna kuning, hitam, dan macam-macam. Saya nggak tahu namanya, tapi mereka sangat cantik. Kami bahkan berinteraksi dengan mereka dengan memberi makan sepotong roti. Ikan-ikan itu langsung mengerubuti. Air yang dipinggir memang keruh, tapi yang agak ke tengah airnya jernih, bahkan saat posisi badan sedang berdiri diatas karang, sebagian badan diatas permukaan air, kita masih bisa melihat ikan-ikan itu dengan cantiknya. Itu baru yang dipantai, kebayang saat diving, menyelam ke kedalaman laut, melihat terumbu karang dan jutaan ikan serta biota laut lainnya. Selama ini kita hanya melihat di TV. Pasti akan jauh lebih keren. Secara di Indonesia kan, kaya akan keindahan bawah lautnya. Saya makin cinta deh sama kekayaan negeri ini.
Gili Trawangan ini memang ramai, bahkan bisa dibilang, banyak bulenya. Disini sudah ada penginapan, bar, restoran, travel agent, penyelenggara selam, dll. Selain snorkeling tadi, anda juga bisa naik sepeda mengelilingi satu pulau. Atau naik Cidomo (cikar dokar motor). Dokar khas pulau Lombok. Karena memang seperti diketahui banyak orang, di pulau ini kendaraan bermotor dilarang.
Well, satu lagi pengalaman baru yang seru. Walau sempat kesusahan dengan alat snorkeling, tapi pengalaman ini nilainya lebih banyak. Nggak rugi pokoknya.
Masih ada pantai Batu Bolong yang pasirnya berwarna hitam. Lagi-lagi pantainya masih bersih. Di belakang restoran tempat kami menginap, langsung menghadap pantai. Saya sempat mencoba main dan nyemplung di pantainya pada pagi hari sekitar jam 7. Gelombang cukup kuat dan sering kali dalam wujud yang cukup besar. Saya dan Glenn yang kurus kering dan dia yang memang masih kecil, otomatis terhanyut oleh ombaknya. Untungnya kami mampu bertahan, kalo nggak, bisa hanyut ke tengah kami…
Pantai di belakang Hotel, Kawasan Batu Bolong
Pantai Senggigi adalah pantai yang paling berkembang. Disana paling ramai. Hotel-hotel berbintang, villa dan resort siap menyambut para tamu, restoran, bar dan club, ATM, hingga mini market. Katanya sih, pusat keramaian memang di Senggigi ini. Dari Senggigi hingga Malimbu, perjalanannya keren, karena melewati jalan yang dibangun dekat dengan pantai. Dengan kontur yang meliuk-liuk karena berbukit, pemandangan langsung ke arah pantai. Pantainya cantik-cantik dan masih alami. Jika anda naik kendaraan dari arah Senggigi, pastikan duduk di samping jendela sebelah kiri kendaraan. Sepanjang perjalanan pula, anda akan melihat beberapa villa dan resort yang dari tampilan luarnya cukup keren. Lokasinya memang menjauh dari Senggigi, sehingga kemungkinan lebih tenang, lebih cocok untuk yang berbulan madu, atau jauh dari hingar bingar.
Hotel
Selama jalan-jalan di Lombok, kami menginap di Batu Bolong Cottage. Hotel ini katanya sih bintang 3. Letaknya tidak jauh dari kawasan Senggigi. Sebelum berangkat, seperti biasa saya googling dulu. Dari web, saya baca ulasan di tripadvisor. Saya sih tidak berharap banyak dari hotel itu. Pokoknya bisa tidur ajalah.
Surprisingly, kamar hotelnya bersih. Setiap kamar ada Ac nya. Kamar mandinya cukup luas dan juga bersih. Bath tub nya tampak masih baru, dinding kamar mandi ditutup dengan keramik. Sayangnya air panasnya kurang terkontrol. Kalau pas keluar panas, bisa sangat panas, harus diputar ke posisi dingin lagi. Untuk mendapatkan suhu yang pas, harus pinter-pinter muter krannya. Dua malam pertama AC cukup dingin. Tapi di malam terakhir, AC nya sering mati sendiri. Sepertinya di setting oleh room boynya.
Dari luar, tampaknya bangunan dibuat dari anyaman bamboo, tapi di bagian dalam, tembok. Rupanya anyaman bamboo itu hanya tampilan luar saja. Karena ini modelnya cottage, disetiap kamar, dilengkapi teras kecil. Di teras itu ada 2 tempat duduk yang biasa saya pakai untuk nongkrong.
Hotel ini terdiri dari 2 bangunan yang dipisahkan oleh jalan. Bangunan yang satu langsung berhadapan dengan pantai, terdiri dari kamar – kamar dan restoran. dan bangunan lain berupa cottage –cottage dan ruangan resepsionis. Kamar – kamar kami yang ada di seberang jalan. Jadi ketika waktu sarapan, kami harus menyeberang jalan untuk ke restorannya.
Berhadapan langsung dengan pantai, ada kolam renang yang tidak terlalu lebar. Hampir setiap hari saya dan anak – anak kecil berenang disitu. Bahkan setelah seharian jalan – jalan dan nyebur di pantai, saya masih nyebur lagi di kolam renang pada malam hari.
Sayangnya, staff housekeeping kurang peka. Sisa bungkus kue yang semalam tergeletak di atas meja di teras, setelah seharian kami tinggal, saat saya balik, bungkus kue itu masih ada disitu. Lalu lantai kamar mandi juga dibiarkan basah. Kamar memang dibersihkan, handuk juga diganti. Tapi ya itu tadi…
Saya satu kamar dengan Gerry, kakaknya Glenn. Mereka ini adalah anak dari rekan kantor saya. Ada satu orang lagi, yang nomer dua, yaitu Gelby. Bertiga mereka ini sering ngumpul di kamar. Saat waktu luang, saya sering melewatkan waktu bersama mereka. Saat teman-teman yang lain pergi menikmati suasana malam di kawasan Senggigi, saya malah di kamar nongkrong sama anak-anak SMA dan SMP (ya mereka bertiga itu), ngemil jajan dan makan Pop Mie.
Hampir selama acara tur, saya jalan sama mereka bertiga. Saat belanja di pasar seni pun, saya yang jadi pengawasnya, apalagi uang saku mereka itu, dipercayakan oleh mama mereka untuk saya pegang.
Menu
Sarapan sudah pasti di Hotel. Tapi, setiap hari sarapannya dengan menu yang sama. Pilihannya adalah Nasi goreng, Mie goreng, telur dadar/ mata sapi. Kerupuk, roti tawar, dan buah. Tambah kopi atau teh. Tidak ada variasi lain dan rasanya kurang sedap. Sebenarnya ingin mencoba sarapan dengan beli dari penduduk setempat. Namun sayangnya tidak ada warung penjual nasi atau makanan disekitar hotel. Ada sih warung, tapi nasi padang.
Pada malam pertama kami datang di Mataram, kami langsung makan malam di Restoran Taliwang Irama. Restoran ini terkenal di Lombok. Lokasinya di kota Cakranegara, desa karang taliwang. Jalan yang melewati restoran ini tidak lebar, jadi apabila sebuah bis berhenti untuk menurunkan penumpangnya untuk menuju restoran ini, maka kendaraan-kendaraan yang ada dibelakangnya harus sabar menunggu. Parkirannya tidak luas, hanya bisa menampung beberapa kendaraan pribadi.
Suasana restorannya sih ramai, bisa jadi karena saat ini liburan panjang. Semua meja terisi oleh tamu, bahkan di balai-balai lesehannya juga sudah penuh. Karena kami adalah tamu rombongan, maka tempat makan kami sudah dipersiapkan secara khusus. Yaitu di ruang “VIP” nya. Ruangan luas yang ber AC dan ada beberapa meja makan, serta sebuah meja prasmanan. Kami makan secara prasmanan selama 4 hari 3 malam.
Menu malam itu adalah ayam taliwang, ikan bakar madu, urap bali, dan tempe/tahu goreng. Ayam taliwangnya enak, ikan bakarnya sedap, dan urap balinya nikmat. Urap balinya mengingatkan saya ketika masih tinggal di Bali. Sambalnya juga segar, pedasnya capsicum berbaur dengan segar asemnya jeruk limau.
Ayam Taliwang
Hari kedua, kami makan siang di Restoran Kuta Indah, letaknya di kawasan Pantai Kuta. Pemandangan langsung ke arah pantai. Sayang, jarak ke arah pantainya masih jauh walau sudah terlihat.
Saya pikir kami terpaksa makan di restoran itu karena tidak banyak pilihan disana. Sepanjang perjalanan yang panas itu, memang sudah ada beberapa café, surf shop, warnet, perwakilan travel agent, tapi bisa dihitung dengan jari.
Makan siang di Kuta Indah, menunya adalah ayam kecap, Pelecing kangkung, ikan acar, dan tempe/tahu goreng. Rasanya pas-pasan.
Setelah itu, menu makan kami tidak jauh dari ayam goreng, kangkung, dan tempe tahu. Khusus di Café Montong yang ada di kawasan pantai Batu Layar, kangkungnya pedas enak. Dan ikan bakar madunya manis enak.
Lalu makan siang terakhir kami di pinggir sawah, yang menyediakan menu seafood. Kerang, Cumi goreng, Ikan fillet goreng asam manis, kangkung (lagi). Secara mengejutkan, rasanya enak loh. Sayang saya lupa nama restorannya.
Pura
Setelah makan siang terakhir, kami menuju 2 lokasi. Yaitu Pura Lingsar dan Pura Narmada. Di Pura Lingsar, saya sebenarnya lebih tertarik untuk ikutan mancing bersama banyak warga lokal, di sebuah kolam yang cukup luas, yang berada di bagian belakang komplek pura tersebut. Tapi berjalan-jalan mengitari komplek juga lumayan buat foto-fotoan. Disana ada air mancur yang konon biesa membuat awet muda. Saya sih iseng-iseng aja cuci muka disana. Eh, airnya segar loh.
Air Mancur Pura Lingsar
Di Pura Narmada kami masuk ke dalam sebuah ruangan kecil beraroma dupa, yang didalamnya dihiasi ornament khas Hindu bali. Di ruangan itu ada sebuah sumber air yang mengalir cukup deras. Kami didampingi oleh seorang pedanda. Setelah beliau membaca doa, kami dipersilakan mencuci muka dan minum air sumber tersebut.
Di komplek Pura Narmada, rupanya ada pemandian umum yang konon merupakan pemandian anggota kerajaan. Namun sekarang menjadi tempat rekreasi warga. Kompleknya sendiri cukup bagus dan asri. Sayang, kami tidak benar-benar masuk ke bangunan utama Puranya. Karena tempat tersebut memang sakral.
***
Beberapa teman mengatakan bahwa Lombok bagus, tapi selama belum dikembangkan, mereka males datang kesana lagi. Lombok masih butuh waktu dan dana lebih banyak untuk bisa menyaingi Bali.
Tapi tentu setiap daerah punya kekhasan masing-masing. Seperti misalnya, anda bisa menemukan sepotong Bali (dalam tradisi dan masyarakat Hindu nya) di Pulau Lombok, tapi anda tidak menemukan Lombok di Bali.
Potensi Lombok cukup besar, tinggal perlu pengelolaan dan investasi yang baik, dan ditunjang dengan SDM yang sadar wisata, saya yakin Lombok akan lebih bersinar. Saya pribadi cukup menyukai Lombok dan pantainya. Saya berharap bisa kesana lagi. Dan saat itu tiba, sudah ada transportasi umum yang bisa membawa saya menuju Tanjung Aan, hehehehe…