Mlampah-mlampah ing Jogja

Akhirnya saya bisa jalan-jalan bareng temen-temen terdekat. Walaupun cuma satu malam, tapi sudah cukup untuk dinikmati. Awal Juni ini saya bersama mereka, jalan-jalan ke Jogjakarta. Dua orang teman memutuskan ikut di hari keberangkatan setelah sebelumnya galau soal uang.

Terakhir ke Jogjakarta, adalah ketika masih kuliah sekitar tahun 2004.

Berangkat tidak dari Bungurasih pada hari Jumat malam, karena tak disangka, jumlah calon penumpang membludak dan saling berebut naik bis. Maka kami putuskan untuk naik bis Eka dari pool nya di Sidoarjo.  Dan sampai di terminal Giwangan, Jogjakarta subuh jam 4.30 WIB. Kami naik kendaraan umum dan tidak berencana menyewa motor selama di Jogja. Karena saya memang sudah merencanakan ingin naik TransJogja.

Setelah berdikusi sebentar tentang tempat tujuan, akhirnya kami memutuskan untuk ke Candi Borobudur. Dari Giwangan, ada bis kecil yang membawa kami langsung ke kawasan Borobudur. Ongkosnya 15ribu untuk sekitar satu setengah jam perjalanan.

Berhubung masih pagi banget, perjalanan cukup lancar. Kami turun di pemberhentian bis di kawasan Borobudur. Dari terminal kecil itu kami berjalan kaki sebentar menuju kawasan wisata. Tidak jauh kok. Tapi kami tidak langsung masuk area wisata. Kami sarapan dulu di sebuah warung yang ada disekitar pintu masuk parkir kendaraan pribadi. Kami memilih warung yang berbentuk rumah karena disana pasti ada kamar mandinya. Lumayan numpang gosok gigi dan cuci muka.

Tiket masuk kawasan wisata Candi Borobudur adalah Rp. 30ribu per orang. Di area candi yang terkenal seantero dunia ini, ada information center yang cukup lengkap dan ada pemutaran film tentang Candi Borobudur. Lalu tak jauh dari information center, anda bisa menunggang gajah. Saya tidak mencari tahu informasinya, karena saya baru melihat gajah-gajah tersebut ketika sudah mau keluar dari kawasan candi. Saat masuk, mungkin masih terlalu pagi.

Candi Borobudur, yah seperti itu. Saya berkunjung ketika musim liburan sekolah. Saat itu ramai dengan dengan bis-bis dari luar Jogjakarta. Anak-anak sekolah membanjiri area Candi. Kebanyakan sih cuma foto-fotoan aja di area Candi. Ada yang duduk-duduk di stupa walaupun dilarang.

Ada juga beberapa turis asing (dari bahasanya saya bisa tahu mereka dari Rusia), yang menjadi rebutan anak-anak sekolah itu untuk berfoto bersama.

Keramaian itu membuat saya tidak bisa menikmati keindahan Borobudur yang luar biasa. Belum lagi keindahan pemadangan sekitar candi yang hijau asri.

Setelah dari Candi, kami langsung menuju Maliboro untuk mencari penginapan. Dari Borobudur ke Malioboro naik bis turun di terminal Jombor, lalu naik TransJogja jurusan 2A.

Kami mencoba bertanya ke beberapa hotel di jalan Sosrowijayan. Sampai akhirnya kami masuk ke dalam sebuah gang kecil, dan walaa… penginapan PJA itu ada dipojok gang. Ada kamar yang murah dibawah 150rb tapi menggunakan fan. Sebenarnya saya bermaksud mencari lagi penginapan, namun tiba-tiba hujan turun dengan derasnya. Akhirnya, sedikit terpaksa memilih penginapan itu. Ambil kamar berAC seharga 220rb per malam sudah termasuk sarapan.

Dan bener-bener diluar rencana, hujan deras itu membuat kami menunda jalan-jalan lagi. Saya dan pacar saya tidur siang!! Entah karena kecapekan karena perjalanan atau saya juga kurang tidur semalam di bis dari Surabaya, kami bisa tidur nyenyak hingga sore hari. Selama mbolang atau jalan-jalan, baru kali itu tidur siang masuk ke agenda.

Untungnya sore hari hujan sudah reda, sehingga kami bisa menyusuri jalan Malioboro, dari ujung ke ujung. Mampir berfoto di gerbang benteng Vanderburg, dan ngintip Keraton Jogja di alun-alunnya, beli bakpia Pathuk, dan nongkrong sebentar di Tugu Jogja. Agenda belanja oleh-oleh kami lakukan pada hari Minggu pagi di pasar Bringharjo yang juga masih ada di sekitar Malioboro. Karena saya memang tidak menyiapkan budget untuk membeli oleh-oleh, maka saya tidak berbelanja apapun.

Selama di Jogja, tiga kali kami makan Gudeg Jogja yang terkenal itu. Pertama saat tiba di Borobudur. Kami makan warung yang ada di dekat komplek Candi itu. Menunya adalah Gudeg Telor. Lalu saat makan malam di Malioboro, kami makan lesehan di sebuah warung kaki lima. Gudeg Telor lagi. Dan sarapan dari hotel juga nasi kotak yang menunya, Gudeg telor.

Gudeg yang kami nikmati berupa sepiring nasi dengan lauk sayur nangka muda yang manis, tumis tempe, seiris krecekan (kulit sapi), dan pindang telor. Gudeg di warung dekat candi rasanya enak, harganya murah, Rp. 10rb. Gudeg dari penginapan juga lumayan enak. Justru yang di lesehan Malioboro yang kurang sedap. Padahal harganya Rp. 13.000. Saya memilih Gudeg karena itulah budget yang paling pas. Hahahaha.. karena menu lalapan mulai dari Rp. 15rb. Masih murah di Surabaya. Ayam lalapan aja masih Rp. 8rb.

Makan siang di hari Minggu, saya minta ke House of Raminten yang tersohor itu. Dari Malioboro naik TransJogja jurusan 2A. muter-muter sampai turun di halte Kridosono. Dari sana kami transit sebentar menunggu TransJogja 3A. Yang ternyata turun di halte setelahnya, yaitu halte jalan FM Noto. Dari Raminten ke Giwangan, kami naik 3A lagi, yang ternyata lewat Malioboro – eh, ternyata Raminten itu tidak jauh dari Malioboro, jadi tadi itu jalannya muter, hehehe.. tapi seru sih, kejutan yang seperti itu yang saya cari).

Ok, jadi inilah Raminten yang banyak dibicarakan itu. Sebuah rumah yang di depannya terpampang foto sang empunya, nyai Raminten itu. Di terasnya, terdapat bangku-bangku untuk mengantri. Ya, untuk makan saja kami harus mengantri. Untungnya siang itu tidak terlalu rame, jadi antrian hanya ada 4. Konon saat jam sibuk, antrian bisa sampai sejam. Dari teras antrian, kami tidak bisa meilhat kedalam, karena tertutup sebuah “gapura” kecil yang di depannya dipajang sebuah gong kecil, sebuah baskom berisi air dan taburan kelopak bunga mawar. Ada kereta kuda yang dibiarkan begitu saja.

Setelah menunggu sebentar, kami diantar mas waiter ke meja kami. Hampir semua meja bertema lesehan dengan tempat duduk lesehan dari rotan-rotanan yang memiliki sandaran. Rumah makan ini sebenarnya adalah halaman samping sebuah rumah yang dibuat jadi tempat makan. Di lantai bawah, dibuat panggung kecil untuk lesehan, di lantai duanya, juga lesehan. Dan semuanya berunsur kayu.

Kesan nyentrik terasa sejak dari depan, di dalam, tak jauh beda. Begitu masuk kami disambut aroma dupa. Memang di beberap sudut dipasangi dupa. Menunya juga lucu, ada ayam koteka, perawan tancep, dll. Ditambah penampilan waiternya. Si mbak waitress memakai kemben, si mas waiternya memakai jarik, kaos dalam dan rompi hitam. Pergelangan kakinya memakai gelang tari yang berbunyi itu. Dan setiap waiter dibekali handy talkie untuk mereka berkomunikasi. Mas waiternya dipilih yang good looking. And I could catch their signal

Rasa makanannya sih lumayan enak, dan harganya murah meriah. Mulai 3ribu rupiah. Porsinya memang kecil untuk yg 3ribu, tapi bagi saya itu sudah cukup.

Oya, kami sempat jalan kaki mengikuti orang-orang yang naik becak, menuju tempat beli oleh-oleh bakpia pathuk. Namun setiba dilokasi, ternyata di jalan itu, yang ada toko-toko kaos Jogja. Hanya ada satu yang jualan bakpia. Dan saya yakin bukan itu toko bakpia pathuknya. Maka saya pu segera menelpon teman yang dari Jogja, dan bertanya tentang lokasi toko bakpia.

Ternyata benar, yang jual bakpia yang ‘asli’ ada di jalan pathuk. Kami memilih beli di toko bakpia pathuk 25. Bakpianya masih panas… sekotak Rp. 26ribu. Untuk kesana, anda bisa naik becak, tapi pastikan harganya cocok dulu di depan. Karena mereka, tukang becak itu sering menawarkan hanya lima ribu rupiah. Tapi anda akan dibawa melewati jalan yang lebih panjang, kemudian saat turun dan dibawa balik ke tempat semula, harganya bisa naik. Kami ditagih sepuluh ribu per becak.

Waktu makan lesehan di Malioboro, Saya cukup menikmati malam minggu itu. Malioboro ga Cuma tempat buat belanja atau nge mall… duh, jauh-jauh ke Jogja masa ngemall. Bisa duduk-duduk di bangku yang banyak ada di trotoar, sambil melihat orang berlalu lalang. Ngemil sate Madura (yang jualan ibu-ibu Madura), atau sambil lesehan. Ada juga perpustakaan sebelum halte malioboro 1 kalau mau baca-baca. Atau jalan sebentar ke jalan Mangkubumi nongkrong di angkringan (makan nasi kucing sambil ngopi joss).

Tugu Jogja

Tugu Jogja

Sayangnya, saat malam minggu itu, trotoar di Malioboro nyaris habis untuk warung lesehan, penjual baju batik/kaos kaki lima, penjual makanan,penjual souvenir,  dan parkiran motor. Padahal, trotoar itu cukup luas. Sehingga ruang untuk pejalan kaki seadanya saja. Apabila pejalan kaki di depan berhenti, maka semakin sempit lah jalan. Saya tidak tahu bagaimana kondisinya jika hari biasa. Karena saat pagi – sore hari, trotoar belum dipakai untuk parkir motor. Setidaknya itu pengamatan saya.

Kami sampai di Giwangan jam 4 sore. Karena bis patas AC baru jalan jam 7 malam, maka kami putuskan naik bis ekonomi AC. Sampai di Surabaya jam  1 dini hari. Pacar saya sudah turun duluan di Kertosono karena dia pulang ke Kediri. Alhamdulillah, masih ada bis terakhir ke Perak. Saya rasa itu adalah bis terakhir. Karena kalo tidak ada, saya terpaksa naik taksi.

Next, saya masih mau kesana. Saya masih ingin ke Prambanan, nonton Sendratari Ramayana, dan berwisata alam di Jogja. Tapi naik Kereta Api.

Bumi Gora, Lombok

Enaknya ikut dalam sebuah tur yang sudah dirancang oleh travel agent adalah tidak ribet. Semua tetek bengeknya sudah diurus. Mulai dari penginapan, makanan, tempat tujuan atau objek wisata yang sudah diatur, termasuk tiket masuknya, transportasi, hingga proses bagasi dan cek in bandara. Peserta tur hanya tinggal membawa badan, baju ganti dan uang saku saja.

Nggak enaknya, karena semua sudah diatur, kita mesti mengikuti jadwal yang sudah ditetapkan. Jadi apabila di sebuah tempat wisata yang disukai, ingin berlama-lama, tapi tidak bisa karena waktunya sudah ditentukan. Selain itu harus bertoleransi dengan peserta tur yang lain. Walaupun peserta tur nya adalah teman-teman sendiri.

Beberapa hari lalu saya ikut rombongan tur kantor ke Lombok. Acara yang rutin diadakan tiap tahun. Setelah tahun lalu ke Singapore, tahun ini jalan-jalannya ke negeri sendiri. Yah, itung-itung menyemarakkan Wonderful Indonesia…. Hweeee

Berangkat dari Juanda SUB, jam 4 sore dengan Citilink. Maskapai ini sebenarnya enak, tapi delaynya itu yang malesin. Di hari terakhir, saat kami harus kembali dari Lombok ke Surabaya. Delay dari yang seharusnya penerbangan jam 18.30 WITA, menjadi jam 22.00 WITA!!!

Penerbangan ke pulau Lombok lebih kurang satu jam. Karena bagasi sudah diurus, bahkan sudah diantar ke hotel, maka kami satu rombongan langsung naik bis menuju kota Mataram

Ada Apa di Lombok?

Hari pertama kami mengunjungi 3 desa budaya di Lombok. Yang pertama adalah Desa Banyumulek. Desa ini terkenal akan kerajinan tembikar atau gerabahnya. Konon para perempuan di desa ini wajib bisa membuat gerabah agar mudah mendapat jodoh.

Sempat melihat sebentar bagaimana proses pembuatan sebuah vas dari tanah liat. Dari bahan yang sederhana dan ketrampilan si artis, si mbaknya maksud saya, sebuah vas dengan mudahnya dibentuk. Butuh keuletan dan sentuhan passion untuk bisa membuat kerajinan – kerajinan itu. Dalam satu komplek dengan workshopnya, ada art shop yang dikelola secara koperasi. Disana dijual hasil kerajinan gerabahnya. Mulai dari miniature tokek dan penyu, asbak, cangkir hingga guci yang tingginya 1 meter. Harganya… hmmmm, lumayan mahal. Satu set teko dan 4 buah cangkir seharga Rp. 350.000,-, lalu sebuah kuali kecil untuk merebus jamu saja harganya Rp. 140.000,-.

Kerajinan Gerabah/Tembikar

Kerajinan Gerabah/Tembikar

Sayangnya, akses menuju desa ini sangat jelek. Jalan masuk ke desa ini sempit. Sehingga apabila ada 2 bis berpapasan, harus melaju dengan sangat pelan dan hati-hati. Dan kendaraan-kendaraan dibelakangnya harus sabar menunggu.

Setelah dari Banyumulek, kami menuju desa Sukarare (Huruf e nya dibaca seperti e pada elang). Kali ini, desa ini spesialisasinya di kain tenun khas Lombok. Jika kita melewati rumah-rumah di desa ini, ada beberapa perempuan yang duduk diatas lantai atau balai-balai dengan peralatan menenun di pangkuannya. Beberapa galeri yang menjual kain tenun juga ada disitu. Biasanya di depannya ada perempuan-perempuan penduduk setempat yang menenun. Pengunjung bisa juga mencoba bagaimana cara menenun. Saya melihatnya saja cukup susah. Harus sabar dan tekun. Menurut mereka, membuat sebuah kain tenun bisa memakan waktu hingga berminggu-minggu hingga berbulan-bulan. Tergantung ukuran dan motifnya.

Harganya, mahal memang. Dijual mulai Rp. 400.000,-. Untuk kain tenun dengan hasil yg tebal, harganya bisa mencapai Rp. 750.000,-. Jika melihat bagaimana proses pembuatannya, harga segitu cukup pantas.

Kain Tenun suku Sasak

Kain Tenun suku Sasak

Apabila anda merasa harga kainnya terlalu mahal, anda masih bisa berfoto-foto dengan menggunakan baju adat suku Sasak hanya dengan sewa bajunya sebesar Rp. 10.000,-.

Oya, dibanyak tempat wisata di pulau Lombok ini, ada banyak penjual souvenir yang menjual kain tenun. Tapi tentu dengan harga yang sangat jauh berbeda. Jika memang anda ingin memiliki kain tenun khas Lombok, yg KW banyak kok. Hehehe

Kemudian kami menuju desa Sade. Desa yang masih mempertahankan rumah adat suku Sasak. Termasuk budaya dan cara hidupnya. Rupanya di desa itu ada beberapa rumah yang masih menjaga keaslian struktur bangunan rumah adat. Dan wisatawan diperbolehkan masuk. Rumah-rumah itu bukanlah rumah yang sengaja dibuat untuk wisatawan. Tapi rumah-rumah itu ya tempat tinggal warga disana.

Rumah Adat Desa Sade

Rumah Adat Desa Sade

Setelah melewati gang-gang kecil yang berbatu dan masih tanah, kami sampai pada sebuah rumah adat. Bangunan berdinding bamboo dan beratap daun rumbia kering. Lantainya, saya ga yakin, tapi sepertinya sudah disemen, daaaaan, katanya si tuan rumah sih, kalo ngepel, dicampur dengan kotoran kerbau.. ups.

Ruangannya kecil, tidak ada furniturnya. Di bagian depan merupakan tempat untuk menerima tamu. Tempat berkumpul keluarga.  Ada sedikit anak tangga untuk masuk ke ruangan selanjutnya. Untuk memasuki ruangan selanjutnya ini, hanya ada satu pintu kecil berukuran satu orang dewasa. Tinggi saya 170cm, dan saya masih harus membungkuk untuk melewatinya. Di ruangan ini, cukup membuat saya menahan napas, karena di ruangan yang tidak terlalu lebar ini, dapur, tempat menyimpan beras dan tempat tidur jadi satu. Kalo tidur masih pakai tikar. Dan satu-satunya penerangan adalah sebuah alat mirip lentera. Walau hari masih siang, suasana di ruangan itu agak gelap.

"lentera"

“lentera” yang dipakai untuk menerangi ruangan

The Beach

Ke Lombok itu nggak afdol kalau nggak ke Pantainya. Dan sebenarnya inilah yang memang saya nantikan. Setelah mengunjungi ke3 desa tersebut. Kami menuju pantai Seger yang masih dikawasan Pantai Kuta, Lombok.

Pemandangan alamnya bagus banget, pantai ini juga masih sangat alami. Saking alaminya, nyaris tidak ada apa-apa disana. Ada sih yang menjual makanan dan minuman, itupun hanya ada satu diujung sana. Jalan menuju kesana awalnya memang sudah beraspal, tapi setelah itu, kami melewati jalan yang belum diaspal alias masih tanah. Untung medan yang kami lalui rata. Karena sepertinya, pantai ini juga sudah sering dikunjungi.

Saya suka pantai ini bersih, tepian pantainya juga cukup luas menjorok ke daratan. Sayangnya ini jenis pantai yang berkarang. Memang untuk foto-fotoan, karang mati yang lebih tinggi dari permukaan air laut bisa jadi tempat foto-fotoan. Selain itu juga bisa ditemui beberapa ikan kecil berwarna-warni, bulu babi, bahkan juga bintang laut. Tapi jika untuk berenang, jadi harus hati-hati. Jangan sampai menginjak si bulu babi.

Saya yang memang sudah siap, tanpa pikir panjang langsung nyebur ke pantai. Bersama beberapa teman dan anak-anak kecil serombongan. Sedang rombongan yang lain memilih duduk-duduk di tempat berteduh. Yang lain foto-fotoan, yang lainnya sibuk dikejar-kejar pedagang asongan.

Pantai Seger, Kuta, Lombok

Pantai Seger, Kuta, Lombok

Pantai Seger, Kuta, Lombok

Pantai Seger, Kuta, Lombok

Ombaknya cukup rapi, nggak terlalu kuat. Suhunya juga dingin. Awalnya, orang-orang nggak mau berlama-lama karena panas. Tapi rupanya, cuaca mendukung saya, panas hilang. Sinar matahari yang terik terhalang oleh awan. Maka semakin nyaman saya berendam di pantai. Hingga jadwal yang harusnya 30 menit, molor jadi sejam. Halooo, di pantai yang bagus gini Cuma setengah jam, yang benar saja…

Sayangnya, karena pantai ini masih belum dikelola dengan baik, dan seperti yang saya bilang, belum ada fasilitas penunjang apapun. Kamar mandi tidak ada. Jadi saya terpaksa ganti baju di sebuah gubuk tak terpakai yang agak terbuka. Huft…

Oya, kata guide kami, di pantai ini setiap setahun sekali diadakan perayaan untuk memperingati putri Mandalika, yaitu tradisi Nyale. Berburu cacing laut untuk dikonsumsi.

Berikutnya, kami menuju Tanjung Aan. Ini setelah proses voting karena rupanya ada beberapa orang yang tidak mau ke pantai lagi, dengan alasan sudah cukup puas di pantai Seger. Saya tidak terima, lha di tour Itenerary nya ada jadwal ke tanjung Aan.

Wuih, rupanya Tanjung Aan bagus juga, pemandangannya luar biasa. Di satu sisi ada sebuah bukit yang bisa dinaiki, lalu menyaksikan pantai dari atas. Keren….

Dan yang paling ok, airnya tenang. Tidak berombak. Sayang kalau dilewatkan begitu saja. Maka, dari 33 orang yang ikut tur, hanya saya dan Glenn, anak SMP kls 2 yang nyebur. Ada sih yang bermain air di pinggir pantai. Tapi yang bener-bener sampai berenang hanya kami berdua.

@ Tanjung Aan

@ Tanjung Aan (my only one picture, :P)

Saat orang-orang sibuk foto-fotoan, saya malah asik berenang. Karena pantai ini dasarnya tidak berkarang seperti pantai sebelumnya. Jadi lebih enak, lebih leluasa. Oya, pantai ini juga disebut Pantai pasir Merica karena butiran pasirnya yang memang seperti biji merica.

Berbeda dengan pantai Seger, Tanjung Aan sudah lebih ramai. Sudah ada parkiran kendaraan. Warung penjual makanan juga lebih banyak. Dan yang paling penting, ada kamar mandi.

Sayangnya di pantai ini hanya sebentar, mungkin hanya 30 menitan. Karena orang-orang sepertinya sudah bosan kali ya… Selama saya ikut tur, baru kali itu saya ditungguin orang satu bis. Karena saya dan Glenn harus mandi dan ganti baju dulu.

Sumpah, saya masih belum puas disana. Masih ingin berendam dan berenang lebih lama. Kalau perlu hingga matahari terbenam.

Semoga pantai Kuta, Pantai Seger dan tanjung Aan segera dikembangkan dan dikelola dengan baik oleh pemerintah setempat. Dan investor mengembangkan bisnisnya dengan bijak disini. Mungkin bisa dibangun hotel dan beberapa villa di sekitar pantai atau tak jauh lah dari sana, lalu akses transportasi dan sarana penunjang seperti jalan raya wajib segera dibangun, fasilitas-fasilitas seperti spa, warnet, shop, diperlukan disini. Pantai ini memiliki potensi yang bagus, Pemandangannya indah, air lautnya menarik orang untuk berenang, bisa dipakai untuk even-event. Pengembangannya juga harus diawasi, jangan sampai terlalu over seperti Bali.

Hari Kedua, kami menyebrang ke Gili Trawangan. Diantara 3 gili, ini yang paling ramai. Kami tidak menyebrang dari dermaga bangsal, tapi dari pelabuhan mentigi, yaitu pelabuhan kecil yang biasa dipakai para nelayan. Katanya, di bangsal sedang ramai. Masuk akal karena kami berlibur saat libur panjang.

Di Gili Trawangan hanya 2 jam!!! Saya yang sebelumnya mengagendakan bersepeda dan snorkeling, terpaksa harus memilih salah satu.  Yaitu snorkeling.

Dengan sewa Rp. 30.000,-/jam, peralatan snorkeling sudah ditangan. Saya dan beberapa teman memberanikan diri nyebur ke pantai. Dan ternyata, tidak semudah yang saya bayangkan. Kesalahan kami adalah tidak sekalian menyewa pelampung. Dan kami memulainya dari pinggir pantai. Bayangkan, kami harus menggunakan kaki katak (Flipper) untuk menuju sedikit ke tengah. Agak susah karena ombak sering menerjang walau tidak besar. Tapi bagi orang sekurus saya, hantaman ombaknya mampu membuat saya terombang ambing. Akhirnya saya putuskan untuk melepas kaki katak. Dan berenang menuju lebih ke tengah. Namun lagi-lagi masalahnya di peralatan, Alat bantu bernafasnya sering kemasukan air. Padahal saya sudah berusaha serapat mungkin menggigit alatnya. Sehingga air masuk dan menyusahkan untuk bernafas. Belum lagi masih ada air yang mencuri celah masuk ke hidung PAdahal hidung tertutup alat.

Alhamdulillah saya sudah bisa berenang walau masih sedikit-sedikit. Sehingga saya saya cukup menguasai diri ketika sampai agak ke tengah dan berpapasan dengan gelombang. Walaupun ya itu tadi, harus dengan penuh perjuangan.

Pemandangan bawah air, keren, subhanallah…. Ikan-ikannya cantik-cantik. Dari yang satu school of fish  kecil-kecil berwarna biru, hingga yang berwarna kuning, hitam, dan macam-macam. Saya nggak tahu namanya, tapi mereka sangat cantik. Kami bahkan berinteraksi dengan mereka dengan memberi makan sepotong roti. Ikan-ikan itu langsung mengerubuti. Air yang dipinggir memang keruh, tapi yang agak ke tengah airnya jernih, bahkan saat posisi badan sedang berdiri diatas karang, sebagian badan diatas permukaan air, kita masih bisa melihat ikan-ikan itu dengan cantiknya. Itu baru yang dipantai, kebayang saat diving, menyelam ke kedalaman laut, melihat terumbu karang dan jutaan ikan serta biota laut lainnya. Selama ini kita hanya melihat di TV. Pasti akan jauh lebih keren. Secara di Indonesia kan, kaya akan keindahan bawah lautnya. Saya makin cinta deh sama kekayaan negeri ini.

Gili Trawangan ini memang ramai, bahkan bisa dibilang, banyak bulenya. Disini sudah ada penginapan, bar, restoran, travel agent, penyelenggara selam, dll. Selain snorkeling tadi, anda juga bisa naik sepeda mengelilingi satu pulau. Atau naik Cidomo (cikar dokar motor). Dokar khas pulau Lombok. Karena memang seperti diketahui banyak orang, di pulau ini kendaraan bermotor dilarang.

Well, satu lagi pengalaman baru yang seru. Walau sempat kesusahan dengan alat snorkeling, tapi pengalaman ini nilainya lebih banyak. Nggak rugi pokoknya.

Masih ada pantai Batu Bolong yang pasirnya berwarna hitam. Lagi-lagi pantainya masih bersih. Di belakang restoran tempat kami menginap, langsung menghadap pantai. Saya sempat mencoba main dan nyemplung di pantainya pada pagi hari sekitar jam 7. Gelombang cukup kuat dan sering kali dalam wujud yang cukup besar. Saya dan Glenn yang kurus kering dan dia yang memang masih kecil, otomatis terhanyut oleh ombaknya. Untungnya kami mampu bertahan, kalo nggak, bisa hanyut ke tengah kami…

Pantai di belakang Hotel, Kawasan Batu Bolong

Pantai Senggigi adalah pantai yang paling berkembang. Disana paling ramai. Hotel-hotel berbintang, villa dan resort siap menyambut para tamu, restoran, bar dan club, ATM, hingga mini market. Katanya sih, pusat keramaian memang di Senggigi ini. Dari Senggigi hingga Malimbu, perjalanannya keren, karena melewati jalan yang dibangun dekat dengan pantai. Dengan kontur yang meliuk-liuk karena berbukit, pemandangan langsung ke arah pantai. Pantainya cantik-cantik dan masih alami. Jika anda naik kendaraan dari arah Senggigi, pastikan duduk di samping jendela sebelah kiri kendaraan. Sepanjang perjalanan pula, anda akan melihat beberapa villa dan resort yang dari tampilan luarnya cukup keren. Lokasinya memang menjauh dari Senggigi, sehingga kemungkinan lebih tenang, lebih cocok untuk yang berbulan madu, atau jauh dari hingar bingar.

Hotel

Selama jalan-jalan di Lombok, kami menginap di Batu Bolong Cottage. Hotel ini katanya sih bintang 3. Letaknya tidak jauh dari kawasan Senggigi. Sebelum berangkat, seperti biasa saya googling dulu. Dari web, saya baca ulasan di tripadvisor. Saya sih tidak berharap banyak dari hotel itu. Pokoknya bisa tidur ajalah.

Surprisingly, kamar hotelnya bersih. Setiap kamar ada Ac nya. Kamar mandinya cukup luas dan juga bersih. Bath tub nya tampak masih baru, dinding kamar mandi ditutup dengan keramik. Sayangnya air panasnya kurang terkontrol. Kalau pas keluar panas, bisa sangat panas, harus diputar ke posisi dingin lagi. Untuk mendapatkan suhu yang pas, harus pinter-pinter muter krannya. Dua malam pertama AC cukup dingin. Tapi di malam terakhir, AC nya sering mati sendiri. Sepertinya di setting oleh room boynya.

Dari luar, tampaknya bangunan dibuat dari anyaman bamboo, tapi di bagian dalam, tembok. Rupanya anyaman bamboo itu hanya tampilan luar saja. Karena ini modelnya cottage, disetiap kamar, dilengkapi teras kecil. Di teras itu ada 2 tempat duduk yang biasa saya pakai untuk nongkrong.

Hotel ini terdiri dari 2 bangunan yang dipisahkan oleh jalan. Bangunan yang satu langsung berhadapan dengan pantai, terdiri dari kamar – kamar dan restoran. dan bangunan lain berupa cottage –cottage dan ruangan resepsionis. Kamar – kamar kami yang ada di seberang jalan. Jadi ketika waktu sarapan, kami harus menyeberang jalan untuk ke restorannya.

Berhadapan langsung dengan pantai, ada kolam renang yang tidak terlalu lebar. Hampir setiap hari saya dan anak – anak kecil berenang disitu. Bahkan setelah seharian jalan – jalan dan nyebur di pantai, saya masih nyebur lagi di kolam renang pada malam hari.

Sayangnya, staff housekeeping kurang peka. Sisa bungkus kue yang semalam tergeletak di atas meja di teras, setelah seharian kami tinggal, saat saya balik, bungkus kue itu masih ada disitu. Lalu lantai kamar mandi juga dibiarkan basah. Kamar memang dibersihkan, handuk juga diganti. Tapi ya itu tadi…

Saya satu kamar dengan Gerry, kakaknya Glenn. Mereka ini adalah anak dari rekan kantor saya. Ada satu orang lagi, yang nomer dua, yaitu Gelby. Bertiga mereka ini sering ngumpul di kamar. Saat waktu luang, saya sering melewatkan waktu bersama mereka. Saat teman-teman yang lain pergi menikmati suasana malam di kawasan Senggigi, saya malah di kamar nongkrong sama anak-anak SMA dan SMP (ya mereka bertiga itu), ngemil jajan dan makan Pop Mie.

Hampir selama acara tur, saya jalan sama mereka bertiga. Saat belanja di pasar seni pun, saya yang jadi pengawasnya, apalagi uang saku mereka itu, dipercayakan oleh mama mereka untuk saya pegang.

Menu

Sarapan sudah pasti di Hotel. Tapi, setiap hari sarapannya dengan menu yang sama. Pilihannya adalah Nasi goreng, Mie goreng, telur dadar/ mata sapi. Kerupuk, roti tawar, dan buah. Tambah kopi atau teh. Tidak ada variasi lain dan rasanya kurang sedap. Sebenarnya ingin mencoba sarapan dengan beli dari penduduk setempat. Namun sayangnya tidak ada warung penjual nasi atau makanan disekitar hotel. Ada sih warung, tapi nasi padang.

Pada malam pertama kami datang di Mataram, kami langsung makan malam di Restoran Taliwang Irama. Restoran ini terkenal di Lombok. Lokasinya di kota Cakranegara, desa karang taliwang. Jalan yang melewati restoran ini tidak lebar, jadi apabila sebuah bis berhenti untuk menurunkan penumpangnya untuk menuju restoran ini, maka kendaraan-kendaraan yang ada dibelakangnya harus sabar menunggu. Parkirannya tidak luas, hanya bisa menampung beberapa kendaraan pribadi.

Suasana restorannya sih ramai, bisa jadi karena saat ini liburan panjang. Semua meja terisi oleh tamu, bahkan di balai-balai lesehannya juga sudah penuh. Karena kami adalah tamu rombongan, maka tempat makan kami sudah dipersiapkan secara khusus. Yaitu di ruang “VIP” nya. Ruangan luas yang ber AC dan ada beberapa meja makan, serta sebuah meja prasmanan. Kami makan secara prasmanan selama 4 hari 3 malam.

Menu malam itu adalah ayam taliwang, ikan bakar madu, urap bali, dan tempe/tahu goreng. Ayam taliwangnya enak, ikan bakarnya sedap, dan urap balinya nikmat. Urap balinya mengingatkan saya ketika masih tinggal di Bali. Sambalnya juga segar, pedasnya capsicum berbaur dengan segar asemnya jeruk limau.

Ayam Taliwang

Ayam Taliwang

Hari kedua, kami makan siang di Restoran Kuta Indah, letaknya di kawasan Pantai Kuta. Pemandangan langsung ke arah pantai. Sayang, jarak ke arah pantainya masih jauh walau sudah terlihat.

Saya pikir kami terpaksa makan di restoran itu karena tidak banyak pilihan disana. Sepanjang perjalanan yang panas itu, memang sudah ada beberapa café, surf shop, warnet, perwakilan travel agent, tapi bisa dihitung dengan jari.

Makan siang di Kuta Indah, menunya adalah ayam kecap, Pelecing kangkung, ikan acar, dan tempe/tahu goreng. Rasanya pas-pasan.

Setelah itu, menu makan kami tidak jauh dari ayam goreng, kangkung, dan tempe tahu. Khusus di Café Montong yang ada di kawasan pantai Batu Layar, kangkungnya pedas enak. Dan ikan bakar madunya manis enak.

Lalu makan siang terakhir kami di pinggir sawah, yang menyediakan menu seafood. Kerang, Cumi goreng, Ikan fillet goreng asam manis, kangkung (lagi). Secara mengejutkan, rasanya enak loh. Sayang saya lupa nama restorannya.

Pura

Setelah makan siang terakhir, kami menuju 2 lokasi. Yaitu Pura Lingsar dan Pura Narmada. Di Pura Lingsar, saya sebenarnya lebih tertarik untuk ikutan mancing bersama banyak warga lokal, di sebuah kolam yang cukup luas, yang berada di bagian belakang komplek pura tersebut. Tapi berjalan-jalan mengitari komplek juga lumayan buat foto-fotoan. Disana ada air mancur yang konon biesa membuat awet muda. Saya sih iseng-iseng aja cuci muka disana. Eh, airnya segar loh.

Air Mancur Pura Lingsar

Air Mancur Pura Lingsar

Di Pura Narmada kami masuk ke dalam sebuah ruangan kecil beraroma dupa, yang didalamnya dihiasi ornament khas Hindu bali. Di ruangan itu ada sebuah sumber air yang mengalir cukup deras. Kami didampingi oleh seorang pedanda. Setelah beliau membaca doa, kami dipersilakan mencuci muka dan minum air sumber tersebut.

Di komplek Pura Narmada, rupanya ada pemandian umum yang konon merupakan pemandian anggota kerajaan. Namun sekarang menjadi tempat rekreasi warga. Kompleknya sendiri cukup bagus dan asri. Sayang, kami tidak benar-benar masuk ke bangunan utama Puranya. Karena tempat tersebut memang sakral.

***

Beberapa teman mengatakan bahwa Lombok bagus, tapi selama belum dikembangkan, mereka males datang kesana lagi. Lombok masih butuh waktu dan dana lebih banyak untuk bisa menyaingi Bali.

Tapi tentu setiap daerah punya kekhasan  masing-masing. Seperti misalnya, anda bisa menemukan sepotong Bali (dalam tradisi dan masyarakat Hindu nya) di Pulau Lombok, tapi anda tidak menemukan Lombok di Bali.

Potensi Lombok cukup besar, tinggal perlu pengelolaan dan investasi yang baik, dan ditunjang dengan SDM yang sadar wisata, saya yakin Lombok akan lebih bersinar. Saya pribadi cukup menyukai Lombok dan pantainya. Saya berharap bisa kesana lagi. Dan saat itu tiba, sudah ada transportasi umum yang bisa membawa saya menuju Tanjung Aan, hehehehe…

Surabaya Heritage – City Sightseeing

Dalam rangka merayakan hubungan saya dan pacar yang entah keberapa, kami mengikuti city tour gratis yang diadakan atas kerja sama House of Sampoerna dan Suara Surabaya FM.

House of Sampoerna

Surabaya Heritage Track

Nama tour tersebut adalah Surabaya Heritage Track. Orang-orang Surabaya pasti tahu hal ini. Program jalan-jalan gratis ini diadakan setiap hari dengan jadwal track yang berbeda. Untuk informasi lebih lengkap, anda bisa menghubungi langsung House of Sampoerna, atau bisa mengunjungi situsnya di http://houseofsampoerna.museum/e_sht_main.htm

Surabaya Heritage – The Bus (from Google Picture)

 

Baiklah, kami para tracker ikut track pada hari Minggu setelah beberapa kali mencoba mendaftar selalu penuh. Track dimulai jam 1 siang. Namun kami harus datang 30 menit sebelum keberangkatan untuk mengambil tiket. Setiap tiket disertai peta yang menunjukkan rute track.

Track weekend kali itu adalah perjalanan dari House of Sampoerna – Balai Pemuda – Gedung kesenian Cak Durasim. Perjalanan singkat selama 1,5 jam. Tapi lumayan seru loh. Jika pas ingin jalan – jalan tapi malas keluar kota, bosan dengan mall, kenapa tidak mencoba track ini. Gratis pula.

Dalam satu bus kapasitasnya 20 orang. Bis merah dengan motif “Surabaya” di bodinya itu nyaman loh. Dan seperti layaknya sebuah tur, track ini dipandu oleh seorang guide.

Si mas guide bercerita singkat dan menerangkan beberapa bangunan bersejarah yang sengaja dilewati dalam rute track ini. Namanya juga Surabaya Heritage, bintang utama disini memang adalah bangunan – bangunan bersejarah. Dimulai dari House of Sampoerna itu sendiri yang memang merupakan bangunan bersejarah yang menjadi saksi lahirnya sebuah perusahaan rokok terbesar di Indonesia. Dari sana kami melewati jalan Rajawali hingga Tugu Pahlawan, dimana sepanjang jalan itu, berdiri bangunan – bangunan tua bersejarah.

Memang ga rugi ikut track ini, saya jadi tahu banyak hal baru yang sebelumnya ga pernah disangka. Siapa menyangka bahwa ternyata ga jauh dari kosan saya, ada Museum Bank Indonesia, dan banyak gedung-gedung bagus buat foto – fotoan? Sayang kemarin Cuma lewat, kalo mampir, pasti jepret – jepret dah. 😛

Di Balai Pemuda sendiri, informasi tentang pariwisata Surabaya dan jawa Timur ada, karena disini lah Tourism Information Center Surabaya. Oh ya, disana juga jualan souvenir. Kalau di Gedung Cak Durasim, kami hanya mampir ngadem, sambil foto – fotoan tentunya. Di gedung ini, berbagai macam pertunjukan kesenian ditampilkan. Jadwalnya ditampilkan di papan pengumumannya. Sayangnya, hari itu tidak ada agenda pertunjukan, jadi suasananya sepi.

Yang menarik dari track ini sebenarnya adalah perjalanan itu sendiri. Mendengar penjelasan mas guide, seperti belajar sejarah. Dan membuka mata juga, bagaimana tidak, jalan yang sering saya lewati, ternyata memiliki nilai sejarah yang tinggi. Bangunan – bangunan yang berdiri di pinggir jalan itu ternyata dulunya sangat penting. Punya nama. Seperti tembok panjang di jalan kali sosok, dulu saya pikir itu adalah media ekspresi anak muda yang disetujui oleh pemkot untuk membuat graffiti di tembok itu, eh, ternyata dibalik tembok itu adalah bekas Penjara Kalisosok, yang pernah memenjarakan HOS Cokroaminoto!! Lalu gedung PTPN XI yang ternyata materialnya didatangkan langsung dari Belanda dengan menggunakan kapal. Gereja Katolik Kepanjen yang merupakan gereja tertua di Surabaya, baru sadar ternyata letaknya dekat Indrapura, belakang Kantor Pos Surabaya. Balai Pemuda (dulu Simpangsche Societeit) rupanya adalah tempat hiburan bagi orang – orang Belanda. Ya, mungkin seperti restoran Concordia di Malang yang sekarang menjadi Mall Sarinah. Dan ada alasan kenapa jalan Tunjungan begitu popular, sampai punya lagunya sendiri… dari kata kunjungan, jalan itu dulu sering dikunjungi orang-orang dari berbagai tempat. Dan tentu saja disana terdapat Hotel Mojopahit yang menjadi saksi sejarah perjuangan arek –arek Suroboyo. Dan White Laidlaw, pusat perbelanjaan sejak jaman kemerdekaan di Surabaya yang kini jadi Tunjungan City, atau lebih dikenal dengan gedung SIOLA (singkatan dari Soemitro, Ing Wibisono, Ong, Liem, Ang). Masih disekitar Tunjungan, di Jalan Praban, ada sebuah makam seorang Joko Jumput, diyakini sebagai salah satu pendiri Kota Surabaya. Lokasinya nyempil diantara toko – toko. Kalau warga Surabaya ga tahu kebangetan banget dah.

Gereja Katolik – Kepanjen

SIOLA

 

Sebenarnya SHT ini punya rute lain, tapi di hari senin – Kamis, ada yang ke Tugu Pahlawan, atau rute Klenteng Hok Ang Kiong – Masjid Ampel. Pasti asik juga.

Oh ya, di House of Sampoerna nya sendiri, anda bisa menikmati museum sejarah tentang perusahaan itu. Space nya cukup luas, AC nya mantap, isinya juga bagus, dan aroma tembakau langsung menyapa hidung anda saat masuk. Museum itu diapit 2 bangunan, yang satu adalah rumah pendiri Sampoerna, dan sebuah café. Dibelakang Café itu ada art gallery nya. Parkir gratis dengan satpam yang ramah.

Jadi, jika anda orang Surabaya belum pernah kesini, boleh loh dimasukin ke agenda weekend anda. Tapi pastikan anda pesan dulu tiketnya dengan datang ke lokasi. Yang dari luar kota juga boleh. Surabaya ga cuma punya Mall, banyak tempat yang bisa dikunjungi. Lumayan, menikmati perjalanan dengan bonus wawasan baru.

Eh, ngomong – ngomong, tahu ga kalo kantor Kapoltabes Surabaya di jalan veteran dan Penjara Kalisosok itu dihubungkan dengan sebuah terowongan bawah tanah??

Blitar Plan B

Ketika jaman SMA kelas 2 dulu (tahun 1997), saya pernah mengikuti study tour yang diadakan oleh guru mata pelajaran Kepariwisataan.  Study tour kala itu merupakan syarat untuk mendapat nilai. Karena setelah study tour kami wajib membuat laporan perjalanan. Tujuan wisatanya adalah : Candi Penataran, Makam Bung Karno, di Blitar dan Pantai Popoh di Tulungagung.

Minggu kemarin, saya mengulang kembali perjalanan itu (minus pantai Popoh). Namun karena study tour itu sudah 15 tahun yang lalu (langsung ingat umur), dan saya kehilangan catatan perjalanan saat itu, maka bisa dibilang, saya blank soal kota Blitar. Mengingat perjalanan ini menggunakan angkutan umum.

Sebelum berangkat, beberapa hari sebelumnya saya menyempatkan diri mencari informasi tentang Makam Bung Karno dan Candi Penataran. Bukan tentang cerita atau sejarah tentang kedua tempat wisata itu, melainkan bagaimana kesananya. Karena hal itu lebih penting. Dan seperti yang saya duga, tidak banyak informasi tentangnya. Di beberapa blog, minim sekali info angkutan umum, bahkan nyaris tidak ada. Yang didapat hanya jadwal kereta api, dan saran untuk naik ojek atau becak aja.

Dengan modal informasi yang minim, saya dan teman jalan saya, Indra (yang juga buta soal Blitar), berangkat minggu pagi jam 6.30 ke stasiun kota baru di Malang. Sialnya, jam segitu, tiket kereta api jurusan Malang – Blitar sudah habis untuk jam 7.30 dan 10.40. Yang tersisa hanya kereta jam 2 siang. Mana mungkin kami berangkat jam segitu. Karena perjalanan ini hanya satu hari pulang pergi.

Akhirnya beralih ke Plan B, yaitu naik bis dari Arjosari. Saya pikir, Malang – Blitar itu Cuma sejaman, eh, ternyata 2,5 jam. Dan baru tahu kalo ternyata melewati bendungan Karangkates.

Setiba di Terminal Patria Blitar kami langsung ke Stasiun Kota Blitar supaya nanti balik ke Malang bisa naik kereta. Eh, ternyata habis juga.

Menuju candi Penataran lumayan jauh, katanya sih sekitar 10KM dari pusat kota Blitar. Jika anda jalan-jalan pake motor atau kendaraan pribadi tentu tdk masalah. Tapi jika harus menggunakan transportasi umum, pastikan anda memiliki stok kesabaran dan waktu yang cukup. Karena memang angkot di Kota ini sangat langka.

Dari stasiun kami harus berjalan sekitar 15 menit ke pasar Legi. Sebelum pasar Legi itu ada Klenteng. Nah, disana ada angkot warna kuning jurusan Blitar – Penataran. Hanya 5000 perak, anda diantar sampai dekat candi.

komplek Candi Penataran dilihat dari atas Candi Induk

komplek Candi Penataran dilihat dari atas Candi Induk

Saya sebenernya punya pertanyaan tak tersampaikan. Orang-orang yang berkunjung ke Candi ini, apakah belajar sejarah, mengagumi arsitektur leluhur, sekedar piknik atau pacaran. Karena selama saya disana muterin candi, lebih banyakan rombongan yang duduk dibawah rindangnya pohon sambil makan siang, atau anak2 muda yang pacaran, atau sekelompok anak muda yang foto-fotoan aja. Kayaknya hanya kami berdua yang mengelilingi candi sambil mengamati relief2nya ala arkeolog, hahahah

Dari Penataran, kami ke makam Bung karno, Proklamator Republik Indonesia tercinta ini. Jalan dari candi ke makam ini searah, jadi ga bakalan susah. Hanya perlu bersabar menunggu angkot.

Memang, sebuah tempat wisata ga lengkap kalau ga ada penjual souvenirnya. Persis seperti yang saya ingat saat SMA, para pedagang souvenir masih saja berada di sepanjang jalan di depan kompleks makam.

Makam bung Karno sudah mengalami beberapa perubahan, jika dulu makam dikelilingi oleh kaca, sudah sejak beberapa tahun ini makam dibuka lebar, sehingga para peziarah bisa menabur bunga dan berdoa (dan berfoto) disamping makam Presiden pertama RI itu.

Yang bikin males adalah pintu keluar dari makam, karena sudah diatur sedemikian rupa sehingga pintu keluar itu menuju labirin yang sepanjang jalannya adalah pedagang souvenir (lagi). Gang kecil dengan toko di kanan-kiri, yang dijual, yah, kerajinan kayu, baju batik, dan sebangsanya.   Dengan lebar jalan yang sempit, maka kami harus berdesak-desakan dan harus jalan lambat karena yang didepan jalannya lambat. Huft

Satu lagi yang baru, yaitu perpustakaan yang dibangun di area tersebut. Perpustakaannya bagus, terdiri dari 2 lantai dengan bangunan modern. Patung besar Bung Karno menyambut kita yang ingin menggali informasi dan ilmu, atau sekedar foto-fotoan.

Menuju Perpustakaan

Menuju Perpustakaan

Koleksi buku-bukunya juga lumayan, beberapa buku baru. Saya sempat mengintip di rak Ilmu social, ternyata bukunya Karl Marx dipajang disitu. Kisah tentang Stalin, Lenin dan bahkan Hitler pun ada. Pemikirian-pemikiran sosialis juga ada. Padahal kalo dulu kan, buku seperti itu haram.

Makan-makan

Yang namanya jalan-jalan ga lengkap kalo ga ada acara makan-makan. Dan menurut cerita orang-orang yang pernah wisata kuliner di Blitar, yang ada di top of the list itu antara lain Warung Mak Ti, dan Pecel Mbok Bari. Kalo ke warung Mak Ti, jelas tidak mungkin karena daerahnya entah dimana, maksudnya kami yang ga bermodal ini emang sengaja ga kesana. Maka pilihan pun jatuh ke pecel Mbok Bari.

Ternyata, warungnya ada di depan komplek makam bung Karno, bersampingan dengan toko-toko souvenir. Hanya saja, yang ini adalah warung Pecel Mbok Bari 6!!! Warung nomer 2 sempat saya lihat ketika masih di bis sebelum turun di terminal Patria di jalan kenari. Warung pertamannya sih, katanya ada di jalan Slamet Riyadi.

Indra pesen pecelnya dan saya makan kare ayam. Pecelnya emang enak, bumbu kacangnya kasar. Sedangkan karenya biasa aja. Malah bumbu karenya kurang nendang. Tapi yang bikin ok, harganya murah meriah. Nasi pecel + tumis kikil sapi, dan Nasi kare ayam + tumis papaya muda hanya Rp. 12,000.00. (tanpa minum karena kami bawa air putih sendiri dari Malang, baca: ngirit)

Ok, perjalanan pulang kami ini yang jadi klimaksnya. Karena tidak ada angkutan kota yang menuju Terminal Patria. Jadi kami harus berjalan, cukup jauh (panas pula), dari makam ke hotel Herlingga. Karena dari sana bis menuju Malang lewat. Untungnya ada temen, bisa ngobrol sehingga tidak terlalu terasa capeknya.

Pelajaran penting kali ini adalah harus rajin bangun pagi kalau mau dapet tiket kereta api. Terutama di hari libur. Kedua, kata mbak Trinity, worrying gets you nowhere. Betul banget, saya sempat kuatir nanti waktunya cukup ga, kalo ga ada angkot bagaimana. Tapi saya dengan bangga mengatakan bahwa saya menepis itu semua. Dengan modal nekat tapi logis. Tambah satu lagi referensi jalan-jalan.

Pokoknya, kalo jalan-jalan, apalagi naik angkot, jangan kuatir kesasar, selama di jalan masih ada manusia, bisa ditanyain kan? Kalo ragu, cari saja kantor polisi terdekat, atau hotel terdekat, Tanya resepsionisnya. Di Makam Bung Karno, dekat gerbang masuk ada ruangan untuk petugas, orangnya ramah kok dan memberi petunjuk jalan dengan jelas.

Hidup ini cuma sekali, jangan diam saja dirumah. Ayo berpetualang. Lupakan sejenak mall atau café. Melihat tempat-tempat baru, ketemu orang-orang baru, mengamati budaya di tempat lain. Mungkin cerita saya bisa jadi berbeda dengan anda, justru itulah yang menjadikannya personal. Membuat kita semakin kaya akan cerita.

SINGAPORE – KUALA LUMPUR

Seumur hidup saya, baru 2 kali mengikuti perjalanan wisata yang dikelola oleh travel agent. Pertama, jaman dahulu kala, ketika study tour ke Bali bersama rombongan temen2 SMK. Dan yang kedua itu di akhir tahun 2011 lalu. Perjalanan wisata ke Singapore.

Sebenarnya perjalanan kali ini saya sebut saja outing. Karena memang biayanya ditanggung sepenuhnya oleh kantor tempat saya bekerja. Mencakup Akomodasi, Makanan, Tiket masuk ke tempat wisata. Konon, sebenarnya saya itu nggak diajak pergi karena terhitung anak baru. Tapi atas bantuan mbak-mbak bos, maka nama saya pun diikutsertakan.

Seperti yang saya duga sebelumnya, perjalanan yang diatur oleh agent itu ada enak dan ga enaknya. Enaknya sih semua sudah dipersiapkan sehingga kita ga perlu repot-repot cari hotel, booking pesawat, ngurus sewa mobil/bis, apalagi ngantri karcis. Ga enaknya, yah, kita harus ngikutin jadwal, dan tempat wisatanya pun sudah pasti yang touristy. Serta harus memasang toleransi yang tinggi dengan peserta tour lain.

Perjalanan ke Singapore – Kuala Lumpur akhir tahun 2011 kemarin diatur oleh travel agent langganan kantor saya dari tahun ke tahun. Tahun lalu orang-orang kantor jalan-jalan ke Bandung, tahun sebelumnya ke Bali. (Saya belum ada). Tahun ini, pertaman kalinya saya ikut tur, menyisakan beberapa catatan bagi saya. Diantaranya,

1. Tour Itinerary yang ga oke

Sebelum berangkat ke Negeri yang secuil Indonesia itu, Saya sempat nanya ke mbah Google tentang beberapa tempat wisata yang akan dikunjungi. Jadwalnya adalah, Berangkat tanggal 29 Des 2011 ke Singapore via Batam, tanggal 30 sore ke Kuala Lumpur, tanggal 31 sore, kembali lagi ke Singapore, tanggal 1 Balik ke Surabaya via Batam lagi. Tepat sekali, wisata estafet.

Secara ikutnya gratisan, saya sih bersyukur banget. Kapan lagi coba bisa jalan-jalan gratis ke luar negeri. Walau capek banget, yah, dinikmati aja.

 

Bagi saya, tempat-tempat yang akan dikunjungi sangat touristy, seperti Merlion, Twin Tower, Sentosa, dan Universal Studio. Pengecualian Universal Studio, yang satu ini sangat saya dambakan. Tak lain adalah untuk melampiaskan hasrat adrenalin saya.

Dari daftar tempat wisata yang ada di surat resmi dari pihak Travel Agent, ada beberapa yang tidak terlaksana. Seperti Raffles landing Site, Fountain of Wealth (Cuma lewat doang). Di Malaysia, Independence Square, dan National Monumen tidak jadi dikunjungi.

Kami juga dijadwalkan akan mengunjungi Cocoa Boutique di Kuala Lumpur. Menurut mbah Google, Cocoa boutiquenya tampak keren dan mewah, bahkan diinformasikan harga coklatnya lumayan mahal, walau ada juga yang murah. Namun kenyataannya, saat saya memasuki “toko coklatnya”, kok sangat berbeda dengan yang saya lihat di internet. Yang ini mah seperti dapur coklat di Surabaya, bahkan lebih mirip seperti toko coklat aja.

Namanya Beryl’s. Memang sih, coklatnya enak.

Dan kelihatan banget kalo toko itu kerja sama dengan travel agentnya.  Apalagi temen-temen kantor kalo belanja coklat…. Gile bener.  Saya sih cuma beli 4 batang coklat seharga RM9.5 sebatang, itupun dibayarin sama si Reta.

Yang paling menyedihkan adalah Sungai Wang di Jalan Bukit Bintang. Saya pikir Sungai Wang itu ya sungai. Bayangan saya akan naik perahu menyusuri sungai. Nggak tahunya, Sungai Wang itu nama Mall. Konon terbesar di KL. Apa ga kecut….. Masa jauh-jauh ke KL malah diajak ngemall.

FYI, Mall di Surabaya aja banyak yang lebih cantik daripada mall itu. Saya sempat masuk ke dalam mall nya. Tapi ga jelas mau ngapain. Mau belanja? Lha saya ga doyan belanja. Si Reta dan Arya pun males belanja oleh2. Maka kamipun duduk manis sambil ngopi di teras Starbucks, sambil melihat persiapan acara Pergantian Tahun yang diadakan di jalan bukit bintang, persisi di depan mall itu. Acaranya sih dibuat dipanggung. Kala itu ada yang lagi gladi resik nge dance.

 

Yang nggak oke nya itu, waktu kami lebih banyak tersita di jalan. Berangkat dari Surabaya jam 6 pagi, transit di Jakarta sampai jam 10. Tiba di batam sekitar jam 11.30 lah termasuk bagasi. Lalu kami langsung dibawa ke pelabuhan Batam karena ngejar Ferry yang menuju Singapore. Catet ya, beberapa dari kami belum sarapan.

Perjalanan Ferry nya sendiri kurang lebih sejam hingga sampai Singapore. Tiba di Singapore kami disambut local guide. Seingat saya kami langsung dibawa ke mall untuk makan siang (jam 3 sore cyin!!). Nama restorannya Indo Padang. Setelah makan, kami menuju Merlion untuk foto-fotoan 30 menitan. Lalu meluncur langsung ke sentosa. Karena tiba di Sentosa agak sorean, kami duduk2 aja disekitar pintu masuk Universal Studio. Menanti makan malam dan pertunjukkan Song of the Sea yang baru dimulai jam 8.40 malam!! Padahal kami sampe sana masih sekitar jam 6 an.

Kami sampai Hotel sekitar jam 10 malam.

Keesokan harinya, setelah main di Universal Studio, kami langsung berangkat ke Kuala Lumpur. Perjalanan yang katanya tiba di KL sekitar jam 9, molor jadi jam 10.30an. Hotelnya di lokasi strategis di China Town, tapi karena udah jam segitu. Ya toko-toko udah pada tutup. Mau eksplor apanya.

Besoknya, perjalanan wisata kami hanyalah acara foto2an. Twin Tower, Istana negara, paling Cuma 30 menitan aja. Foto-fotoan doang… ga ada kegiatan lain. TL kami yang dari agent Indonesia juga ga terlalu ngurusin kami di tempat “wisata’ nya. Malah di Sungai Wang Plaza itu yang sejaman lebih. Enak banget agentnya, kami diajak ngemall, belanja oleh2. Nge mall kan ga perlu bayar tiket masuk.

Setelah makan siang kami balik lagi Singapore. Sampai Singapore sudah jam 10 malam!!!

Rasanya capek banget… kebanyakan duduk dalam bis. Dan acara yang sudah ditentukan jamnya. Serasa kayak main kejar-kejaran sama waktu. Yang atur jadwal perjalanan payah. Sejak awal saya curiga bakalan capek, ternyata emang bener. Sejak awal saya sengaja ga Tanya soal perjalanan Singapore – KL karena saya pikir travel agentnya sudah berpengalaman ngatur jadwal. Ternyata salah. TL nya ngaplo….

2. Akomodasi dan Makanan

Hotel di Singapore tempat kami stay namanya Fragrance Selegie. Harga publish yang tertera di papan sih sekitar SGD 130.00 an. Kamarnya, luar biasa kecil. Ukurannya mungkin 2×2, lebih besar kosan saya di Medan.  Bed nya dapet yang double. Padahal saya sekamar sama Arya, yang notabene cowok normal. Kamar mandinya lebih parah, cuman 1×1, kecil seumprit. Saat mandi pake showernya, toilet bowlnya pasti juga keguyur air.  Entah karena keterbatasan lahan di negara itu, jadi property itu ga murah.

Lebih mirip kos-kosan sih kalo di Indonesia.

Restorannya, entah kenapa saya lebih suka menyebutnya kantin. Ada di lantai 2. Disitulah kami sarapan. Menu pilihannya ada 2 set. Mau mie instan dengan pilihan isi (sosis/telur mata sapi/daging asap) atau sepiring isi 2 telur mata sapi, kentang goreng yang ga jelas itu, dan pilihan sosis atau daging asap. Setiap orang dapet 2 lembar roti tawar dan pilihan the attau kopi. Udah itu aja. Saya susun roti tawar panggangnya ala sandwich diisi telur mata sapi dan daging asap. Rasanya, yaaa… gitu deh. Masih mending daripada mie instantnya. Mie nya mirip POP Mie. Kuahnya hambar pol.

Hotel di Kuala Lumpur lebih baik. Lokasinya di china town. Namanya the 5 Elements Hotel. Kamarnya cukup luas, sudah pake duvet loh bednya.  Kamar mandinya juga lebih manusiawi. Antara toilet bowl, wastafel dan shower room, dipisahkan kaca. Pokoknya kamar hotel di 5 element jauh lebih baik. Lokasinya juga strategis, di China Town. Sayangnya kami sampai situ sudah malam, sudah banyak yang hampir tutup.

Oh ya, saya sempat jalan-jalan bentar di china town itu tengah malam, saat udah banyak yang tutp. Rupanya diantara bangunan toko-toko dan rumah makan itu, ada hostel dan atau tempat penginapan para backpacker. Sempat saya lihat para cowok bule, usia 20an, lagi jalan kaki berkeliaran.

Sarapannya juga lebih bagus. Mirip hotel bintang 3 di Indonesia. Lebih bervariasi walau menunya masih didominasi Chinese food. Mie goreng, nasi goreng, kwetiau, dll. Setidaknya lebih banyak yang bisa dipilih. Rasanya ya, begitu lah…

 

Selama disana, menu yang kami makan rata-rata Chinese food dengan rasa yang begitulah. Hanya saat di Hotel Nouvelle (Makan malam dalam perjalanan dr KL ke Singapore), udang gorengnya enak. Selebihnya, di hari pertama kami makan di Restoran Indo Padang di Cathay Building, Singapore. Menunya ada Soto Medan, Rendang, Ikan bakar, Sayur orem, ayam pop, dan tumis kangkung belacan. Yang enak hanya Tumis kangkungnya, ayam pop nya lumayan, tapi taburan lengkuang serut nya kurang banyak dan kurang gurih. Yang lain jauh banget…. Soto Medannya, aduh.. kuahnya kemana, bumbunya kemana. Rendang?? Ga nendang blas… Sayurnya, asyeemmm….

Dan makan siang di Batam ketika pulang balik ke Surabaya, kami makan di restoran sunda. Yah, lumayan lah. Setelah beberapa hari makan di negeri orang yang takut bumbu. Trus makan tradisional khas Indonesia, lumayan terobati…

3. Ternyata Sistem Check in Ferry di Singapore bisa payah juga

Ini terjadi saat hendak meninggalkan Singapore. Kami masuk Singapore lewat pelabuhan Singapore (lupa namanya), pokoknya begitu keluar ada bangunan Harbour Front Tower. Waktu pertama kali menginjakkan kaki di Singapore sih ga masalah. Melewati imigrasi juga lancar-lancar aja. Hanya karena pas peak season, jumlah pendatangnya cukup banyak.

Nah, masalahnya saat mau balik nih ceritanya. Dari hotel menuju pelabuhan sekitar jam 9.30an. Sampai pelabuhan jam 10 pagi. Tiket Ferry sudah dibagikan. Jam 11 siang, proses check in baru dibuka. Maka waktu yang sejam kami pakai untuk jalan2. Ada yang sempet-sempetnya lompat ke Vivo City (mall terbesar di Singapore), ada pula yang muter aja di pelabuhan seperti saya.

Sekali lagi, TL kami yang ngaplo ga ngasih info apa-apa selain jam 11 check in baggage. Maka saya, Arya, dan Bu cahya pun ikut ngantri. Awalnya, antrian panjang hanya di baggage check in. Namun kok saya lihat di sisi sebelah orang-orang pada ngantri juga, panjang juga.

Rupanya, saya ngantri untuk proses check in barang bawaan aja. Setelah masukin barang ke bagasi, kami masih harus ngantri lagi ke antrian yang sebelah. Saya pikir setelah baggage check in, kita bisa langsung masuk ke ruang imigrasi. Eh, ga tahunya harus antri lagi. Apa ga habis-habisin waktu… Rasanya jengkel betul. Sangat tidak efisien. Udah antriannya panjaaaaaang banget. Di jadwal kapal berangkat jam 12.10. Sedang kami jam 12 kurang 10 menit masih ngantri.. Itupun dibelakang saya, TL dan beberapa rekan kantor masih ikut ngantri juga. Dan rata-rata yang ngantri orang Indonesia yang mau balik. Hahaha

Saat itu ada 2 kapal yang hendak berangkat. Saya naik Pinguin. Satu nya lagi Batam Fast. Nah, karena Batam fast ini sudah hampir berangkat, maka para penumpang yang masih ngantri dipanggilin. Rupanya, yang masih di barisan lumayan banyak juga.

Nah, kami bertiga pura-pura aja sebagai penumpang kapal itu, jadi dengan muka memelas, sambil permisi-permisi, melewati orang-orang yang baris di depan kami. Pura-puranya, nama yang dipanggil itu saya.

Padahal rencana saya pingin lihat-lihat di toko-toko yang ada di ruang tunggu. Konon duty free. Tapi karena masuk ruang tunggu, orang-orang udah pada masuk kapal, terpaksa kami pun langsung masuk kapal.

4. Tourism Packaging – SINGAPORE

Keren banget…  bener-bener all out dalam mempromosikan pariwisatanya. Padahal kalo dipikir, Singapore punya apa sih? Negara seumprit itu. Tapi toh  dia mampu mengemasnya menjadi menarik. Singapore berani keluar duit untuk membangun. Sebut saja Singapore Flyer, Tiger Sky Tower, Universal Studio, Singapore Zoo, dll. Belum lagi kawasan Orchard Road yang terkenal itu. Dimana menjadi surganya para shopaholic asal INDONESIA. Wisata belanja ada, Museum ada beberapa, Kebun Binatang ada, Wahana bagi adrenalin junkies ada. Dan semuanya itu dikelola dengan baik. Ditambah system yang berlaku disana sangat ketat, seperti peraturan soal membuang sampah, merokok, dsb. Kotanya enak, nyaman buat para pejalan kaki, ga terlalu banyak kendaraan (apalagi sepeda motor, nyaris ga ada). Transportasinya juga kayaknya enak. Tapi sekilas saya masih ga mudeng dengan jalur-jalur bis, seumur-umur, baru kali itu saya lihat bis double decker (bis dengan 2 lantai)  apalagi kereta api bawah tanahnya.

Di hotel kecil kami, brosur-brosur tentang tempat pariwisata ada. Dan cukup lengkap. Peta supaya ga kesasar. Bahkan ada flyer yang isinya apa yang lagi happening disana.

Iri banget bagaimana pemerintahnya mengelola pariwisata dengan ok. Lihat situsnya aja udah tertarik. http://www.yoursingapore.com

Pesta kembang api saat pergantian tahun, wow, keren… cantik sekali. Bagian yang paling saya suka adalah ketika efek kembang api nya berkelap kelip seperti bintang di kegelapan. Tapi kelap kelipnya lebih besar dan lebih cepat. atau kembang api yang setelah meledak, percikannya tidak menyebar luar, namun turun seperti air terjun… speechless.

Dan tempat yang paling saya nikmati tentu saja Universal Studio. Begitu masuk, saya langsung mengambil peta, dan melangkahkan kaki dengan cepat menuju rollercoaster yang terkenal. Battlestar Galaktica.

Jauh sebelum berangkat, sebenarnya saya sudah tahu tentang permainan itu. Saya juga sempat googling melihat blog orang2 yang pernah naik. Dan saya semakin penasaran.

Kami beramai-ramai hendak mencoba permainan uji adrenalin ini. Jujur saya ga ngerti, di rombongan kami yang 9 orang ini. Sebenarnya selain saya, Mas Edi, dan Fathur, mereka ini tahu ga sih bakalan seperti apa nantinya. Tapi rasa excitement saya udah ga peduli soal itu. Si Reta kelihatan banget ga ngeh ini permainan apa sih. Memang diluar kita bisa lihat keretanya meluncur dengan cepat. Yaa, ala di Dufan gitu deh…

Setelah mengantri lumayan lama, tiba lah giliran kami. Sayangnya kami ga dapat tempat paling depan.

Battlestar Galaktica adalah permainan rollercoaster yang namanya diambil dari film dengan judul yang sama. Ceritanya manusia melawan alien. Diwujudkan dalam permainan itu. Ada kereta yang menggambarkan alien (Cyclon) dan Human. Di Alien, kaki kita menggantung bebas. Hp, kaca mata, kamera, sandal, wajib lepas atau dititipin. Kalo Human, keretanya ada pijakan kakinya.

Kereta meluncur dengan kecepatan kira-kira 90KM/jam. Human dan Alien meluncur secara bersamaan. Jadi kesannya bertarung di angkasa. Track nya aja yang beda.

Setelah naik Alien, kami langsung lari masuk Human, ngantri lagi. Tapi di Human, kami dapat duduk paling depan. Seru bangetsss… tapi Alien lebih oke, secara ada lintasan yang membuat kita terbalik sempurna. Kita juga diputar-putar. Pokoknya kita ga tahu mana langit mana bumi. Sedang Human ga ada acara diputar 360 derajat gitu.

Turun dari Alien, beberapa diantara kami langsung lunglai, lemes, tak berdaya, si Arya kehilangan kaca matanya karena jatuh. Si Reta senewen ga karuan.

Battlestar Galactica – Human –

Setelah itu, kami menuju Piramida. Naik the Revenge of the Mummy. Roller coaster lagi. Bedanya, yang ini dalam kegelapan. Keren top markotop. Awalnya kereta berjalan biasa, di kanan kiri ada mummy yang tiba-tiba bangkit. Ala rumah hantu gitu. Tapi tiba-tiba kereta meluncur agak cepat dan “menabrak” dinding. Tiba-tiba kereta kami ditarik ke belakang dengan cepat. Berhenti, lalu berputar. Dan mulailah meluncur dalam kegelapan. Ya, dalam kegelapan. Nyaris ga bisa lihat apa2. Sesekali lampu di flash dengan efek seram ala mummy. Selebihnya, kita ga bakalan tahu ini kereta akan muter atau turun atau naik atau kita diputer. Udah, nikmati aja.

Eh, bisa dibilang kami beruntung. Karena kami masuknya lewat pintu single player. Yang mana yang naik bukan rombongan. Sedang kami bersebelas. Pantesan, kok di sisi line kanan kami, orang-orang pada ngantri. Kami kok lempeng aja jalan ke depan. Sampai di TKP. Kami langsung di barisan paling depan. Tapi Karena single player, aturannya yang naik dari line kami adalah satu per satu. Thank to Mas Edy yang booingin petugasnya. Akhirnya kami semua diperbolehkan naik. Padahal, jika kami ikut line ngantri, bisa hampir sejam loh. Eh, itu kami ngantri ga sampe 10 menit.

Thank juga buat mbak petugasnya yang cepet ambil keputusan.

Puas memanjakan adrenalin. Kami pun istirahat, foto-fotoan. Makan siang. Lalu lanjut nonton water world yang keren. Pertunjukkan air yang bisa membuat penonton basah. Syukur Alhamdulillah saya ga kena semprot atau diguyur air. Jujur saya lebih takut tersiram air daripada naik Battlestar. Soalnya saya Cuma bawa 1 celana jeans panjang untuk 4 hari tour. Hahah

FYI : diantara semua peserta tour, barang bawaan saya paling minim. Saya Cuma pake tas backpack item sehari hari, isinya 4 kaos, 1 kemeja, 1 boxer, dan 5 celana dalam. Tambah 1 sandal. Udah itu aja. Bahkan masih banyak ruang di tas saya. Soalnya saya paling ogah ribet dengan barang bawaan. Kalo jalan-jalan atau kemana gitu, saya usahakan bawa barang/baju seminim mungkin. Satu tas sudah cukup. Tas backpack juga enak karena bisa diboyong kemana-mana sementara tangan bisa melakukan kegiatan lain.

 

Well, ke luar negeri gratis itu enak banget. Hahaha. Walau ada rasa kurang puas karena waktu yang habis di jalan. Mau complain pun kok kesannya ga terima kasih banget.

Seperti perjalanan lain saya, nikmati aja. Apapun yang terjadi, justru itu nilai serunya. The X factor nya.

Mendarat di Surabaya hari Minggu, 1 januari jam 11.30 malam. Sampai rumah jam 12 an. Esoknya, kami masuk kerja jam 8 pagi. Oh…. Saya pun terkena Post holiday Syndrome. Kerja ga semangat blas, males puol, ngantuk, bengong dan senyam senyum sendiri mengingat hal-hal yang lucu dan seru. Dan itu berlangsung selama seminggu.

 

Episode : Satu malam di Kediri

Halah, judulnya maksa kali yaa….

Rencana jalan-jalan ke Kediri sudah direncanakan sejak teman saya Iwan menyampaikan bahwa dia akan ada pameran HP disana selama 3 hari mulai hari Jumat. Saya memang niat backpacking ke kota tahu itu. Maka selama satu bulan sebelum hari H, saya sengaja tidak mempersiapkan apapun. Baru 3 hari sebelum hari keberangkatan, saya mulai googling tentang Kediri. Beberapa artikel masih seputar sejarah dan informasi demografis Kediri. Di beberapa blog tentang Kediri pun bagi saya minim info. Yah, walaupun yang nge blog tersebut juga jalan-jalan ala backpacker. Memang mereka cukup semangat bercerita serunya jalan-jalan. Mengunjungi tempat ini dan itu. Tapi saya tidak menemukan tulisan yang menjelaskan kesana naik angkutan apa. Ini penting karena saya kesana naik transportasi umum.

Untungnya di BBM saya punya kenalan yang di Kediri. Dan Iwan sendiri juga ada disana. Walau temen satu itu ga bisa diharapkan karena dia juga rada-rada buta soal Kediri, heheheh.. Maka saya pun getol BBM an dengan teman-teman yang asli Kediri. Tapi sekali lagi, rata-rata ga tahu soal trayek angkutan di Kediri. Misalnya dari Pasar Pahing ke Simpang Lima naik apa? Ga ada yang tahu… huft

Dari blog-blog tersebut saya membuat catatan kecil mana saja yang akan saya kunjungi. Yang paling direkomendasikan adalah Gereja Pohsarang.

Tapi saya tetep nekat berangkat. Iwan dan Bruang berangkat hari Jumat, sedang saya Sabtu siang karena harus kerja dulu. Dari terminal Bungurasih naik Bis patas AC Harapan Jaya jurusan Surabaya – Kediri – TulungAgung berangkat jam 3 sore. Perjalanan bis dengan karcis seharga Rp. 25.000,- itu agak sedikit terhambat di Krian, SIdoarjo karena arus cukup padat. Mana diluar lagi hujan ringan, di dalem AC nya full, dingin banget, sedang saya selalu lupa bawa jaket.

Lepas dari Krian Bis berjalan melewati Mojokerto. Jika naik kendaraan sendiri saya pasti akan mampir di Candi Trowulan. Rute selanjutnya yaitu Jombang, baru tiba Kediri jam 6 sore.  Hati-hati, jika bis masuk kota Kediri sebelum jam 6 sore, maka jalurnya lewat alun-alun. Tapi jika lewat dari jam 6 sore, maka jalur bis akan lewat depan RS. BAPTIS. Sesuai dengan petunjuk dari teman-teman, saya harus turun di alun-alun.

Tepat di alun-alun tersebut, adalah Mall UFO dan Dhoho Plaza. Di depannya adalah MAsjid Agung yang cukup megah berdiri dengan menaranya yang cantik.

Sambil menunggu jemputan dari Iwan, saya menunaikan kewajiban saya sebagai muslim di Masjid yang diresmikan pada 9 februari 2006 itu.

Masjid ini memang bagus. Tempat wudhunya cukup banyak, ada tempat parkir yang memadai, ada tempat penitipan barang juga. Dibangun 2 lantai dengan kubah yang cukup tinggi. Di dalamnya serasa adem… Sayang, menara masjid ditutup sehingga saya tidak dapat memasuki dan menuju puncaknya.

Setelah sholat Isya, saya nongkrong sebentar di depan Masjid. Karena malam minggu, suasana alun-alun sangat ramai. Ada yang menawarkan sewa mobil2an kecil untuk dinaiki anak-anak, dan yang pasti penjual makanan yang berjajar di samping alun-alun. Melihat keramaian itu adalah hiburan tersendiri. Karena tentu Kediri berbeda dengan kota besar seperti Surabaya yang begitu malam minggu tiba, jalan raya dan mall dijubelin dengan manusia dan kendaraan.

Cukup asik mengamati bagaimana remaja disana berkencan di alun-alun, atau sebuah keluarga kecil yang terdiri dari ayah, ibu dan seorang anak balita duduk di depan masjid Agung sambil makan kacang rebus. Atau sepasang kakek nenek yang duduk berduaan di alun-alun (mungkin mereka bernostalgia semasa mudanya.. hihihi)

Begitu dijemput, iwan sempat membawa saya ke hotel untuk mengambil beberapa barang. Setelah itu kami menuju Stadion Brawijaya. Ini yang diluar agenda saya. Maunya ke Simpang Lima, tapi karena setelah jam 5 sore di Kediri ga ada angkutan umum, maka agak susah kesana. Mau naik becak, kasihan tukangnya karena Simpang Lima itu jauh, naik ojek males. Karena saya harus benar-benar irit mengingat modal kesana hanya Rp. 100.000,- saja. Lagipula teman kuliah saya yang asli Kediri menyarankan ke Simpang Lima besok pagi saja.

Maka saya pun membantu Iwan dan Bruang jualan HP di pasar kaget yang ada di depan Stadion Brawijaya itu. Pameran HP nya rupanya ya di pasar kaget itu. Tak jauh dari situ ada expo furniture gitu dah.. tapi pasar kagetnya cukup rame. Pasar itu hanya dibuka saat awal-awal bulan Suro, begitu kata Ima, tim sales nya Iwan.

Seperti halnya pasar kaget yang lain,barang2 yang ditawarkan para pedagang ya masih seputar barang kebutuhan sehari-hari, baju, asesoris, hamster (eh, ini sih bukan kebutuhan sehari-hari), dan pedagang makanan tentunya.

Setelah usai nyeles, saya memaksa Iwan dan bruang untuk mengantar ke Jalan Dhoho, yang katanya mirip Malioboro nya Jogja. Namun harga disana jauh lebih terjangkau. Kali ini saya berwisata kuliner. Yap, namanya sambel Tumpang. Di sepanjang jalan Dhoho itu banyak ibu-ibu penjual sambel tumpang. Karena Jalan Dhoho adalah kawasan pertokoan, maka para penjual tersebut mulai berjualan ya ketika toko-toko tersebut tutup. Alias hanya ada saat malam hari. Konsepnya makan lesehan.

Sambel Tumpang itu sendiri sebenernya mirip pecel, hanya tentu bumbunya beda. Komposisinya terdiri dari sayur Kangkung, tauge yang disajikan bersama nasi putih hangat porsi saya, disiram sambel tumpangnya (Sambelnya berkuah, ada potongan tempenya bentuk dadu, dan ga terlalu pedas) Pelengkapnya adalah rempeyek dan Krupuk. Untuk lauknya anda bisa pilih sendiri. Karena di atas meja Ibu-ibu tersebut menyajikan masakannya, ada wadah2 untuk beberapa lauk seperti ayam goreng, telur dadar, sate jerohan, atau sate telur puyuh. Harga satu porsi sambel tumpang hanya Rp. 4.000 atau Rp. 5.000, tergantung anda makan yang dimana. Saya pas yang  5.000. Untuk lauknya dihargai terpisah. Teh manis hanya Rp. 1,000,- Oh ya, nasinya tidak disajikan di atas piring yah, tapi di pincuk (pake daun pisang)

Seperti yang sebelumnya saya bilang, saya numpang di hotelnya Iwan dan Bruang. Dia memilih hotel  Tri Star. Hotel ini jelas bukan bintang. Sebelumnya dia menginap di Hotel Bismo yang lebih murah, kamarnya lebih bagus tapi berisik pada malam hari. Posisi hotel Bismo persis di depan alun-alun yang rame. Kata iwan, malam dia menginap, suara orang karaoke jelas terdengar hingga jam 3 dini hari. Kamar di Hotel Bismo Rp. 140.000,-/kamar/malam. Fasilitasnya sudah 2 double bed, AC, kamar mandi air panas dan bath tub!!! Sarapannya bisa memilih sendiri, nasi goreng atau soto, pilihan menu bisa digantung di door knob. Sedang Hotel Tristar Rp. 110.000,-/kamar/malam, kamarnya sedikit lebih kecil, AC, 2 single bed/1 double bed, kamar mandi shower tanpa air panas.  Tapi tempatnya lebih tenang dan cukup bagus. Yang tanpa AC hanya Rp. 70.000,-/kamar/malam.

Hotel Tristar ada di Jl. Sam ratulangi 30, Kediri.

Untung ada iwan, kalo ga ada dia, mungkin saya akan cari tumpangan nginap di kosan teman atau cari hotel murah meriah. Mengingat duit yang saya bawa hanya cepek. Hahaha

Minggu pagi, saya berjalan kaki menuju Pasar Pahing, melihat suasana pasar tradisional. Sayangnya minggu pagi itu agak sepi. Tak seperti Pasar Blimbing dekar rumah saya di Malang yang kalau pagi hari berjubelan antara pedagang dan pembeli. Pasarnya sih bersih, tertata rapi. Lantainya sudah disemen.

Dari pasar pagi saya diantar teman ke jalan Imam Bonjol. Dari situ saya naik mini bis jurusan Kediri – Malang. Tujuan saya adalah Simpang Lima Gumul. Sebenarnya bisa juga naik dari alun-alun, tapi daripada jalan kaki, lha wong ada yang nganterin naik sepeda motor kok.. heheh

Dengan dua ribu rupiah saya sampai di Simpang Lima, turunnya pas di puteran pertama. Disitu merupakan kawasan yang masih terbuka yang luas. Tidak ada rambu-rambu untuk turun.

Seperti kata orang-orang, bangunan yang ala Triumph D’Arc Paris, Perancis ini adalah sebuah monument. Ia berdiri sangat gagah dan menjulang tinggi.  Monumen itu tepat berada di tengah-tengah bunderan. Sekelilingnya hanya ditanami rumput.

Tak jauh dari monument itu, tiap minggu pagi ada pasar pagi, ya… seperti di kota-kota lain, pasar itu ramai oleh penduduk sekitar. Di monument itu pun juga cukup ramai. Anak-anak muda, keluarga, dan saat itu, ada sekelompok anak2 TK yang sedang berpiknik. Mereka makan bersama di atas rumput.

Saya mengelilingi bangunan itu. Memang megah. Tapi sayang, tidak ada informasi apapun yang bisa saya dapat tentang bangunan itu. Tidak ada informasi kapan didirikan, untuk apa didirikan, petugas satpam yang jaga pun tidak tahu. Sayangnya lagi, padahal ada lift. Tapi rusak, tidak bisa dipakai. Saya juga sempat melihat ada tangga yang menuju ke atas. Namun ditutup untuk umum. Entah kalo naik ada apa. Toiletnya juga kurang terawat. Sayang, padahal jika dikelola dengan serius dan dikonsep yang jelas, bisa jadi salah satu daya tarik wisata. Bukan hanya menjadi sekedar yang penting punya “landmark”.

Setelah itu saya kembali ke kota. Dari Simpang Lima, karena letaknya di luar kota Kediri, akses kesitu hanya bis tadi dan angkot P. dan cukup lama menunggunya.

Rencana ke gereja Pohsarang gagal total karena Iwan yang kemaren pingin ikut mengurungkan niatnya karena kecapekan. Dan tidak ada informasi mengenai bagaimana kesana. Dari beberapa orang yang saya Tanya, tak satu pun bisa menjawab. Selain itu, melihat duit yang juga menipis kalo naik bis, saya lebih cenderung naik kereta api yang hanya Rp. 5.500,-. Tapi kereta terakhir berangkat jam 2.30 sore. Sedang saya saat itu sudah jam 12 siang. Ga akan terkejar jika menuju Gereja Pohsarang yang katanya satu jam perjalanan naik angkutan umum one way.

Ya sudahlah, akhirnya saya ke jalan Pattimura untuk membeli krupuk tahu pesanan teman di Surabaya. Lalu dari situ menuju Stasiun Kota Kediri yang tidak terlalu jauh.

Nah, Saya salah naik kereta api.

Tiket kereta api saya jam 2.30 Doho Penataran, berangkat dari stasiun Kediri hingga stasiun Sepanjang, Sidoarjo – itu yang tercantum di tiket – . Jam 2.30 kereta api Doho Penataran pun tiba. Para penumpang masuk ke dalam gerbong. Saya bertanya pada petugas loket masuk, “Pak, ini kereta jurusan Surabaya, kan?” Petugas itu mengiyakan. Maka naik lah saya.

FYI : Saya tidak kebagian seat karena sudah penuh. Saya dapat tiket berdiri di gerbong 5. Saya memilih berdiri di sambungan gerbong yang full angin itu, ngemper disana….

Kereta pun mulai melaju, sekitar 10 menit kemudian, kereta api berhenti karena kres dengan kereta api lain yang menuju arah stasiun. Lalu kereta berjalan kembali melewati sawah yang hijau segar, lading tebu yang manis, dengan latar belakang pemandangan gunung batok. Wah, pengalaman yang benar-benar seru… sejak kemarin saya memang sudah membayangkan akan naik kereta api, melewati sawah dan desa.

Lalu datanglah pak Kondektur memeriksa karcis. Setelah melihat karcis saya beliau spontan bertanya, “Mas mau kemana?” “ke Surabaya, pak.” Jawab saya. “Lah, Mas salah naik kereta. Harusnya mas naik kereta yang saat kres tadi. Itu jurusan Kediri – Surabaya lewat Kertosono. Kereta yang ini memang ke Surabaya, tapi lewat Tulungagung, muter.”

Lah, terus gimana? Bapak itu sih menyarankan saya tetap di kereta itu sampai ke Surabaya, tapi tibanya jam 10 malam. Wiiiiiiiih…. Berdiri sampai jam 10 malam?? Saat itu masih jam 4 sore. Apa ga bengkak kaki saya. Untungnya Bapak kondektur itu baik, dia memberi tahu bahwa saya bisa duduk di gerbong 1, gerbong makanan. Hanya cukup pesan es teh segelas, saya bisa duduk. Segera lah saya kesana.

Disitu sempat ngobrol dengan beberapa pedagang asongan yang menjajakan dagangannya di dalam kereta. Saya bercerita tentang kesalahan saya naik kereta. Pelajaran berharga naik kereta api, Kalau ga tahu ini keretanya atau bukan, saat tanya petugas, tunjukkan tiketnya.

Hmmm, dengan lima ribu lima ratus rupiah saya mampir di stasiun Tulungagung, Blitar, Malang (seumur-umur belum pernah naik kereta api dari Stasiun Kota Baru Malang, saat itu saya malah transit). Bener-bener jalan-jalan. Dan lumayan juga dapet kenalan brondong di kereta, dia duduk di depan saya di gerbong satu. Hahaha…. dia asli Tulungagung. Jadi ada temen ngobrol yang enak dilihat deh di jalan.

Tiba di Stasiun Waru jam 10.30 malam. Dan itu adalah kereta terakhir. Saya masih harus nunggu sejam hingga dapat bis terakhir dari bungurasih ke Perak. Yah, jam 12 malam teng teng lewat dikit saya baru tiba di kosan

Tapi pengalaman ini seru banget. Walau salah naik kereta tapi saya tidak menganggapnya sebagai kesialan, malah hal-hal diluar rencana yang seperti itu lah yang membuat perjalanan jadi lebih menarik. Walau tujuan ke Kediri ga semulus yang diharapkan, tapi tetap bisa saya nikmati. Niatnya aja emang udah pake unsur “surprise me”.

Bulan depan jalan kemana lagi yah?

Perjalanan kali ini saya ingin mengucapkan terima kasih untuk Iwan dan Bruang, yang bersedia memberi tumpangan nginep. Untuk temen-temen yang sudah ngasih info lewat BBM atau sms, Arga, Gilang, Putra, Deka dan Ima. Juga atas perhatiannya selama aku disana.Dani dan Agus temen kuliahku, dan Kahvy temen BBM di Tulungagung.