Puisi itu berjudul B29

Morning at B29 (Photo by Kus Andi)

Morning at B29 (Photo by Kus Andi)

Seperti puisi tentang sebuah lukisan alam yang indah, tidak terlalu berlebihan jika B29 disebut sebagai Negeri diatas Awan. Keindahan yang memang mempesona. Letaknya yang lebih tinggi daripada gunung Bromo, menawarkan pemandangan yang elok. Terutama ketika momen berada “di atas” awan. Siapa tidak merasa di negeri diatas awan ketika gumpalan awan putih membentang di bawah kaki kita. Belum lagi ketika matahari terbit, cahayanya yang hangat melengkapi lukisan pagi oleh alam.

Namun, walau keindahan pemandangan di puncak B29 itu laksana puisi, perjalanan menuju kesana menawarkan cerita yang lain. Sebuah petualangan dan tantangan. Saya sebenarnya lebih adem naik Battlestar Galaktica di Universal Studio Singapore 10 kali dibanding naik ojek dibawah guyuran hujan menuju puncak B29. Yap, untuk menuju puncak bukit ini, anda bisa mencapainya dengan pilihan: motoran, hiking atau naik ojek.

Disebut B29 karena sebenarnya ia adalah dataran tinggi 2900m dpl. Terletak di desa Argosari, Lumajang. B29 merupakan bagian dari kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru.

Nah, Sebelum sampai di desa Argosari, starting poin menuju bukit B29, saya dan 2 teman saya naik ojek dari Pasar Senduro, Kota Lamongan. Kami memang sengaja memilih melakukan trip ini dengan menggunakan kendaraan umum. Dari pasar hingga desa Argosari ternyata jalannya sudah cukup bagus dan beraspal. Namun sayang, hujan mengguyur kota Lamongan sejak kami tiba disana sekitar jam 2 siang. Maka kamipun nekat ngojek dibawah hujan. Tukang ojeknya sih pake jas hujan, tapi kami hanya bermodal jaket biasa (bukan jaket gunung yang anti air), untungnya dari pasar hujan hanya gerimis walau intensitasnya lumayan sedang.

Jalan semakin meninggi, dan mulailah berkelok-kelok. Yap, tipikal jalan di gunung atau dataran tinggi. Badan jalan tidak terlalu besar dan berkelok-kelok. Semakin naik, kabut semakin menebal, hingga jarak pandang sangat dekat. Tukang ojek saya sampai mengurangi kecepatannya. Kami menerobos kabut tanpa tahu disebelah kanan atau kiri itu seperti apa. Kata tukang ojeknya sih pemandangannya bagus. Bahkan Semeru aja bisa kelihatan. Tapi kabut menutup itu semua. Duh, udah dingin, basah, dikelilingi kabut tebal, jalan yang menantang adrenalin, mantap.

Kami berhenti di desa Argosari. Tidak jauh dari Gapura desa. Kami menghangatkan badan dulu di sebuah warung sambil makan indomie kuah panas. Hujan masih belum berhenti. Pak Tukang ojek menawari pilihan menginap di rumah warga (Rp. 50.000 per orang per malam) atau langsung naik ke puncak dengan ongkos Rp. 80.000 per orang PP. Kalo tidak hujan bisa dinego jadi Rp. 50.000.

Setelah berdiskusi, kami memutuskan untuk nekat naik ke atas. Informasi yang kami dapatkan, diatas ada warung-warung yang buka 24 jam. Jadi kami berpikir, sudahlah, kita nongkrong aja di warung sampai fajar. Rencana awalnya sih mengejar momen sunset. Namun hujan udah keburu menghapusnya.

Jika perjalanan dari Pasar sudah beraspal, maka dari starting poin ke puncak, jalannya adalah Makadam. Masih tanah dan berbatu. Karena hujan, otomatis jalan menjadi basah dan licin. Modal nekat itupun berubah menjadi uji adrenalin saat ngojek menuju puncak. Bagaimana tidak, jalannya kecil, basah, banyak yang berlubang, dan ditepi jalan adalah bagian tanah yang curam. Mana tukang ojek nya sering memilih mengendarai motornya di bagian tepi jalan. Hanya sekian senti dari bibir jalan. Kalo motor itu terpeleset, bisa dipastikan saya atau teman-teman saya plus tukang ojeknya, jatuh ke bawah.

Dari pos desa Argosari menuju puncak jaraknya cukup jauh. Selama ngojek saya hanya bisa berdoa semoga tidak jatuh ke dasar bukit yang curam itu. Tapi sambil menikmati pemandangan yang hijau dan indah. Jadinya ngeri-ngeri sedap. Lalu kami pun diturunkan sekitar 2 km dari puncak, karena jalan semakin licin. Maka kamipun melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki. Untungnya, kali ini hujan sudah reda.

See the Road (Photo by Kus Andi)

See the Road (Photo by Kus Andi)

Tiba di area warung-warung ketika hari sudah gelap. Kami langsung mencari warung yang direkomendasikan oleh tukang ojek kami. Kebetulan saat itu ada beberapa anak UNAIR yang KKN di Probolinggo sedang ngetrip juga ke B29. Namun mereka batal pulang hari itu karena hujan. Singkat cerita, berkenalanlah kami dengan mereka. Berbagi pawon (semacam tungku untuk memasak dengan kayu sebagai bahan bakar) untuk menghangatkan badan. Untungnya, warung itu lumayan lebar untuk menampung kami. Beberapa anak tidur di dipan berselimut hangat. Ada yang tidur dibawah meja untuk jualan. Yang lain menghangatkan diri di perapian.

Melihat mas pemilik warung yang welcome, kami menyewa sleeping bag untuk tidur. Tidurnya diatas bangku di warung itu. Saya menyewa sleeping bag karena tidak tahan dinginnya malam. Dan asap dari perapian yang memedihkan mata. Lumayan bisa tidur sekitar 4 jam diatas bangku bambu. Tapi yah, tidurnya antara sadar dan ngantuk.

Sekitar jam setengah empat kami naik ke puncak. Jarak dari warung ke puncak dekat kok. Disana sudah banyak pengunjung yang mendirikan tenda-tenda. Kami membeber jas hujan salah seorang anak Unair sebagai alas duduk dan berbaring sambil memandang langit penuh bintang. Ya… setelah sekian lama, akhirnya saya bisa menyaksikan langit bertabur bintang. Sedang dibawah sana, kelap-kelip lampu kota juga tak kalah indahnya. Dari puncak, kami bisa melihat kota Lumajang yang masih terlelap, dan siluet gunung Batok dan Bromo.

A Sky full of Stars (Photo by Kus Andi) You can see more pictures at his IG : sayakusandi

A Sky full of Stars (Photo by Kus Andi) You can see more pictures at his IG : sayakusandi

Tak lama kemudian, perlahan-lahan, cahaya keemasan menyeruak diantara awan hitam. Good morning sunshine…

the Sun rises

the Sun rises

20150201_054132

Walau awan yang terbentuk tidak sebanyak yang saya lihat diinternet, tapi tidak masalah. Karena lukisan pagi itu luar biasa. Udara pagi yang sejuk membelai mesra. Sinar mentari hadir menghangatkan jiwa. Semeru yang agung berdiri kokoh disana, menyapa para pecinta negeri ini. Dan keindahan yang terbentang di depan mata, menggetarkan hati. Ok, mungkin saya agak lebay, tapi Saya percaya, ketika menciptakan Bumi ini, Tuhan pasti sedang tersenyum.

Gara – gara belum bisa nyetir

Sebagai warga Negara yang memanfaatkan jasa angkutan umum untuk bepergian, tentulah saya mengharapkan sebuah sarana transportasi yang nyaman dan terjangkau. Itu adalah harapan banyak orang di negeri ini. Tapi kenyataannya, harus diakui bahwa sarana transportasi di negeri ini belum terlalu memuaskan. Fungsinya sih udah bagus, hanya fasilitas penunjang dan pelayanannya aja yang masih kurang.

Saya menggunakan transportasi umum karena memang saya belum bisa mengendarai mobil maupun sepeda motor. Ya, saya memang malas belajar untuk hal ini. Satu-satunya alat transportasi yang bisa saya gunakan hanyalah sepeda.

Alat transportasi yang paling sering saya gunakan adalah angkutan umum dalam kota. DI Malang disebut Mikrolet, di Surabaya disebut Bemo, di kota lain saya kurang tahu apa sebutannya. Di Medan disebut angkot saja.

Angkot beroperasi berdasarkan trayeknya. Setiap hari rute yang mereka lewati ya itu-itu aja. Penamaan trayek itu juga bisa berbeda-beda. Di Malang ditandai dengan inisial terminal tujuan atau tempat yang di lewati, seperti AG (Mulai dari kawasan Arjosari sampai Gadang), atau LA (dari kabupaten Lawang sampai Arjosari).

Di Surabaya ditandai dengan huruf. Misalnya Bemo lyn K itu jurusannya dari Perak ke Pasar Turi lewat Jembatan Merah, atau M, yang rutenya melewati Jembatan Merah, Dinoyo, dst. Jadi kita harus hapal setiap huruf di angkot tersebut rutenya mana saja.

Kalo di Denpasar susah sekali nyari angkot, bahkan nyaris tidak ada. Ada sih angkot yang nongkrong di terminal Badung, tapi saya kurang tahu jurusannya kemana. Karena angkot-angkot tersebut ga laku. Pernah saya mencoba naik angkot dari BAdung ke arah Jl. Nusa Kambangan, 20 menit saya di dalam angkot itu, penumpangnya baru dua orang termasuk saya. Dan si sopir pun ga juga terlihat akan menjalankan angkotnya. Apa ga kesel seperti itu. Kalo menunggu sampai penuh, bisa-bisa sejam saya dipanggang di dalamnya. Maka saya putuskan untuk naik ojek saja.

Di Medan beda lagi, Angkotnya ditandai dengan nomer. Lagi-lagi, kita wajib hapal angkot nomer sekian itu lewat mana saja. Jurusannya kemana. Sebagai pendatang, jika kita tidak rajin bertanya, bisa tersesat atau kesusahan sendiri. Udah gitu, beberapa jurusan itu rutenya cukup panjang dan agak mirip. Model angkotnya pun ada perbedaan. Ada yang bisa berupa Kijang kapsul atau Suzuki Carry. Yang paling beda adalah Sudaku. Suzuki carry yang pintu masuknya dari belakang, bukan dari samping. Mirip Bemo – kendaraan roda tiga yang bentuknya mirip setrika itu(Di Malang dulu ada Bemo tapi sekarang udah tidak ada) Kalo ga salah, di daerah Benhil Jakarta masih ada tuh Bemo. Dari semua angkot yang pernah saya gunakan di ke empat kota tersebut, angkot Medan lah yang paling sering bikin sport jantung. Gimana nggak, si sopir kalau nyetir seenaknya sendiri. Pernah dia nyetir kenceng banget, main salip sana sini. Dia ga peduli walau angkotnya ga penuh. Naik angkotnya serasa ikut balap rally, tapi bukan bersama Sebastian Loeb.. huft…serasa diguncang.

Belum lagi kondisi jalanan kota Medan yang agak macet di beberapa titik. Kalau udah Macet, seperti disimpang empat AH Nasution – Jamin Ginting A.K.A Simpang Pos, nyaris mobil pribadi dan angkot plus sepeda motor ga ada yang mau ngalah.

Oh ya, masih ada becak motor yang khas Medan. Sepeda Motor (biasanya model GL) ‘disambung” dengan becak disisi kirinya. Kapasitas becak 2 orang, tapi bisa jadi 3 atau 4. 3 penumpang di dalam, dan 1 dibonceng supir. Tarifnya tergantung nego, seberapa jauh tujuan. Jika anda pendatang, sebaiknya ajak teman yang asal Medan supaya tidak ditipu, seperti dikenai tariff mahal padahal jaraknya dekat. Biasanya si supir beralasan jalannya muter atau jauh lah. Kalo ga punya teman local, bertanyalah pada siapa aja, bisa resepsionis hotel, satpam hotel, orang di jalan. Kalo anda jalan-jalan kan, jangan pernah malu bertanya atau anda ga dapat apa2.

Dan rata-rata, angkot-angkot tersebut umurnya udah tua-tua. Ada sih yang tampak baru atau terlihat terawat. Tapi yang udah bopeng sana-sini, dalemannya udah memprihatinkan juga banyak.

Ironisnya, jumlah angkot yang beroperasi saat ini sepertinya berbanding terbalik dengan jumlah penumpang yang membutuhkan jasa angkot. Kalau dulu angkot masih bersinar karena memang dibutuhkan ketika banyak orang belum memiliki kendaraan pribadi (Baca: Sepeda Motor). Tapi lihatlah jalanan sekarang, Di kota besar Surabaya, Jakarta, Medan, kota kecil Malang, jumlah pengguna sepeda motor naik tajam. Efeknya tentu berimbas pada pendapatan para supir angkot. Jumlah penumpang turun. Saya tahu betul karena Bapak saya adalah seorang sopir angkot.

Jika 5 tahun lalu sopir angkot masih bisa membawa pulang uang bersih, saat ini, untuk bisa menutup uang bensin aja udah sangat bagus. (Pengalaman Bapak saya)

Banyak orang malas naik angkot dengan alasan lama lah, panas lah, malas lah, atau yang paling aneh, ga tahu harus naik angkot apa. Jika seorang pendatang di suatu kota tidak tahu angkot jurusan kemana itu wajar, tapi bagi penduduk asli jika sampai ga tahu kok ya aneh bagi saya. Beberapa teman saya malah mengaku ga pernah naik angkot, jadi bertanya kepada mereka tentang jurusan angkot adalah buang-buang waktu.

Ya, naik kendaraan pribadi emang enak, cepat dan nyaman. Tapi segitu aja kah cerita anda? Bicara angkot dalam kota berarti kita bicara tentang armada yang ekonomis ya, semua kalangan bisa naik angkot. Pernahkah anda tersasar ketika naik angkot? Pernahkah anda begitu sebel sama si sopir angkot? Pernahkah anda kecopetan ketika naik angkot? Pernahkan anda satu mobil dengan orang-orang yang entah siapa mereka, mungkin ada mahasiswa, mbok-mbok yang baru pulang dari pasar dengan belanjaannya. Pernahkah anda satu angkot dengan pejabat negara (misalnya)? Memang sudah jelas akan beda ceritanya. Jika anda belum pernah naik angkot, coba lah.. there’s always be the first time for everything, right? Apakah setelah itu anda kapok naik angkot atau biasa-biasa aja. Anda sudah punya satu cerita.

Masih soal angkot, tapi kali ini jenisnya beda. Yaitu Bis. Bentuk bis tak perlulah saya jelaskan, semua orang tahu seperti apa bentuknya. Bahkan anda mungkin sering naik bis. Apakah tujuan antar kota dalam propinsi, atau antar kota antar propinsi, bis dalam kota seperti Kopaja di Jakarta atau Damri di Surabaya. Atau bis transjakarta.

Tapi di Sumatera Utara, ada satu bis (mini bis) yang luar binasa. Kapasitas bisnya mungkin mentok hanya 20an orang dengan 1 bangku cadangan. Tapi walaupun semua bangku sudah penuh, si kenek – yang mungkin dikejar target – masih tetap memasukkan penumpang. Jadi penumpang yang tidak kebagian tempat duduk harus rela berdiri di sekitar pintu masuk. Dan disitu bisa 4 orang berdiri berdesak-desakan.Sama seperti bis ekonomi di kota2 besar ketika jam sibuk dimana orang-orang rela berdesak-desakan, yang penting bisa sampai tujuan.

Ada 3 trayek yang melayani rute Medan – Berastagi – Kabanjahe yaitu Sutra (warna cat bis Biru – yang paling rame), Borneo (warna bis kecoklatan) dan Sinabung Jaya (sayangnya dia tidak jaya, karena belakangan berganti nama menjadi Murni – warna bis Ungu)

Yang bikin geleng-geleng kepala, kadang ibu-ibu pun rela berdiri di pinggir pintu. Dan dulu, orang bahkan sampai naik ke atap bis. Bayangkan selama 2 jam di atas bis melewati jalanan berkelok-kelok, bis melaju dengan kencang cang. Oh ya, bis ini pernah di film documenter kan loh.. waktu itu ikut kompetisi eagle award nya Metro TV. Saya sih memang belum pernah naik ke atas karena memang sudah tidak diperbolehkan (Walau kadang masih ada yang nekat naik ke atap, ntar jika mendekati pos polisi, mereka turun dan masuk  ke dalam bis berdesak-desakan) justru saya sempat ngobrol dengan seorang backpacker asal Slovenia, namanya Maja (baca : Maha) seorang perempuan yang berprofesi sebagai guru, namun hobinya backpacking…. Dia malah bercerita dengan antusias bagaimana rasanya naik di atas bis ditutupi terpal karena gerimis sehingga dia merasa seperti para pengungsi bencana alam/perang.

Selama 30 hari di Indonesia, dia akan berkunjung ke Sumatera Utara (Medan, Berastagi, dan Toba) lalu dilanjutkan ke Sumatera Barat, Riau, Bengkulu, Sematera Selatan, dan Batam. Semua itu akan dia lakukan dengan naik bis dan angkutan darat lainnya dan dia sendirian!! Keren banget nih cewek…

Lucunya, dia ke Sumatera itu karena rekomendasi teman-temannya. Malah dia belum pernah ke Bali. Katanya, dia ke Indonesia untuk berpetualang, bukan dugem di pinggir pantai.

Pengalaman seru naik bi situ sebenarnya ketika kita harus berdesak-desakan dalam bis, entah itu naik kopaja atau busway. Kalo busway mah adem di dalam, kalo kopaja atau damri? apalagi jika siang bolong kena macet pula di lampu merah… belum lagi jika harus menahan bau-bau tak sedap dari sekeliling, asap rokok, berhimpitan ketika orang lewat, atau pengamen nyamperin tiap bangku, huft… Soal keamanan ga jamin blas, hati-hati aja terhadap barang bawaan. Saya selalu menaruh tas diposisi depan, kalo pake backpack, selalu saya posisikan di depan juga. Kecuali jika berdempetan dengan mas-mas cakep, tas boleh lah ke belakang, hehe….

Tapi biasanya saya kalo pulang ke Malang dari terminal Bungurasih Surabaya nyaris selalu naik bis Patas AC yang tarifnya Rp. 15.000,-. Dengan seat  2-2, AC, ga ada pengamen dan penjual, cukup nyaman untuk perjalanan 2 jam, macet di gempol, porong pun hanya jadi masalah waktu aja.

Sayangnya, pulang ke Malang itu tiap Sabtu sore, dimana banyak orang yang rupanya juga memiliki tujuan sama. Ke Malang, naik bis PAtas AC. Jumlah penumpang lebih banyak dari jumlah bis nya. Katakanlah yang menunggu bis itu ada 150 orang, bis yang datang satu per satu dalam jangka waktu yang tidak pasti, bisa 15 menit, bisa setengah jam  bis berikutnya baru datang. Itu di dalam terminal loh…. Bisa dibayangkan bagaimana orang2 berebut naik bis yang baru datang. Bahkan bis belum berhenti pun orang2 sudah berdesak-desakan, berlomba-lomba lebih dahulu naik bis, maka yang terjadi pun bisa dibilang agak kacau. Karena demi tujuan, yang penting “aku” bisa naik dan segera ke tempat tujuan. Ga peduli apakah berdesakan dengan seorang ibu-ibu membawa bayinya, atau nenek-nenek, para penumpang hanya memiliki satu misi, bisa naik bis. Yang ada, sering kali bis sudah penuh duluan bahkan ketika orang-orang masih berusaha naik ke dalam.

Saya pernah tiba di terminal Bungurasih jam 4 sore, baru dapat tempat duduk dalam bis jam 7.30 malam. Sebelumnya sudah berhasil naik bis, tapi semua tempat duduk sudah penuh. Karena Patas AC tidak diperkenankan berdiri, maka orang2 yang tdk kebagian tempat duduk, termasuk saya ya turun lagi menunggu bis selanjutnya. Bis selanjutnya satang, rebutan masuk lagi, dorong-dorongan pasti terjadi. Badan saya yang kurus kering gini gampang banget diolengkan….

Ngemper di terminal dengan segitu banyak orang serasa mudik lebaran saja, padahal itu Cuma weekend biasa, bukan ada hari besar. Lah gimana kalo pas lebaran? Pas lebaran kemaren saya ke malang H-2, dan berangkat subuh, jadi di terminal belum terlalu ramai.

Tapi eh, sekarang ini, tiap sabtu siang – sore cobalah tengok ke terminal Bungurasih di jalur 2, jalur Surabaya Malang, pasti jumlah penumpang yang menunggu bis cukup banyak. Semakin sore semakin banyak. Dan beberapa kali saya kesana  bis Patas AC ada juga yang menerima penumpang tanpa tempat duduk alias berdiri. Ya, dulu ga pernah nemu yang kayak gini. Bahkan saya sendiri pernah terpaksa berdiri dalam bis Patas menuju Malang karena ada janji dengan nasabah. Daripada menunggu bis selanjutnya, dan harus berdesak-desakan lagi. Dan bukan saya aja yang berdiri. Satu koridor bi situ nyaris terisi penumpang yang berdiri. Dan bayarnya sama!! Heran kenapa saya ga protes ya waktu itu…

Sebenernya masih ada bis ekonomi dan bis AC dengan tariff biasa (bis Restu, bodi bis di cat motif bamboo hijau, lengkap dengan panda) kemarin saya ke Pandaan naik bis itu. Seat 3-2 penuh, yang berdiri di koridor jalan antar bangku juga penuh, jadi si kondektur kesusahan lewat untuk  menarik ongkos. Tapi toh tetep aja bis nya dijejali dengan penumpang. Bis nya dilengkapi TV loh, walau gambarnya goyang-goyang. Waktu itu pas pertandingan Sea Games sepak bola Indonesia vs Vietnam, karena TV nya terhalangi para penumpang, untuk posisi duduk saya pas banget nomer 4 dari depan sayap kiri. Bayangan TV bisa dilihat di kaca bis. Di kaca itu lah saya melihat gol Indonesia… hahaha

Saya masih ingin naik bis ke kota-kota lain, naik angkot di setiap kota, atau naik sarana transportasi umum yg unik disetiap kota di Negeri ini, seperti becak motor di Medan yang sangat membantu saya kemana-mana walau kadang berdebar-debar naiknya.

Oh ya, awal bulan November ini untuk pertama kalinya dalm hidup saya naik kereta api, total baru 3 kali naik kereta api. Saya masih akan terus naik…. Karena ternyata seru… dan masih banyak kota di Indonesia yang belum saya sapa… itu lah mimpi saya, berkeliling Negeri Tercinta ini. Mbak Trinity aja bisa, masa saya ga bisa….