Siapa yang tidak mengenal Bali? Pulau paling terkenal di Indonesia akan kekayaan budayanya, atau pantainya yang indah. Pulau para dewata.
ROPPONGI
Tak pernah saya bayangkan sebelumnya akan bekerja di Bali. Setelah sekian lama menganggur, (Saya hanya berkonsentrasi mencari pekerjaan di Malang dan Surabaya saja, tapi tak juga lolos-lolos) akhirnya seorang kenalan menawari saya bekerja di sebuah rumah makan yang akan segera dibuka di Bali. Rumah makan itu milik saudara kenalan saya itu. Singkat cerita, saya diterima dengan mudahnya di rumah makan itu. Selama 1 minggu sebelum ke Bali saya akan di training dulu di Food Court Matos Malang, yang mana rumah makan itu juga ada disitu. Nama rumah makan Jepang itu adalah ROPPONGI. Pemilik “franchise” aslinya ada di bandung. (Saya yakin dia gay juga).
Setelah satu minggu itu berangkatlah saya ke Bali bersama Romi, senior disitu. Beberapa orang yang lain lebih dahulu berangkat. Saya ingat betul saat itu duduk di bangku paling depan bis Gunung Harta.
Roppongi terletak di jalan Teuku Umar 101, Denpasar. Tim yang bekerja disitu adalah Dany, Ello (kitchen), Saya, Lukas, dan Rini (Waiter/ss merangkap kasir, purchasing, juicer, dishwasher, dan semuanya lah). Gaji kami sebulan hanya Rp. 600.000,-. Lukas, Dany, dan Rini di beri fasilitas kos, sedang saya dan Ello bertugas jaga warung alias saya tidur di dalam. Ada satu ruang kecil untuk tidur dibagian belakang.
Karena saya dan Ello tinggal disitu juga, maka tugas kami pun extra. Yaitu bersih-bersih warung saat sebelum buka. Lebih banyak saya karena Ello pemalas.
Roppongi beroperasi mulai jam 11 siang hingga jam 11 malam. Ya, 12 jam kami bekerja….mulai buka sampai tutup. Yang mana bulan pertama disitu kami kebanjiran pelanggan. Tapi yang paling tak terlupakan adalah hari pembukaan. Tamu undangan terus berdatangan. Iya kalo pesanannya itu satu dua menu, ini yang datang satu keluarga, dengan pola makan luar biasa. Entah karena doyan makan, kebiasaan makan mirip babi, atau karena di hari pembukaan semuanya gratis, maka mereka pun pesan sebanyak-banyaknya. Mulai jam 3 sorean sampai jam 11 malam. Tak putus-putusnya tamu berdatangan. Lukas berkutat di belakang dengan pesanan minuman yang aneka ragam jenisnya. Dapur tentu pontang-panting memasak. Saya dan Rini lari kesana sini melayani tamu. Belum lagi complain karena lamanya makanan ga keluar-keluar (Padahal mereka tahu gratis) ditambah saya yang belum terlalu hapal menu yang banyak banget, maka salah memberi menu ke meja yang tidak seharusnya. Hanya berdua, kami menghandle 10 meja yang pesanan makanannya seperti mau persiapan hibernasi. Capek banget, kaki rasanya udah mau copot. Sebagai waiter, saya udah ga peduli lagi kalo senyuman saya udah menguap habis.
Roppongi benar-benar mengalami kejayaan di bulan-bulan pertama, namun semakin lama, jumlah pengunjungnya semakin sedikit.
Bekerja di restoran yang jam kerjanya satu hari penuh itu membuat saya nyaris tidak punya kehidupan social. Bagaimana tidak, saya tinggal di dalam rumah makan itu. Bangun tidur sampai tidur lagi yang dilihat ya itu-itu saja. Kalaupun libur, tidak tahu harus kemana. Paling banter ke warnet online friendster dan facebook (yaaa, saya sudah punya facebook sejak di Bali,2007) dan terlebih lagi, dengan gaji segitu tidak banyak lah ruang gerak saya.
Walau hanya beberapa orang saja yang bekerja disitu, tapi tentu saja, beda kepala, beda sifat. Rini selalu cemburu pada saya dan Lukas, dikiranya kami ada apa-apa, padahal tidak sama sekali. Kami hanya berteman. Memang Lukas juga gay, tapi tidak lebih dari sekedar teman sharing. Ello orangnya tidak peduli dengan sekitarnya selama apa yang dia inginkan tercapai. Pada dasarnya ia baik. Dany dari Bandung adalah “pemimpin” kami, dia bukan tipe yang disegani, tapi lebih ditakuti karena temperamennya dan masa kerjanya yang lebih panjang bersama si bos. Agak besar kepala dengan kemampuan memasaknya. Pada awalnya memang dia yang memasak untuk jatah makan kami dibantu Rini. Tapi ntah kapan bermulanya, posisi itu saya ambil alih. Ya, kemudian saya yang memasak untuk makan siang dan makan malam. Dulu dia meragukan kemampuan saya memasak, tapi saya buktikan bahwa saya bisa memasak lebih banyak jenisnya daripada dia, apalagi saya juga mulai menguasai masakan JEpang.
Bekerja dengan sesama perantauan ternyata tidak mudah. Konflik datang dan pergi. Seperti hubungan saya dan Dany, kepala dapur yang bagai api dalam sekam. Beberapa kali saya terlibat konflik dengannya. Sebagian besar alasannya sebenarnya sepele. Tapi dia aja yang mudah tersinggung dan temperamen. Misalnya saja, saya pernah menegur Ello gara-gara Dany membagi-bagikan jeruk kepada teman-temannya yang berkunjung ke Roppongi, padahal jeruk itu harusnya dipakai untuk jualan. Atau saya mengecilkan suara dvd player karena sudah jam 11 malam, dan saya mau tidur, tapi dia masih ingin mendengarkan lagu-lagunya. Begitu saja, dia sudah marah-marah dengan muka merah sambil membanting-banting gelas dan piring.
Saya bisa melawan, tapi buat apa? Selalu saya yang mengalah. Bukan saya pengecut, tapi malas saja berhadapan dengan orang bodoh seperti dia. Doyan mabuk dan makan babi, tapi begitu ramadhan datang, tiba-tiba saja menjadi sangat “relijius”, hoeeeek…
Kurang lebih hampir satu tahun saya tinggal di dalam rumah makan itu, sampai akhirnya saya memutuskan untuk nge kos. Kos pertama saya di jalan Nusa Kambangan sebenernya sangat saya sukai, selain karena sebagian biayanya ditanggung si bos, tempatnya juga strategis dan semua orang tahu daerah situ. Akses cari makan gampang, mau belanja ada supermarket di sekitar situ. Kamarnya luas dan bersih, kamar mandi dalam. Memang hanya kamar saja, tapi lumayan. Saya hanya membayar Rp. 150.000 perbulan, dari harga sewa Rp. 350.000,-/bulan.
Sayangnya, tidak lama berselang, Lukas memutuskan keluar dari Roppongi karena dia diterima bekerja di Giordano Discovery Shopping Mall, dimana dia juga akan tinggal bersama pacarnya, Odi.
Selama hampir setahun itu saya sempat bertemu dengan beberapa orang, ada yang just for fun, ada yang tidak ngapa-ngapain, dan ada yang jadi teman walau bisa dihitung dengan jari. Selama 2 tahun di Bali saya tidak pernah pacaran sekalipun.
Ada satu hal yang tidak bisa saya lupakan, waktu itu saya masih tinggal di rumah makan. Malam hari sekitar jam 11 malam ada yang ngajak saya ketemuan di Dunkin Donat simpang 6. Namanya Kevin. Kami bertemu lalu dia mengajak saya jalan ke daerah legian dan seminyak. Di daerah legian mobil terasa ngadat-ngadat. Lalu kami berhenti dipinggir jalan dan dia mengajak saya dugem. Saya tidak menyangka sama sekali bahwa kami masuk ke Q bar, klub nya para gay. Saya yang tidak pernah dugem sebelumnya, apalagi ke klub gay, merasa canggung dan tidak nyaman. Terutama saat go go dance berlaga di tiang-tiang itu, sangat tidak nyaman. Kevin bilang pada saya untuk menikmati saja. Tapi bagaimana bisa, sejauh mata memandang, semua gay. Di sebelah kiri, kanan, depan, belakang, semua laki-laki penyuka sesame jenis. Tidak hanya itu, para waria berkeliaran dimana-mana, di dalam klub, di pinggir jalan menjajakan diri. Saya memang gay, tapi pertama kali berada di tempat seperti itu aneh rasanya. Bali memang surga bagi para hedonis.
Belum lagi para bule-bule tua yang mengincar brondong-brondong muda. Atau sebaliknya, para kucing yang mengincar bule-bule untuk membawa mereka.
Selang beberapa saat, dia menerima telpon. Karena di dalam ruangan itu berisik oleh suara music, dia keluar sambil berpamitan pada saya. Dia akan menerima telpon itu diluar.
15 menit saya menunggunya di dalam klub sendirian tanpa tahu harus bagaimana, diantara para gay itu. Tiba-tiba dia sms. Bunyinya “Mobilku rusak, ini lagi kubawa ke bengkel. Kamu ada uang kan untuk pulang?”
Membaca sms itu saya langsung tergelak lemas. Saya ditipu… tanpa pikir panjang saya langsung keluar dari klub itu dan mencari ojek untuk segera pulang. Saya ingat betul, malam itu gerimis ringan. Saya balas sms itu, “terima kasih”.
***
SLAVYANKA
Sebenarnya, sejak masih di Roppongi, saya sudah aktif melamar kerja kesana-sini, interview jug asana sini, namun hasilnya kurang memuaskan. Lalu datanglah Adiv dan Nita. Teman baru yang tinggal di sanur. Mereka menawari saya untuk bekerja di Restoran tempat mereka bekerja, yaitu Slavyanka.
Sayangnya, bekerja di Slavyanka berarti saya harus menggantikan Adiv karena dia resign dari Restoran itu karena berniat pulang kampung. Singkat cerita, saya mulai bekerja hanya 2 hari setelah lebaran tahun 2008. Pada malam takbir, Adiv mudik. Walau singkat pertemanan kami di Bali, tapi kami tahu bahwa kami akan bertemu kembali.
Pindah kerja berarti saya juga harus mencari tempat tinggal baru. Pindah dari Denpasar ke sanur tidaklah dekat. Untungnya, mencari kosan tidak sulit. Karena kamar Adiv dipakai Nita, sedang bekas kamar Nita saya sewa. Sewa kos sebulan hanya Rp. 200.000,-. Tapi, berdasarkan peraturan di Slavyanka, 3 bulan pertama bagi anak training gajinya hanya Rp. 500.000,-/bulan tanpa uang service. Ya, saya harus bertahan hidup selama sebulan dengan uang Rp. 300.000,-. FYI, jarak dari kos ke Slavyanka sekitar 600 meter.
Tempat kos saya berada di Jalan Danau Poso, Sanur. Bagi anda yang tinggal di Bali atau berhidung belang pasti tahu kawasan ini. Ya, Red Zone, alias area prostitusi. Sepanjang jalan danau Poso, jika anda melihat rumah atau bangunan dengan nomer yg belakangnya berekor x atau bisa juga xx, dipastikan menyediakan jasa layanan esek-esek.
Setiap pulang kerja jam 11 malam, sering saya jalan berdua dengan Nita. Jelas sekali aktifitas area itu. Ada satu rumah yang sering kami lalui, kalau siang hari tidak Nampak dari luar ruang tamu yang berkaca gelap itu. Tapi ketika malam tiba, tampaklah para cewek-cewek cantik duduk-duduk di sofa menunggu pelanggan. Kabar yang beredar adalah, kebanyakan cewek-ceweknya berasal dari Jawa Barat, sebagian juga berasal dari daerah jawa Timuran.
Tidak perlu jauh-jauh, Di kosan saya saja, selain saya dan Nita, semua penghuni kosnya adalah mbak-mbak penjaja seks. Ironisnya, Ibu kos tahu hal itu, tapi dia diam saja selama kegiatan prostitusi itu tidak dilakukan di dalam kamar. Jadi jika mencari laki-laki, wajib dibawa ke bungalow. Saya cukup mengenal mbak-mbak itu dengan baik. Bahkan dari mereka lah saya tahu berapa sih tariff sewa mereka. Cukup dengan Rp. 200.000,- nett anda sudah bisa mendapat pelayanan syahwat. Jangan bingung mencari tempat karena harga itu sudah paket. Jika dirinci, harga itu terdiri dari:
Sewa Bungalow = Rp. 80.000,-
Komisi Ojek = Rp. 20.000,- (untuk mengantar tamu dan si cewek ke bungalow, PP)
Setoran ke mami = Rp. 50.000,-
Nett per tamu = Rp. 50.000,-
Jadi, kalau mau mendapat uang lebih, ya harus melayani tamu lebih dari satu. Bahkan ada si mbak yang sehari pernah melayani 15 orang laki-laki dalam satu hari!!!!
Selama 3 bulan saya hidup di daerah itu. Semua penghuni kos tahu saya gay karena Adiv pun sudah dikenal sebagai gay. Entah bagaimana lah mulanya mereka tahu saya gay.
3 bulan dengan uang segitu sering saya harus puasa, hahaha. Tapi Alhamdulillah, kerja di restoran member harapan untuk mendapat tips. Dan tiap kali saya berstatus kanker, ada saja tamu yang baik hati. Malah saya ingat betul ada tamu yang member tips Rp. 100.000,-, itu adalah tips terbesar pertama saya selama bekerja sebagai waiter.
Slavyanka adalah restoran Rusia yang bertema semi fine dining. Warna mayoritasnya merah (hmmm, ngomong-ngomong soal merah…. Roppongi juga dominan merah, Slavyanka Merah, Sinabung Berastagi kaosnya juga ada yang merah, dan sekarang Prudential, merah juga….)
Kepala dapurnya adalah Dimitri atau kami biasa panggil Dima. Tukang ngerjain dan suka film porno. Umurnya sebaya dengan saya. Bosnya pak Vedanta yang cakeeeep banget. Udah punya istri dan seorang baby. Orangnya kalem dan baiiiiik banget.
Slavyanka lalu dipindah lokasinya ke daerah BDTC, Nusa Dua. Kawasan Bali collection, tempat wisata bagi para turis kaya raya. Bagaimana tidak, komplek BDTC adalah kompleknya hotel berbintang 5, sebut saja, Novotel, Ayodya, St. Regis, The Ayana, Club Med, Melia Bali dll. Bali collection sendiri sebenernya spot untuk wisata shopping dan kuliner. Disana banyak restoran-restoran yang bersaing merebut minat para turis yang sebagian besar adalah turis asing. Di akhir tahun, biasanya banyak orang Rusia berkunjung ke Nusa Dua.
Slavyanka siap bersaing dengan restoran-restoran itu. Tapi sebelumnya, kepindahan ke nusa Dua berarti saya juga harus mencari kos baru. Sebenarnya saya sudah nyaman di Sanur walau bersama mbak-mbak itu. Tapi apa mau dikata. Tidak mungkin saya kos di sanur, kerja di Nusa Dua tanpa ada kendaraan. Apa ga bunuh diri saya.
Jadi, ketika proses pindahnya Slavyanka, yang berarti kami kerja bakti persiapan restoran baru, dengan konsep yang nyaris baru.
Maka setelah sekitar hampir 1 minggu kami kerja bakti, Restoran siap bersaing. Saya ingat betul pembukaan Slavyanka pada malam natal. Tapi karena belum siap sepenuhnya, maka kami tutup lebih awal. Baru keesokan harinya, kami berjuang mati-matian melayani para tamu yang datang silih berganti. Dasar tamu-tamu kaya, mereka makan full course, mulai salad, soup, main, hingga desert, belum lagi kalau order sebotol vodka atau wine… luar biasa, selama satu bulan penuh kami bekerja, setiap malam semua meja selalu penuh. Dan nyaris tiap hari selalu ada complain. Maklum, dengan pesanan sebanyak itu, (jumlah meja ada sekitar 20) dapur sering kewalahan. Bahkan kami sering terpaksa lembur karena memang tenaga sangat dibutuhkan, padahal saat itu ada 3 anak baru juga. Untungnya lembur kami dihargai, dan dapat makan.
![slavyanka-restaurant](https://punyarochman.wordpress.com/wp-content/uploads/2011/07/slavyanka-restaurant.jpg?w=630)
Interior Slavyanka Restaurant
Soal makan juga lucu, secara kerja di restoran. Makanan melimpah ruah, apalagi kalau terjadi salah order, atau tamu yang tidak menyentuh makanannya sama sekali, biasanya karena dia pesan terlalu banyak. Maka makanan yang tidak tersentuh itu pun tidak langsung ke meja dishwasher, tapi masuk lemari rahasia kami para waiter. Lagipula sudah sewajarnya waiter mengetahui rasa makanan, karena itulah yang kami jual. Sayangnya, masakan Rusia didominasi babi. Ada sih yang daging sapi dan ayam. Tapi menu babi selalu menggoda. Menu favorit saya adalah Pancake French Blame- lucu namanya, tapi enak banget, perpaduan jamur, daging sapi dan creammya.. yummy–, Venison in Cranberry sauce — Daging rusa yang di grill disajikan bersama saus cranberry– , Pan fried potato, Veal tongue in cream — Lidah sapi yang dimasak dalam cream –, Chanterelle Mushroom with sour cream — kombinasi daging sapi yang dipotong dadu denagn jamur kancing dalam hot bowl– , Bliny with Strawberry — pancake tipis yang diisi strawberry cincang dicampur dengan Baileys–. Minuman? Strawberry Roska.
Menu favorit adalah Shashlik — Semacam satenya orang Rusia tapi porsi dagingnya tebel banget — dan Borsch soup — Soup babi yang warna merah, merah itu dibuat dari root beet –, namun karena pakai babi, ga bisa lah saya ikut menikmati.
Setiap malam, kami tutup jam 11 malam, kadang jam 12. Pulang pun ke kosan saya jalan kaki. Karena komplek perumahan warga ada diluar komplek BDTC. Sekitar 800 meteran. Dan setiap malam kaki saya kram, sakit luar biasa. Kosan baru saya di Nusa Dua ini lebarnya hanya 2,5x 2 meter. Hanya ada satu tempat tidur kecil. Benar-benar hanya untuk tidur.
Tapi rasa sakit sebulan itu terbayar ketika gajian. Gaji pokok dan uang service dirapel jadi satu, Bayangkan, kami mulai operasi penuh tanggal 25, gajian tanggal 5. Kami menerima uang service nya saja sampai 2 ,5 juta. Jumlah terbesar yang pernah saya terima selama di Bali. Dan yang pertama kali saya beli dari gaji itu adalah HAndphone Nokia 7310 Supernova yang masih saya pakai sampai sekarang. Harga HP itu Rp. 1.600.000,-. HP pertama yang saya beli dengan uang hasil kerja keras selama sebulan.
Setelah 3 bulan training dengan gaji hanya Rp. 500.000 sebulan, kini saya bisa menikmati gaji penuh plus servis. Mantep… tapi sayangnya hal itu hanya bertahan selama 3 bulan. Karena sekitar awal Januari 2009, seorang teman di Bali memperkenalkan saya pada bapaknya. Saya diajaknya ke Melia Benoa untuk melihat pertunjukan cabaret dimana disitu dia adalah penari. Namanya Teguh.
Nama bapak itu adalah TD. Pertemuan pertama sangat mengejutkan, belum sempat saya memperkenalkan nama saya, beliau langsung menodong dengan pertanyaan, “Kamu siap ga ke Jakarta?” dan saat itu juga saya menjawab siap. Saya siap meninggalkan kenyamanan yang baru saja saya dapatkan di Slavyanka demi sesuatu yang sebenarnya saya tidak tahu. Ya, Bapak itu hanya bilang bahwa saya akan berkerja bersamanya di Jakarta sebagai sales hotel miliknya. Tempat tinggal akan ditanggung, makan juga demikian. Pokoknya saya hanya harus bekerja saja.
Malam itu, Bapak TDo mengangkat saya sebagai anaknya, sama halnya seperti Teguh. Saya sempatkan diri ke warnet mencari tahu siapa itu TD. Dan memang dia cukup dikenal di dunia perekonomian di Jakarta.
Entah karena saya yang terlalu nekat atau apa. Saya benar-benar yakin dan percaya untuk ke Jakarta menemui bapak itu. Padahal saya tidak tahu berapa nanti gaji disana, tinggal dimana, kerjanya bagaimana.
Untuk itu, saya harus berpamitan pada rekan-rekan di Slavyanka. Dan pada malam itu, sekitar jam 8 malam. 2 hari sebelum nyepi, saya disiram air es, dilumuri tepung, arang dan entah apa lah… pesta kecil perpisahan kami. Tapi itu belumlah usai. Sebagai tanda terima kasih pada Slavyanka, saya bersama Kadek bertugas menjaga Slavyanka pada hari Nyepi tahun itu. Ya, untuk pertama kalinya saya merasakan Nyepi di Pulau dewata itu. Lalu keesokan harinya, saya pulang ke Malang. Meninggalkan Bali… entahlah kapan saya akan kembali kesana lagi…..