50 of the Best Things of Mine

Yap, Life is beautiful. Ada saat senang atau susah. Klise tapi begitulah adanya. Pengalaman dalam hidup mengajarkan seseorang untuk jadi pribadi yang lebih baik. Dan yang namanya belajar, pasti ada saat yang tidak menyenangkan. Tapi kalo lulus ujiannya, insya Allah kita akan naik satu level lebih baik. Ada banyak hal yang terjadi dalam hidup. Berikut adalah keisengan saya mengingat hal-hal terbaik yang menjadi bagian dari hidup. (and it will still count on),

  1. Being Muslim
  2. Mom and Dad, they’re the most precious love I have
  3. Saat berkumpul bersama keluarga besar pada saat Idul Fitri. Selalu ada berita terbaru tentang apa yang terjadi setelah sekian lama tidak bertemu.
  4. Smartphone dan free wifi
  5. Indomie goreng istimewa
  6. Ciuman pertama
  7. Perjalanan dari Kondang Merak ke Balekambang bersama teman-teman sekelas “Geng Ijo”
  8. The Lord of the Rings franchise
  9. Makan buah mangga muda
  10. Sarapan Sayur bening bayam dan penyet tempe
  11. Petrichor: aroma tanah saat hujan turunPetrichor
  12. Aroma kopi
  13. Melewati lembah di desa Doulu, Kab, Karo dimana disitu terdapat Pabrik Aqua. Menikmati hijaunya pemandangan dataran tinggi karo dari bis Sutra
  14. Menikmati sunset di sepanjang pantai menuju pelabuhan Tenau, Kupang
  15. Mie Ramen dan Sushi
  16. Fany Safriansyah
  17. Pernah menjadi bagian dari The Darmadji
  18. Perasaan bahagia setelah menolong orang, walau sekecil apapun… pernah mengalami ini kan?
  19. Mengapung di pantai Tanjung Aan, Lombok pada sore hari. Ketika matahari sudah tidak terik, dan permukaan air tenang
  20. Mentari Pagi di Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (from any part of it)
  21. Cute KittenAwww
  22. Stalking media social seseorang yang kutaksir
  23. Tidur siang yang nyenyak. Saat bangun tidak terganggu oleh kebelet pipis
  24. Pas niat shopping, pas ada item yang bagus, dan pas ada duit
  25. Menangis haru saat nonton film di bioskop. Film-film yang sukses membuatku menangis seperti the Iron Giant, The Lord of the Rings: The Return of the King, Inside Out, Big Hero 6, dll.
  26. Menemukan barang atau foto lama, yang membuat kembali mengenang masa lalu26649_111031378907710_3172239_n
  27. Tertawa bersama orang-orang terkasih
  28. Secangkir teh hangat saat kena flu. Plus lemon dan madu… hmmmm…
  29. Nasi Padang langganan di Jl. Cik di Tiro, Medan (warung kaki lima pas di perempatan). Ga tahu sih apa masih jualan atau nggak
  30. Suasana sejuk yang dibawa oleh hujan
  31. Sepatu Converse lawas yang ga pernah dicuci, namun masih awet dan enak dipakai
  32. Berenang jam 12 malam di kolam renang hotel Sinabung Berastagi, Sumatera Utara
  33. Pengalaman telat check in di bandara Hang Nadim Batam. Ditungguin penumpang satu pesawat.. hehe
  34. Five Monkeys Burger (Saya bukan fan burger tapi burger mereka paling enak – versi saya loh)
  35. Ketika tiba-tiba Radio muter lagu lawas yang pernah jadi favorit, dan sudah lama tidak mendengarkan
  36. Ayat ini:

    QS. Ar Rahman

    QS. Ar Rahman

  37. Saat bokek lalu tiba-tiba menemukan uang di saku celana
  38. Battlestar Galaktica Universal Studio Singapore
  39. Aero Test Jatim Park I
  40. Bermain bersama anak-anak
  41. Ngikutin cerita Naruto sampai habis
  42. Chocolate – Darker is better
  43. Mengunjungi Museum Ullen Sentalu di Kaliurang, Jogja
  44. Pengalaman snorkeling pertama di Pulau Menjangan, Taman Nasional Bali Barat bersama rombongan Couchsurfing Malang
  45. Mengumpulkan karcis bioskop film yang pernah kutonton
  46. Menjadi penyiar radio kampus
  47. Pengalaman salah naik kereta api. Harusnya jurusan Kediri  langsung ke Surabaya, tapi malah naik Kediri – Tulungagung – Blitar – Malang – Surabaya
  48. This Moment207105_199897653376949_641003_n
  49. Naik pesawat untuk pertama kalinya
  50. Kutipan inikindness-is-the-language-which-the-deaf-can-hearWhat’s yours?

Numpak Sepur nang Ambarawa

Selama 2 hari jalan-jalan di Semarang, hampir semuanya berhubungan dengan kereta api. Bisa dibilang, tema perjalanan ini memang tentang kereta api.

Perjalanannya sih udah seminggu yang lalu, tapi karena untuk mulai menulis itu terpengaruh mood, jadi molor. Yang suka menulis pasti pernah merasakan deh.

Berangkat bertiga dari Surabaya naik kereta api ekonomi Maharani jurusan Surabaya Pasar Turi ke Semarang Poncol, kami menempuh perjalanan dari jam 6 pagi hingga jam 11 siang. Walaupun ekonomi, kereta api sekarang sudah enak karena berAC, ga ada pedagang keliling, dan semua dapet tempat duduk. Yah, sebagai gantinya, mesti siap2 bahan makanan biar mulut ga asem.

Ini adalah kali pertama saya mengunjungi Semarang. Dan tujuan utamanya adalah Museum Kereta Api di Ambarawa. Namun karena kami sampai di Semarang sudah siang, maka tidak mungkin kami langsung ke Ambarawa. Bisa sih, tapi agenda naik kereta api wisata nya tidak akan kekejar. Lha wong tujuan ke Ambarawa untuk naik kereta api itu.

Maka pit stop pertama (setelah dapet kasur buat tidur), adalah Lawang Sewu, yang tidak jauh dari hostel kami di jalan Imam Bonjol. Cukup berjalan kaki saja.

Lawang Sewu saat sore hari

Lawang Sewu saat sore hari

Lawang Sewu yang ikonik ini memang memiliki banyak pintu, walau ga sampai 1000 buah. Bangunan yang desainnya cantik ini dulunya adalah kantor perusahaan kereta api Nederlands Indische Spoorweg Maatschappij atau NIS. Dibangun pada tahun  1904 dan selesai pada tahun 1907. Terletak di bundaran Tugu Muda yang dahulu disebut Wilhelminaplein. Disini, banyak spot bagus buat selfie atau foto rame-rame. Dan tentu saja, di dalam bangunan bersejarah ini, pengunjung bisa membaca cerita tentang perjalanan sejarah kereta api di Indonesia. Jujur, saya tidak banyak membaca informasinya. Hanya sepenggal-penggal. Itupun langsung lupa begitu keluar dari sana. Hahahah.. akhirnya googling lagi deh.

Konon katanya Lawang Sewu ini memiliki cerita mistis, well.. sepertinya udah memudar deh mitos itu. Setidaknya, saat saya disana malam hari, malah bagus tuh buat foto-fotoan. Karena di dalam gedung, cahaya lampu malah bikin cantik. Tapi ga tahu juga sih, mungkin pengalaman orang lain beda lagi. Mungkin kalo ikutan tur yang bawah tanah itu, akan terasa suasana sejarahnya. Sayang, tur bawah tanah sedang ditutup karena renovasi.

Lawang Sewu after Maghrib

Lawang Sewu after Maghrib

Saat yang pas menurut saya berkunjung ke Lawang Sewu, adalah sore menjelang maghrib hingga after maghrib. Mulai sekitar jam 4.30 sorean hingga jam 7 malam. Jadi bisa membedakan suasana saat cahaya matahari masih menyeruak diantara tembok-tembok dengan suasana ketika langit telah diambil alih oleh kegelapan. Bagi yang muslim, tenang, ada ruangan di belakang yang disediakan untuk menunaikan sholat maghrib. Jalan-jalan itu perlu, tapi ibadah itu ga boleh ditinggal… (pesan dari teman)

Dari Lawang Sewu, kami mencari makan malam di Simpang Lima yang rame banget. Oh, saat itu malam minggu, pantes. Dapetnya nasi kucing lesehan yang ruame banget. Harganya cuma 2.000 Rupiah, tapi isinya yah, sesuai harganya lah. Kalo mau nambah lauk, ya bayar lagi. Ala angkringan di Jogja itu loh. Sudah lama sekali saya tidak melakukan hal yang biasa saya lakukan saat jalan. People Watch. Duduk manis di lesehan sambil minum teh, sambil mengamati orang-orang disekitar, orang-orang yang berlalu lalang. Tuh, ada sesama rekan traveler yang juga lagi nyari makan, ada penjual mainan, ada yang pacaran, ada 2 cowok yang janjian ketemuan… ehem (tertangkap radar), ada yang membawa keluarganya, ada yang salah kostum, dll.

Bagian terbaik yang paling saya suka dari act like local, adalah di alun-alun Simpang Lima nya, beli mainan yang ditembakkan ke atas seperti ketapel, tapi yang ditembakkan itu seperti mainan terjun payung yang saat jatuh dia berputar2. Karena dipasangin lampu diode kecil yang bisa berganti warna, maka saat berputar, lampunya menimbulkan efek cantik. Nah, kami mainan itu, persis seperti anak-anak kecil disana.

Kami berangkat ke Ambarawa dari depan Stasiun Poncol naik bis mini jurusan Bawen. Sebenernya nunggu di depan hostel bisa, tapi sambil nyari ATM akhirnya jalan deh. Harusnya, ada bis langsung ke Palagan, Ambarawa. Nama bisnya Putra Palagan. Namun karena kami mendapat informasinya kurang banyak (Cuma tanya ke petugas di hostel dan tukang parkir) jadinya kami naik bis ke Bawen. Dari Bawen oper bis lagi, lupa namanya, turun di depan museum Palagan, Ambarawa.

Jalan sebentar ga sampai 10 menit, kami sudah sampai di museum kereta Api Ambarawa. Dan langsung menuju loket kereta api wisata. Setelah mengantri agak lama karena jadwal jam 10.00 sudah habis, kami dapat tiket untuk jadwal jam 12.00.

Sambil menunggu jadwal selanjutnya, kami puas-puasin foto-fotoan di koleksi kereta api uap yang sudah tidak beroperasi. Karena sudah tua tentunya. Koleksinya cukup bagus dan terawat, beberapa jenis loko ada disana. Bahkan loko yang ada di pintu masuk, sengaja “dinyalakan” biar menambah efek dramatis. Loko-loko tersebut masih menggunkana bahan bakar kayu. Jadi petugas yang menyalakan “kereta uap” nya kudu kerja beneran memasukkan kayu ke tungku apinya.

Kereta api wisata Ambarawa hanya terdiri dari 3 “gerbong” yang tempat duduknya terbuat dari kayu. Dengan jendela terbuka full Angin Cepoi-cepoi. Walau namanya kereta wisata, tapi menggunakan karcis resmi PT. KAI, hanya saja, tidak perlu nama asli dan menunjukkan ktp saat naik. Tapi, saat kereta berjalan, pemeriksaan tiket oleh pak kondektur benar-benar dilaksanakan.

Kereta Api wisata ini berangkat dari stasiun Ambarawa (Museum Kereta Api ini sebenernya adalah stasiun Ambarawa yang dulunya dikenal sebagai Willem I) menuju stasiun Tunteng. Kereta berjalan dengan pelan mengingat selain usianya yang sudah sepuh. kereta api ini menggunakan bahan bakar diesel. Sepanjang perjalanan, penumpang disuguhi pemandangan sawah yang hijau dan danau yang juga hijau karena dijajah oleh enceng gondok. Dengan latar gunung Merapi. Pemandangannya, suasananya, bagus sih.. asri, sejuk, adem, bikin ngantuk.. hahha..

Choo chooo

Choo chooo

Dengan tiket seharga Rp. 50.000, kita bisa menikmati perjalanan dengan kereta api antik tersebut selama kurang lebih satu jam. Lumayan menarik lah untuk membawa keluarga berwisata. Oh ya, sebaiknya datang lebih pagi karena untuk menghindari habisnya tiket kereta. Karena perjalanan kereta hanya dilakukan pada hari Minggu dan hari Libur Nasional. Dengan jadwal jam 10.00, 12.00 dan 14.00 saja.

Kereta Api Wisata

Kereta Api Wisata

20150802_104831

Satu hal yang menjadi ciri khas beberapa stasiun yang pernah saya singgahi adalah theme song dari stasiun itu. Seperti halnya di stasiun gubeng atau pasar turi yang kerap memutar lagu Surabaya oh Surabaya, atau di stasiun Yogyakarta memutar lagu Yogyakarta, di Stasiun Tawang Semarang juga tak mau kalah. Theme songnya adalah Gambang Semarang. Ditambah penampilan musisi-musisi yang menghibur para calon penumpang yang sedang menunggu jadwal keberangkatan kereta mereka. Enak juga loh, sambil menunggu, mendengarkan alunan music keroncong. Bisa request lagi.

Dari Semarang Tawang, kereta Kertajaya kami berangkat jam 9 malam. Walau berangkat malam, semua seat kereta 8 gerbong ini full. Dan Alhamdulillah, di bangku seberang saya, ada cowok yang menurut saya menarik. Tipeku banget deh, Hahaha.. lumayan buat pemandangan. Hahaha.. Sepertinya, dia dan rombongan teman-temannya juga sedang melakukan perjalanan. Sayang, dia bersama rombongan, coba kalo sendiri,,, eh, ga berani ah… hahaha

 

 

Belajar Budaya dan Seni di Ullen Sentalu

Ulating Blencong iku Sejatine Tataraning Lumaku

Ulating Blencong iku Sejatine Tataraning Lumaku

“One destination is never a place, but a way to see new things” – Henry Miller

Itulah salah satu pengingat saya ketika merencanakan sebuah perjalanan. Setelah cukup lama saya berkutat dengan tagihan-tagihan di meja kerja, tiba waktunya bagi saya untuk sejenak meninggalkan kantor dan melihat hal-hal baru. Dan hal baru itu adalah Museum Ullen Sentalu.

Awalnya, secara tidak sengaja saya “menemukan” museum ini ketika iseng googling tempat-tempat wisata April lalu. Saya lupa tepatnya bagaimana, sepertinya dari twitter sih. Ulasan tentang tempat ini cukup bagus. Di trip advisor pun juga tampak menarik. Seminggu kemudian saya confirm memesan tiket kereta api dari Jogja ke Surabaya.

Yes, Saya hanya memesan tiket balik dari Jogja ke Surabaya. Karena rencananya, saya berangkat sabtu malam naik bis umum supaya sampai Jogja nya Minggu pagi. Minggu sore langsung balik ke Surabaya. Ketika hal ini saya sampaikan ke teman, mereka langsung bereaksi, apa ga capek? Ya, mungkin saja, tapi memang begitulah rencananya. Saya berniat melakukan perjalanan sendiri dan tidak menginap. Saya bisa saja menginap atau menghubungi teman-teman di Jogja supaya lebih mudah menikmati jalan-jalan ini. Tapi tidak, saya ingin menantang diri saya lagi, setelah cukup lama tidak melakukan perjalanan sendiri, atau yang kadang disebut solo traveler.

Museum ini letaknya di Kaliurang, Sleman, Jogjakarta. Menurut informasi dari web yogyes, blog dan beberapa artikel di internet, untuk menuju kesana sebaiknya menggunakan kendaraan pribadi atau sewa. Bagi yang ingin menggunakan transportasi umum bisa, namun minim info. Hanya disebutkan, dari Halte Kentungan TransJogja, naik mobil elf, turun di pertigaan hostel Vogel. (sampai saya balik ke Jogja, saya ga nemu hostelnya.. lol).

Saya sampai di Jogja ketika hari Minggu baru dilahirkan. Sebenarnya ada angkutan umum dari Giwangan yang langsung ke Kaliurang. Tapi, saya melipir dulu ke kawasan Malioboro untuk mencari sarapan. Duduk-duduk dulu sambil menikmati pagi di Malioboro. Melakukan people watch… yang ternyata banyak juga para traveler berlalu lalang di sepanjang jalan itu.

Petunjuk dari Mbah Internet adalah naik Bus Transjogja turun di halte kentungan. Udah itu aja. Di lapangan, dari Malioboro saya naik transjogja jurusan 3A, turun di halte Ngabean, oper jurusan 3B, turun di halte Kentungan. Pokoknya kalo ga ngerti rutenya, tanya aja sama mbak mas petugas TransJogja, mereka dengan ramah memberi informasi. Di dalam bisnya juga ada petugas yang mengingatkan dimana kita mesti turun.

Dari halte kentungan, saya naik mobil elf tua. Saya pasrahkan sama pak sopir untuk turun di pertigaan hostel Vogel. Saya juga sampaikan mau ke Ullen Sentalu biar lengkap. Tapi rupanya, karena penumpangnya sedikit, dan akhirnya tinggal saya, sedang perjalanan masih jauh, lalu saya diturunkan di depan pasar Pakem dan disuruh oper ke mobil bison yang sedang ngetem disitu. Dioperin ini tetep bayar loh ke mobil elf nya. Rp. 10.000!

Akhirnya, saya sampai juga di pertigaan hostel Vogel yang tidak saya temukan itu. Rupanya, supaya lebih gampang, turunnya di taman Kaliurang. Dari situ jalan sebentar hingga sampai di Museum.

Ok, jam menunjukkan sudah pukul 9.30 pagi. Dan antrian untuk memasuki museum udah lumayan banyak. Semuanya rombongan kecuali saya yang seorang diri. Karena untuk masuk ke museum ini harus dalam grup dengan pemandu, maka saya digabungkan dengan rombongan 10 orang dari Jakarta dan 5 orang dari Samarinda. Saya pengen ikut grup dari belanda tapi mereka lebih lama menunggunya. Momen yang menyenangkan adalah ketika saat masuk, kami dipanggil dengan diabsen, kalo yang lain disebut jumlah orang dan dari kota mana, saat giliran saya, dipanggil 1 orang dari Malang. Saat itu juga semua mata menatap saya.

Seperti yang diketahui, masuk ke dalam museum ini dilarang mengambil gambar, dilarang menggunakan HP. Sebenarnya, inilah yang membuat saya penasaran. Apa bagusnya hingga dilarang mengambil gambar. Dan ternyata bagus banget. Menarik. Sepanjang tur dalam museum, saya menikmati penjelasan si guide yang cukup fasih menjelaskan dan menjawab pertanyaan. Selain itu juga menikmati koleksi-koleksinya. Dan tentu saja, ada banyak informasi baru yang membuat peserta berkata “Oooo..”. Pelajaran: Budaya Jawa itu indah dan banyak filosofi yang baik.

Tur selama satu jam terasa singkat. Sepertinya masih kurang. Ingin lebih lama lagi. Terutama di ruang romantisme Gusti Nurul, putri dari keraton Mangkunegaran, yang menampilkan puisi-puisi beliau. Dan masih ingin mengagumi arsitektur bangunan yang keren. Atau menikmati suasana magis di gua sela giri nya.

Di lokasi terakhir kami diperbolehkan berfoto-foto. Disitu terdapat replika salah satu relief dalam candi Borobudur yang sengaja dipasang dengan posisi miring sebagai kritik terhadap anak-anak muda yang tidak peduli dengan budaya bangsanya.

Replika Relief Candi Borobudur

Replika Relief Candi Borobudur

Setelah mengikuti tur, saya mengintip sebentar ke Muse, toko souvenirnya. Buset, baju batik nya paling murah Rp. 600.000!. Tapi ga tau kenapa, kok saya malah beli sebuah buku dengan judul Punakawan Menggugat. Niatnya cuma ke Museum dan Beukenhof, eh, keblinger beli buku. Ya sudah, lumayan ntar buat membunuh waktu dikereta.

Beukenhof, tujuan saya selanjutnya. Yaitu restoran yang juga ada di kawasan Museum ini. Open order jam 11 siang. Tepat setelah tur saya selesai. Karena baru buka, jadi sepi sekali. Rombongan yang saya ikuti tadi sibuk berfoto-foto dilokasi pintu keluar, sedang saya naik ke restoran ini. Restorannya bagus, desainnya cantik, ada balkonnya juga. Dari balkon kita bisa melihat taman “cupid”. Bisa memotret taman itu dari balkon, karena saat tadi tur melewati taman itu, kita masih dilarang mengambil gambar.

The Garden

The Garden

Kawasan Kaliurang berada di dataran tinggi. Lokasi dan penataan Museum yang asri membuat suasana tampak teduh dengan udara yang segar. Diiringi lagu gamelan jawa, tambah adem ayem.

Saya memesan Chicken Pesto Spaghetti (Rp. 58.000 + tax). By the way, Resto ini menyediakan menu western food dengan harga yang agak mahal. haha…. tapi, rasanya enak kok.

Chicken Pesto Spaghtetti

Chicken Pesto Spaghtetti

20150531_104402

Perjuangan saya selanjutnya adalah balik ke Jogja. Saya menunggu hingga 1 jam sampai angkutan umum yang berupa mobil elf itu muncul. Eh, rupanya saya dioper lagi di pasar Pakem karena tidak ada penumpang lain selain saya. Di pasar itu, si elf ngetem cukup lama sampai saya tertidur! Walau mungkin tertidur cuma sebentar, saat bangun, anehnya saya merasa lumayan segar. hahaha… Saya terbangun gara-gara mobil berangkat dan saya diketawain oleh sopirnya.

Sampai di Jogja, saya masih harus naik transjogja. Oper 2 kali juga. Dari halte kentungan naik 2B turun di condongcatur, lalu naik 3A turun di stasiun tugu. Masalahnya, saat itu Malioboro dan Mangkubumi sedang ditutup karena ada festival apa gitu. Maka bis transjogja hanya sampai halte Samsat. Dari situ, penumpang yang ke Malioboro atau ke tugu, mesti jalan kaki kurang lebih 15 menitan. Atau naik becak.

Seorang teman berkata, “nanggung banget cuma sehari”, “hah, jauh-jauh ke Jogja cuma ke Museum?”.. well, bagi saya ini bukan tentang berapa lama perjalanan, atau berapa banyak tempat yang dikunjungi, tapi.. ini tentang saya mendidik diri saya.

True Love

Cinta sejati. Tidak perlu membuka buku cerita dongeng tuan putri yang menikah dengan pangeran tampan lalu hidup bahagia selamanya. Cinta sejati itu ada disekitar kita.

Saya percaya cinta sejati itu ada. Karena tepat di depan mata saya sendiri, cinta itu setiap hari menyiramiku dengan kasih. Ya, cinta itu adalah kisah cinta Mama dan Bapakku. Kedua orang tuaku. Ini adalah sedikit kisah tentang mereka.

Kami hidup secara sederhana, dengan latar belakang keluarga sederhana. Mereka sebenarnya adalah orang tua angkatku. Saya diambil anak ketika baru lahir. Membesarkanku seperti anak mereka sendiri. Tentunya dengan kasih sayang, pendidikan agama dan moral yang insya Allah cukup.

Sebelum bertemu dengan Bapak, Mama pernah menikah dan punya seorang anak laki-laki (Mas Sugi). Namun pernikahan itu tidak bertahan lama. Kemudian Mama menikah dengan Bapakku ini. Namun sayang, pernikahan mereka tidak dikaruniai anak. Sehingga mereka mengambil sebuah keputusan dengan mengangkatku sebagai anak. Ibu kandungku adalah kakak Mamaku.

Mama Menikah dengan Bapak ketika usia mereka masih 20tahun. Sekitar tahun 1967. Tahun itu, kehidupan mereka sangat sederhana. Bekerja sebagai pembuat tempe setiap hari untuk memenuhi kebutuhan. Setiap pagi, Bapak berjualan tempe di pasar dengan mengajak Mas Sugi yang saat itu masih kecil. Tinggal di sebuah rumah kecil berdinding anyaman bambu. Yang menurut cerita Mama, beliau pernah secara tidak sengaja membuang air bekas rebusan tempe ke suatu sudut rumah, lalu tiba-tiba terdengar suara jeritan yang sangat keras.

Kemudian Mama dan Bapak pindah ke desa Tanjung Sekar yang sekarang masuk wilayah Kecamatan Lowokwaru. Di desa ini, mereka membangun semuanya dari awal. Bapak berhenti bekerja sebagai penjual tempe. Di desa ini, Bapak diberi sebidang tanah oleh Bapaknya (kakek). Mereka mendirikan sebuah rumah kecil berdinding bambu. Dan menanami pekarangan dengan sayur dan buah nanas. Saat itu, Desa Tanjung Sekar adalah desa yang masih belum banyak penduduknya. Rumah-rumah pun jaraknya cukup jauh. Rumah kecil itu dikelilingi oleh kebun singkong, ladang jagung, dan kebun nanas. Di belakang rumah ada sungai yang masih jernih. Pada saat itu, kegiatan MCK dilakukan di sungai.

Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, Bapak bekerja sebagai kuli bangunan. Mas Sugi menjadi buruh cuci baju milik tetangga. Dan Mama membuka lapak, berjualan sayur-mayur.

Saya ingat bagaimana Mama bercerita, suatu hari Bapak pergi membeli anyaman bambu untuk mengganti dinding yang sudah rusak. Bapak pergi ke pasar dengan membawa semua tabungan yang ada. Lalu saat pulang, Bambu yang dibeli bapak tidak sesuai dengan yang diharapkan Mama. Anyaman Bambu yang dibeli Bapak, anyamannya terlalu renggang dan tidak rapat. Maka Mama pun sebal dan jengkel.

Pernah juga Mama bercerita, suatu malam, ada pencuri masuk ke rumah dengan cara menggali tanah dan masuk lewat bawah dinding bambu rumah. Pencuri itu mengambil baju-baju milik Bapak. Yang diambil hampir semuanya. Maka selama satu minggu itu Bapak menggunakan baju yang sama. Dicuci setiap hari agar tidak kotor dan bau. Setelah mendapat upah dari menjadi kuli. Barulah uangnya bisa dipakai untuk membeli baju.

Mama adalah seorang Ibu Rumah Tangga yang cerdas dan pintar. Beliau menghemat pengeluaran dan berusaha mendapat tambahan penghasilan. Setelah menabung cukup lama. Uang tabungan tersebut dipakai untuk membeli becak. Maka Bapak mulai mengayuh becak. Dan sesekali masih menjadi kuli.

Bertahun-tahun menjadi tukang becak, dan Mama berjualan sayur mayur, uang yang dikumpulkan perlahan-lahan semakin banyak. Lalu rumah bambu itupun direnovasi. Mereka membangun rumah dengan dinding batu bata. Sebuah prestasi yang luar biasa saat itu.

Butuh waktu sekitar setahun untuk menyelesaikan rumah tersebut. Bapak masih tetap menjadi tukang Becak. Desa sudah mulai ramai dengan penduduk. Kanan kiri sudah mulai dibangun rumah-rumah tetangga. Mama memanfaatkan kesempatan itu dengan memperbesar lapaknya. Beliau membuka toko kelontong/pracangan. Menjual kebutuhan sehari-hari. Tidak lagi sekedar sayur mayur.  Alhamdulillah, usaha itu berjalan cukup lancar. Keuntungan dari usaha itu, digunakan untuk membeli becak lagi. Bertahun-tahun kemudian, Mama dan bapak memiliki 12 Becak. Bapak tetap menjadi tukang becak, Mas Sugi juga ikut membantu menjadi tukang becak, dan becak-becak lainnya disewakan ke orang lain.

Mas Sugi menikah di usia 18 tahun. Saat itu, desa sudah cukup ramai. Toko Pracangan Mama masih Ramai. Dan tak lama setelah Mas Sugi menikah. Saya lahir.

Mom and Dad

Saya memang tidak pernah merasaan asi seorang Ibu walau Ibu kandung saya ada. Itu adalah kesepakatan yang dibuat oleh Ibu kandung saya dengan Mama dan Bapak. Sebenarnya Mama mengharapkan anak perempuan, namun karena yang lahir adalah laki-laki. Maka bagaimanapun juga, saya tetap diambil.

Melihat foto-foto ketika saya masih bayi. Serasa kembali ke jaman itu. Saya adalah bayi yang cukup rewel. Mendengar ayam berkokok saja saya pasti langsung nangis. Saya kentut, juga nangis. Hahahah. Semakin saya tumbuh, semakin saya nakal. Ya setidaknya nakalnya anak kecil yang masih wajar. Misalnya, kalo naik motor hanya mau duduk di depan, diatas tangki bensin. Oya, saat itu Bapak sudah mampu membeli sebuah motor GL loh. Dari hasil toko pracangan dan mengayuh becak! Atau ketika nonton film India di Bioskop Irama, malang. Saya rewel dan menangis karena ruangan gelap. Maka Mama tetap lanjut nonton sedang Bapak mengasuh saya diluar gedung.

Atau ketika diajak ke Air terjun Coban Rondo, saya tidak mau jalan kaki dan minta digendong. Padahal dari jalan sampai lokasi air terjun, jaraknya hampir 2 kilometer.

At Museum Brawijaya Malang - 1984

Ketika saya TK, Bapak tidak bekerja sama sekali selama setahun. Hanya mengandalkan toko yang semakin banyak isinya, dan hasil dari menyewakan becak. Tugas Bapak setiap hari adalah mengantar jemput saya ke TK sabilillah. Sering Bapak mengajak saya mampir di sebuah warung nasi langganan. Disitu saya selalu makan Rawon nya. Atau masuk ke Pasar Blimbing untuk makan nasi Soto. Sampai sekarang, warung nasi Soto itu masih ada. Namun sayang, ibu penjualnya sudah pikun. Karena tentu usianya sudah tua.

Ketika saya SMP, Bapak berganti dari becak menjadi Bemo. Ya, kendaraan yang mirip setrika itu. Selama beberapa tahun Bapak menghidupi keluarga kecil kami dengan menjadi sopir Bemo. Mas Sugi sudah menikah dan punya 2 orang anak. Namun kerjanya serabutan. Ya jadi tukang becak, tukang kayu, Tukang Bangunan. Apa saja asal menghasilkan uang.

Jujur, saya sempat minder saat di sekolah karena Bapak saya hanya sopir Bemo. Dibandingkan dengan teman-teman yang rata2 orang tuanya bekerja sebagai PNS. Namun sekarang saya sangat sangat berterima kasih karena tanpa itu, saya tak mungkin bisa sekolah setinggi ini.

Sekitar tahun 1999 kalo tidak salah, Bemo tidak boleh lagi beroperasi di kota Malang. Dilakukan peremajaan dengan mengganti Bemo dengan Mikrolet. Bapak saya menjual Bemo nya untuk diganti dengan Mikrolet. Untuk menambah uangnya, terpaksa becak-becaknya dijual juga. Sampai sekarang, tahun 2013 ini, Bapak masih menyetir Mikrolet.

Awal-awal beroperasinya Mikrolet TST itu, Mama mempunyai ide berjualan kopi di Terminal Tasikmadu, terminal nya TST. Namun karena para sopir meminta mama berjualan makanan, maka keesokan harinya, mencoba berjualan nasi campur. Eh, ternyata laris manis. Lalu dimulailah berjualan nasi. Toko yang bertahun-tahun dirintis itupun harus mengalah, karena kesibukan berjualan nasi sangat menyita waktu. Toko itu diserahkan ke Mas Sugi dan istrinya untuk dikelola. Sayang, Hanya setahunan saja berjualan nasi itu bertahan. Karena dengan kesibukan yang luar biasa, dan hampir semuanya dikerjakan sendiri. Mama jadi mulai kecapekan. Bagaimana tidak, jam 3 pagi sudah bangun untuk masak nasi, memasak sayur ini itu, setidaknya setiap hari ada 5 jenis sayur dan lauk. Belum termasuk lauk gorengan seperti ayam dan tempe goreng.

Setelah sholat subuh Bapak pergi ke Pasar Blimbing untuk belanja. Lalu jam 7 pagi berangkat ke terminal untuk mulai berjualan. Jarak dari rumah ke terminal sekitar 15 KM. Pulangnya sore hari sekitar jam 5. Abis maghrib saya ke pasar untuk membeli bahan-bahan yang harus dimasak malam hari. Setiap hari seperti itu.

Akhirnya, mama memutuskan untuk berhenti berjualan karena terlalu lelah. Saat itu saya baru mulai kuliah. Ya, biaya kuliah saya itu hasil jerih payah nyopir Mikrolet dan mengumpulkan uang dari berjualan nasi. Tapi berhenti berjualan nasi punya efek bagus bagi Mama. Beliau jadi benar-benar memaksimalkan waktu istirahatnya. Selama 4 tahun lebih, ekonomi keluarga hanya ditopang oleh Mikrolet.

Namun, saat saya meninggalkan Malang untuk merantau ke Bali dan Medan, jiwa wirausaha Mama kembali bergolak. Beliau berjualan tabung gas yang 3 kg an dan bensin botolan. Di usianya yang sudah senja itu, semangatnya untuk terus beraktifitas tetap ada.

Alhamdulillah, saya sudah bekerja dan bisa membantu orang tua.

Ada banyak pelajaran yang bisa saya ambil dari kisah mereka. Tentang ketekunan, kegigihan, kesabaran. Mereka sudah cukup menunaikan tugasnya sebagai orang tua, mereka sudah menyekolahkan saya, mengirim saya ke guru ngaji, mengajari membaca, mengajari sholat, mengajari bagaimana caranya menolong orang, bagaimana manusia harus mengasihi sesamanya.

Mereka adalah panutan dalam hidup. Mama mengajarkan bagaimana cara mencuci baju sejak saya masih kelas 1 SMP. Mengajari saya cara memasak, sampai cara mengatur rumah tangga. Bapak mengajari saya bagaimana seorang suami harus bertanggung jawab terhadap keluarganya. Seorang laki-laki harus jujur dan tetap rendah hati. Seorang laki-laki tidak akan pernah menyakiti istri dan anaknya. Selama saya bisa mengingat, memang, tak pernah sekalipun saya melihat Bapak menyakiti mama apalagi secara fisik. Saat saya kelewat nakal pun, Bapak tak pernah memukul atau menampar saya. Beliau adalah orang paling sabar yang pernah saya kenal. Lelaki yang sangat mencintai istrinya. Lelaki yang selalu ada saat istrinya membutuhkannya. Saat Mama sakit, Bapak lah yang merawatnya. Saat Mama terdiagnosa Jantung, Bapak lah yang setia menemaninya. Bahkan Bapak rela tidak bekerja sebulan hanya untuk menemani Mama yang baru saja pulih dari sakitnya. Hingga Malaikat Izrail menjemput mama pun, Bapak setia disampingnya.

Mama, adalah wanita yang paling kumuliakan. Dengan kecerewetannya, saya tumbuh menjadi seseorang yang kuat. Seorang wanita pejuang dalam hidupnya. Beliau mungkin selalu hidup dalam kesederhanaan. Tapi beliau boleh berbangga, karena memiliki suami yang luar biasa mencintai dan memperhatikannya. Hidupnya sudah kaya akan cinta dan kasih.

Hari ketika Mama berpulang ke surga, adalah hari yang membuka mataku, tentang cinta dan kasih sayang. Hari dimana untuk pertama kalinya dalam hidup, Saya menyaksikan Bapak menangis. Seorang laki-laki yang begitu tegar, harus jatuh dalam uraian air mata ketika belahan jiwanya harus pergi.

Terima kasih Ma, who I am would be without you. Thank you for everything. Akan kujaga Bapak untukmu.

Maha Suci Allah ditangan Nya kekuasaan atas segala sesuatu, dan hanya kepada Nya lah kita kembali.

Mom and 45 days Me

 

 

Hikmah Kecil Dibalik Mogok di Tengah Tol

Kita tidak pernah tahu kapan sebuah keinginan itu menjadi sebuah kenyataan. Dan kadang kenyataan itu terwujud dengan cara yang tidak diduga-duga.

Seperti yang terjadi pada saya hari Sabtu kemarin. Ceritanya saya dan Arya, rekan satu kantor yang juga sahabat diluar kantor, berencana ke Malang sepulang kerja. Tujuan kami sedikit berbeda, saya sih memang sudah hampir 3 minggu ga pulang kampung halaman di Malang, sedang Arya harus mengontrol warung kecilnya di Landungsari, PASCO.

Berangkat dari Perak, Surabaya jam 12 siang. Saat itu kami sudah ditunggu orang tua Arya dan adiknya. Dan juga sebuah mobil kijang Nusa keluaran tahun 1993. kami mampir dulu kesana sini sebelum akhirnya masuk tol sekitar jam 13.30 WIB. Awalnya perjalanan kami lancar jaya. Namun begitu mendekati kawasan menanggal, tiba-tiba Arya kehilangan kendali atas mobil itu, ga bisa di gas. Dengan sigap dia langsung berusaha meminggirkan mobil. Namun karena posisi mobil berada di tengah, susah bagi kami untuk menuju bahu jalan, mengingat lalu lintas tol yang ramai dan dipenuhi truk-truk besar. Akhirnya dia menghentikan mobil di tengah tol, persis disamping pembatas jalan. Mobil mogok.

Setelah memeriksa mesin, karburator, dan radiator, kami belum bisa menyimpulkan penyebab mogoknya mobil itu. Siang semakin terik, panasnya gilaaa… mana mobil ini ga ada AC nya. Lalu daripada semakin tidak jelas, saya segera menghubungi jasa derek yang ada di tol. Googling dulu tentunya.

Tak lama kemudian, sebuah mobil patrol datang menghampiri mobil kami. Seorang petugas datang dan menanyakan apa yang terjadi. Seorang petugas lain memasang tanda peringatan ada mobil macet. Tampaknya petugas ini yang rutin melakukan patrol di jalan tol. Bukan dari jasa Derek yg saya hubungi. Arya menyuruh saya untuk tetap di dalam mobil. Sedan dia dan petugas tersebut berdiskusi. Tak lama kemudian, Arya memasang sebuah tali di bagian depan mobil kijang kami sementara mobil patrol pindah ke depan kami. Saya sempat berpikir kok jadi mobil ini yang menderek. Pake tali pula.

Namun tidak sampai 5 menit, kemudian dari belakang kami datanglah sebuah mobil Derek yang sesungguhnya. Kedua petugas patroli tersebut segera memberi ruang untuk mobil Derek tersebut. Lalu mereka menghilang begitu saja. Belakangan saya tahu dari Arya bahwa mereka sengaja “menawarkan” jasa menarik mobil kami. Tentu dengan biaya khusus. Untungnya mobil Derek resmi segera datang.

Setelah peralatan Derek dipasang, kami dibawa keluar dari jalan tol, untunglah tempat mobil kami mogok tidak jauh dari jalan keluar, yaitu masuk daerah menanggal. Kami dibawa persis di depan Masjid Nasional Al Akbar Surabaya. Biaya untuk menderek mobil kami? Hanya Rp. 100.000,-. Sebenarnya sih itu adalah ucapan terima kasih kami karena sudah dibantu.

Alhamdulillah, dari tengah jalan raya yang panas membara itu kami di bawa ke depan Masjid Al Akbar yang di sekelilingnya banyak pohon, sehingga kami bisa berteduh.

Arya dan bapaknya masih mencoba mencari tahu penyebab mogok. Ibu menduga karena bensin habis. Bapak ngotot bahwa dia beli bensin cukup untuk perjalanan dari Lamongan – Surabaya – Malang.

Saat turun dari mobil entah kenapa perasaan saya langsung senang sekali. Terlepas dari teriknya hari itu. Perhatian saya tertuju bangunan megah yang ada di depan kami. Masjid Al Akbar itu.

Ketika pertama kali saya datang ke Surabaya untuk bekerja dulu, saya sempat diajak oleh seorang teman untuk makan sop buah di pasar kaget yang ada di samping masjid itu. Namun karena saat itu kami datang pada malam hari, masjid sudah ditutup. Sejak saat itu saya menyimpan keinginan untuk bisa sholat di masjid yang dari luar tampak begitu megah, dengan halaman luas dan rindang yang mengelilinginya. Kejadian itu sekitar 1,5 tahun yang lalu.

Sebenarnya saya cukup sering melewati Masjid itu secara dekat. Kalo saya akan berenang di Deltasari Sport Center di Sidoarjo, saya selalu numpang mobil kantor yang membawa staff kantor yg rumahnya di Sidoarjo. Dan mobil itu selalu melewati depan masjid Al Akbar. Sayangnya saya tidak pernah mampir kesitu. Nah, baru siang itulah saya bisa berdiri di depan masjid tersebut.

Dan pas banget, ga lama setelah kami berhenti di depan masjid itu, Azan Ashar berkumandang. Awalnya saya sedih karena saya hanya memakai celana pendek dan tidak membawa celana panjang. Syukur Alhamdulillah Ibunya Arya membawa sarung. Betapa semangatnya saya, karena akhirnya, saya akan sholat di Masjid itu. Dan tanpa pikir panjang saya segera masuk masijd itu.

Subhanallah, masjid ini memang indah. Bangunannya begitu megah, langit-langitnya tinggi menjulang. Kubahnya tampak luar biasa dari dalam. Diameternya besar, sehingga saya merasa kecil. Belum lagi ornament yang menghiasi dinding kubah tersebut. Space nya begitu luas. Masjid Nasional Al Akbar Surabaya (MAS) ini didirikan diatas tanah seluas 11,2 hektar, memiliki luas bangunan 28.509 m2 dengan kapasitas 59 .000 jamaah. Saat itu waktu sholat ashar, yang sholat cukup banyak karena hingga 3 shaf. Karena ruangannya yang luas, langit-langit yang tinggi, jadi suasana di dalam masjid terasa sejuk dan teduh. Padahal diluar sinar matahari menyengat tanpa ampun.

Saya tidak menyangka akhirnya, keinginan saya terpenuhi. Dengan cara yang unik kalau saya bilang. Karena itu adalah pengalaman pertama saya naik mobil yang lalu mogok di tengah tol, pertama kalinya naik mobil yang diderek. Seolah-olah, memang mobil itu harus mogok, supaya kami diantar ke masjid Al Akbar, sehingga saya berkesempatan sholat disana untuk pertama kalinya.

Sayang, saat itu sebenarnya saya sudah memfoto beberapa bagian masjid dengan menggunakan HP, namun rupanya kartu memori HP tersebut dihilangkan keponakan saya. Termasuk foto si kijang itu. Foto dibawah ini saya ambil dari google.

Masjid Al-Akbar tampak depan

Masjid Al Akbar

Setelah sholat saya kembali ke mobil. Dan rupanya mobil sudah siap berangkat. Ternyata memang bensinnya habis, sesuai dengan dugaan Ibu. Hahahah.. maka sepanjang perjalanan Bapak pun digojlokin gara-gara ngotot beli bensin cukup.

Perjalanan kami menuju Malang berlanjut lancar meski Arya harus ekstra hati-hati dalam menangani mobil antiknya itu. Kami sempat berhenti sejenak di gempol untuk menikmati lontong kupang yang enak di sebuah warung sederhana yang tidak ada namanya. Pemandangan dari warung itu langsung menghadap gunung Arjuno yang berdiri kokoh di sebelah barat sana. Dengan cuaca yang cerah sore itu, gunung Arjono tampak jelas tiap lekuk tubuhnya.

Total perjalanan kami 6 jam dari Surabaya menuju Malang. Rekor baru. Karena terjebak macet di Singosari hingga Karanglo. Walaupun saya rutin pulang pergi Malang – Surabaya, tapi dengan bis berAC yang tinggal duduk manis dan nyaman. Jarang – jarang naik mobil pribadi. Dan yang bersama kijang itu, saya punya sesuatu untuk dikenang.

Jasa Derek tol di Surabaya : 031 – 5624444

Untuk informasi lebih lengkap tentang masjid Al Akbar Surabaya, anda bisa kunjungi www.masjidalakbar.com

 

THE BROTHERHOOD

Kalo menceritakan diary di kota Medan akan sangat panjang.  Selama ini saya mengangkat medan lewat kekayaan wisata kulinernya. Memang tulisan ini dibuat sebagai pengganti kupasan pengalaman saya mencicipi makanan-makanan. Secara saat ini budget untuk itu sedang teralokasikan untuk kegiatan kerja tambahan, jadi wisata kuliner hanya dilakukan jika: 1. Dapat traktiran gratis, atau 2. Ada rejeki tak terduga.

Ya, kalau dipikirkan memang pada awalnya saya datang ke Medan karena dikirim oleh Bapak TD membantu operasional hotel Sinabung Berastagi, Hotel miliknya, di bidang sales and marketingnya. Pada awalnya niat saya hanyalah lepas dari Akademi Simprug.

Tak ada saudara sama sekali di Medan, tak ada persiapan sama sekali. Tak ada satu pun teman. Tapi Saya yakin semua itu tidak akan jadi masalah. Saya mempunyai kemampuan bisa beradaptasi dengan cepat dan bisa masuk ke semua area. Jadi itu lah yang menjadi modal saya. Dan benar, tidak butuh waktu lama bagi saya untuk bisa mengenal orang-orang di kantor Medan, dan orang – orang hotel di Berastagi. Dan tentu saja, teman-teman baru di FB dan Manjam. Pada awalnya mencari teman-teman sesame gay tidak mudah. Rata-rata maunya ngesex aja, malas banget nanggepinnya. Saya ga mau munafik, having fun pernah. Tapi saya masih tahu batasan.

Untungnya saudara-saudara “kiriman” dari Jakarta datang silih berganti, anak-anak TD juga. Selain mas Wahyu yang memang sudah disitu mendahului saya, lalu datanglah Mas Imam. Saya ingat ketika mas Imam datang, posisinya sebagai General Manager harus diuji dengan kasus yang saya buat tentang salah harga dalam penawaran paket untuk BII Medan.

Bulan selanjutnya datanglah Ilham. Selama sebulan saya, Mas Imam (GM loh) dan Ilham sebagai Financial Controller tinggal di sebuah kos kecil dengan harga Rp. 600.000,-/bulan. Kos yang atapnya dari seng, sebagian dindingnya juga dari seng dan triplek. Bertempat di lantai 4. Kalo siang hari panasnya luar binasa. Malam hari pun masih terasa panasnya kota Medan itu. Kalau hujan, pasti air bergenangan dimana-mana. Tempat tidur berupa bunk bed (bertingkat). Saya tidur di kasur tersendiri. Mas Imam dibawah, Ilham di bed atasnya. Tetangga kami pun demikian nasibnya. Malah mereka sekamar bisa berempat. Dan mereka bukan teman atau apa. Di kos itu yg disewakan adalah per tempat tidur, bukan per kamar. Kamar mandinya? Pelindungnya dari seng yang bagian atasnya terbuka, bahkan orang cukup tinggi seperti saya dan Ilham bisa melongok keluar melihat pemandangan atap-atap rumah dan SUN plaza, air mengalir dari kran yang ditampung bak plastic. Kalo pagi antrian pasti rame. Oh ya, tangga dari depan pintu menuju lantai 3 bagi anda yang jantungnya lemah mendingan jangan naik, karena cukup curam.

Setelah mas Imam menikah, Aku dan Ilham tinggal berdua dalam satu kamar kos baru. Lokasinya ga jauh dari kosan lama. Dapetnya dicariin OB kantor kami. Nama daerahnya Kampung kubur, tapi lebih terkenal kampung Kelingnya. Dijuluki kampung keeling karena banyak orang “keling”, para keturunan orang-orang india.

Berdua dengan Buaya (Demikian biasa saya memanggil Ilham) di kosan itu cukup membuat saya nyaman. Saya menyayanginya selayaknya saudara kandung saya sendiri. Selama bersama Ilham, saya nyaris ga pernah kepikiran untuk mencari pacar. Bukan kenapa-kenapa, malas aja. Sudah punya satu saudara dekat sudah cukup. Hal yang paling tak terlupakan bersama Buaya adalah ketika tiba bulan ramadhan. Setiap hari kami sahur dan buka puasa bareng. Dia pernah bolong sih. Kalau ga dia ya saya yang berangkat saat waktu sahur keluar mencari nasi padang. Ya, nyaris selama sebulan itu kami makan nasi padang terus.

Pernah satu hari saat pulang kerja, kami menuju depan gang mencari makanan untuk buka puasa. Saat ramadhan, depan gang Taruma di kampung keeling itu menjadi pasar kaget yang menjual aneka makanan, takjil, dan minuman pelepas dahaga dan lapar setelah seharian berpuasa. Rupanya kami kehujanan, deras banget malah. Di langit, petir menyambar-nyambar. Suara Guntur memecah keheningan langit.

Saat itulah saya baru tahu bahwa Buaya, dengan badan sebagus itu, ternyata takut suara Guntur… hahahahaha… maka kami sempat tertahan di depan teras toko-toko sepanjang jalan. Walau pada akhirnya, kami lari dengan kencang menerobos hujan agar segera tiba di rumah, karena Azan maghrib telah usai beberapa menit lalu. ALhasil kami basah kuyup, tapi untunglah makanan kami aman.

Sayangnya, karena factor konflik kecil dengan bapak TD, Buaya memutuskan untuk keluar dan pergi ke Jakarta. Saat itulah saya merasa kehilangan satu sosok saudara yang sangat saya sayangi. Bahkan saat sehari sebelum kepergiannya, ketika Dia berpamitan dengan orang-orang hotel, saya memilih untuk bersembunyi di mushola. Saya tidak siap harus berpisah dengannya. Dia mencoba menelpon saya berkali-kali tapi tidak saya angkat. Sampai akhirnya dia menyerah. Saat itulah saya sms dia, dan dia membalasnya (Sampai sekarang sms itu masih ada)

Setelah dia pergi, belakangan saya diberitahu bahwa dia sempat mencari saya kemana-mana di hotel. Maka semalaman saya susah tidur karena bayangan bahwa kami akan berpisah, dan entah kapan kami akan bertemu lagi. Lalu keesokan harinya, saya ajak Aji, saudara dari Surabaya, turun ke Medan jam 5 pagi untuk mengejar pesawat Buaya. Untunglah, masih sempat. Dan Buaya masih di kosan bersama Putu Sindhu. Saya pun bertemu dengannya…. Dan ikut mengantar ke Bandara…

Tapi itu bukanlah perpisahan saya dengan Buaya, karena saya juga sempat menghadiri acara pernikahannya di Bogor bersama Evi. Dan moment itu juga sudah pernah saya tulis.

Bala bantuan dari Jakarta tetap datang, berturut-turut datanglah saudara-saudara yang lain,Awan dari Klaten membantu Putu Sindhu yang berasal dari Tabanan, Bali. Toyib dari Padang, mengurusi housekeeping. Randa dari payakumbuh menjaga konter Resepsionis, Angga dari Semarang jadi waiter, Ardhi dari Jakarta, awalnya dia ditempatkan di housekeeping, namun tak lama kemudian dipindah ke Front Office, dan yang terakhir adalah Rahmat dan Rian sebagai kitchen staff.

Di Hotel Sinabung yang berlokasi di berastagi itu, kami tinggal dalam satu tempat yang kami sebut mess. Setiap orang mendapat kamarnya masing-masing. Dulu, ketika  hanya saya, mas Imam, Mas Wahyu dan Buaya, hanya dua kamar yg dibuka dari 8 kamar. Saya sekamar dengan Buaya, Mas Wahyu dengan Mas Imam. Sejak mas Imam menikah. Dia dan Istrinya, kak Ira, tinggal di kamar hotel.

Namun sejak kepergian buaya dan Mas Wahyu, semuanya juga ikut berubah.

Untunglah saudara2  baru itu datang meramaikan hari-hari saya. BEnar-benar seru dan banyak hal kami luangkan watu bersama. Berendam bareng di Air Panas Sidebu-debu. Acara Ultah Randa, Nyemplung di kolam jam 12 malam yang mana airnya dingin luar biasa.

Warung bakso favorit kami adalah Bakso Pakdhe yang berada di bunderan Tugu Brastagi, Depan POM Bensin. Disitu juga menyediakan mie ayam yang enak sekali. Atau makan lalapan burung goreng di warung “PECEL LELE”. Kalau kehabisan burung, saya suka lele atau ikan kakap nya. Kalo Toyib selalu ayam goreng. Awan sering berubah-ubah pilihan menunya. Setelah makan malam disitu, kadang kami mampir ke depan bank Mandiri. Di depan bank itu ada penjual durian local. Harganya mulai dari Rp. 15.000 hingga Rp. 30.000an. Walau kecil-kecil dan dagingnya ga banyak, tapi manisnya alami sekali.

Bahkan kami pernah makan di Omlandia restaurant, restoran bergaya Belanda dengan menu-menu khas Belanda. Restaurant yang cukup terkenal ini padahal lokasinya ada di Namorambe, Medan. Jadi anak-anak turun dari Brastagi ke Medan. Lalu pernah kami makan malam di Sushi Tei ber tujuh.

Setiap saudara memiliki karakternya masing-masing. Jadi banyak yang membuat kisahnya masing-masing. Aji dengan gaya slengekannya. Randa dan Rian yang tidak pernah akur tapi sebenarnya itu hanya becandaan aja. Rahmat dan toyib yang cuek. Lalu Awan yang terlalu haluuuuuuuus  jadi orang. Ardhi orangnya manja dan paling pintar bikin masalah. Hampir setiap minggu dia menciptakan masalah. Putu Sindhu orangnya pintar, sayang sekali Bapak TD menyia-nyiakan bakatnya itu.

Sebagai saudara tertua kedua setelah Mas Imam, sering saya sebagai tempat pelarian adik-adik saya itu. Tempat curhat, tempat berbagi, teman main game Monster Galaxy di facebook, haha. Dan beberapa kali saya yang maju untuk membela mereka. Dengan sabar mendengar cerita mereka, keluhan mereka, kadang juga harus ikut terlibat dalam masalah mereka. Terutama si pembuat masalah itu.. hahaha. Sungguh, terlepas dari itu semua, memiliki mereka saat itu sangat membuat saya bahagia.

Tak lama setelah kepergian Buaya,  Putu Sindhu dan Aji dipindah ke Batam, ada hotel baru yang baru saja diambil alih oleh Bapak TD. Namun itu tak bertahan lama, Putu Sindhu memutuskan untuk hengkang dari klan TD. Disusul Aji.

Beberapa bulan kemudian, Ardhi dan Rahmat dipindah ke Bandungan, yang ternyata juga tidak bertahan lama. Lalu Angga menyusul, awalnya dia ingin dipindah ke Semarang atas kemauannya sendiri, ntah kenapa dia keluar juga. Keluarnya Rian sedikit miris, karena sebenarnya dia masih ingin kembali lagi ke Sinabung, tapi berhubung dia tidak memiliki biaya untuk beli tiket pesawat, ditambah mas Imam yang tidak lagi bersedia menerimanya, maka dengan terpaksa kami harus merelakan dia tetap di Jakarta. Walaupun kami sudah berusaha mencarikan tiket untuknya, tapi kami bukanlah pengambil keputusan.

Maka persaudaraan kami pun terceraikan oleh kondisi. Sayang, dulu mess begitu ramai, kini sepi. Hanya ada Awan, Toyib, Randa dan Saya. Dan sekali lagi, persaudaraan kami harus terpisahkan oleh keputusan saya meninggalkan Sinabung, meninggalkan Medan.

Seperti yang pernah saya tulis sebelumnya, Setelah 2 tahun di Medan, Ardhi menyebut saya sebagai kuncen  dari Jakarta, tidak mudah meninggalkan semuanya begitu saja. Saya masih merasa bersalah pada Awan karena meninggalkannya, tapi saya percaya dia sudah siap untuk menjadi kuat.

Walaupun begitu, Sekali kami bersaudara, maka selamanya kami bersaudara. Walau tak lagi menyandang nama TD, ikatan kami tak akan bisa dipisahkan. Walaupun terpisah oleh jarak dan waktu, Kami selamanya akan tetap menjadi saudara.

Saudara-saudara saya di Medan, bukan hanya anak-anak angkat TD, tapi juga yang awalnya teman, lalu karena keakraban kami, dan kedekatan kami. Maka kami entah bagaimana sejarahnya, kami mengikat tali persaudaraan.

Menjadi saudara walau tidak sedarah tidak perlu ada upacara khusus seperti membuat luka di jari, lalu darah diteteskan ke dalam mangkuk berisi air, kemudian setiap orang meminum air yang telah bercampur darah dari setiap orang itu. Bukan seperti di cerita film-film kung fu itu…

Mereka ini adalah adik-adik saya yang lain. Sebenarnya, malah sebelum adik-adik dari TD datang, saya sudah mempunyai seseorang yang saya anggap adik. Dia adalah Dicky Marpaung. Bisa dibilang, dialah orang pertama yang saya anggap saudara di Medan. Sayangnya waktu itu dia masih SMA di daerah yang namanya Rantau Prapat (dan sayangnya lagi saya belum sempat kesana) Hingga akhirnya dia yang datang ke Medan untuk kuliah. Kami bertemu di Medan. Kami jarang bertemu, karena kesibukan masing-masing. Tapi komunikasi tetap kami jaga. Adik yang satu ini kalo ga mau menahan dirinya, bisa-bisa melebihi kenakalan saya.. hahahahaa.. Dicky memiliki kemampuan untuk menulis, hanya saja jarang dia tampilkan. Naluri sastra nya ada, Cuma perlu semakin diasah aja.

Lalu ada Arif Muhammad, yang rupanya juga cukup “nakal”.. hahahaha…  Adik yang satu ini awalnya jarang komunikasi. Kalopun bicara lewat sms saja. Baru setelah saya pegang BB, komunikasi kami nyaris setiap hari. Dia yang selalu menyapa di pagi hari (kadang-kadang saya curi start nyapa duluan) dan dia lah yang selama saya pegang BB, paling sering berbagi cerita tentang kisah cintanya, halah… beberapa kali jalan bareng. Karena dia, saya dan Odi sempat foto-fotoan di area Merdeka Walk. Sayang, seharusnya masih ada sesi pemotretan bagian kedua, tapi saya keburu pergi….

Odi… saudara yang sangat luar biasa. Pemegang slempang Miss Persahabatan selama beberapa periode. Lulusan Dr. Mansyur (Daerah kampus USU yang banyak mahasiswanya, dan juga banyak sekong), pengalaman dan cerita-cerita kocaknya selalu menggelitik. Gayanya komikal dan ekspresinya  ga dibuat-buat. Berada di dekatnya selalu ada saja hal untuk dibicarakan. Cerita-cerita lucunya menggelitik. Dia adalah penghilang stress yang luar biasa. Bahkan ketika dia sendiri stress pun, dia masih mampu membuat orang tertawa. Hebatnya lagi, punya akses kemana-mana, informan dimana-mana.

Saya mengenalnya secara kebetulan. Waktu itu adik saya Ardhi barusan jadian sama Ade. Acaranya diadakan di Pizza hut MW, tanpa saya duga, ternyata Ade mengundang Odi dan satu lagi temannya, namanya juga Ardi. Bermula dari situ kami mulai rajin berkomunikasi, dan jalan bareng. Hingga akhirnya, saya memilih dia sebagai pengganti saya dalam posisi sales Hotel SInabung. Maka, bergabunglah dia dalam keluarga TD.

Di Medan, saya lebih dikenal dengan nama Nico Robin, sesuai dengan nama FB saya. Arif sering bercanda tentang saudara-saudara dalam keluarga besar Nico Robin. Dan entah kenapa, nama Nico Robin itu punya arti tersendiri bagi saya. Selain karena saya suka komik One Piece dimana Nico Robin adalah salah satu karakter utamanya, Nico Robin adalah semacam perwujudan diri saya setelah bertahun-tahun ditempa oleh pengalaman-pengalaman kehidupan. Ia bukanlah alter ego saya.

Dan walaupun sekarang saya terpisah dari adik-adik itu, tapi itu tidak akan mengubah kenyataan bahwa saya bangga menjadi kakak/abang mereka. Mereka adalah salah satu harta saya yang paling berharga (Kata Gollum dalam The Lord of the Rings ;  “ My Precious “).