Kalo menceritakan diary di kota Medan akan sangat panjang. Selama ini saya mengangkat medan lewat kekayaan wisata kulinernya. Memang tulisan ini dibuat sebagai pengganti kupasan pengalaman saya mencicipi makanan-makanan. Secara saat ini budget untuk itu sedang teralokasikan untuk kegiatan kerja tambahan, jadi wisata kuliner hanya dilakukan jika: 1. Dapat traktiran gratis, atau 2. Ada rejeki tak terduga.
Ya, kalau dipikirkan memang pada awalnya saya datang ke Medan karena dikirim oleh Bapak TD membantu operasional hotel Sinabung Berastagi, Hotel miliknya, di bidang sales and marketingnya. Pada awalnya niat saya hanyalah lepas dari Akademi Simprug.
Tak ada saudara sama sekali di Medan, tak ada persiapan sama sekali. Tak ada satu pun teman. Tapi Saya yakin semua itu tidak akan jadi masalah. Saya mempunyai kemampuan bisa beradaptasi dengan cepat dan bisa masuk ke semua area. Jadi itu lah yang menjadi modal saya. Dan benar, tidak butuh waktu lama bagi saya untuk bisa mengenal orang-orang di kantor Medan, dan orang – orang hotel di Berastagi. Dan tentu saja, teman-teman baru di FB dan Manjam. Pada awalnya mencari teman-teman sesame gay tidak mudah. Rata-rata maunya ngesex aja, malas banget nanggepinnya. Saya ga mau munafik, having fun pernah. Tapi saya masih tahu batasan.
Untungnya saudara-saudara “kiriman” dari Jakarta datang silih berganti, anak-anak TD juga. Selain mas Wahyu yang memang sudah disitu mendahului saya, lalu datanglah Mas Imam. Saya ingat ketika mas Imam datang, posisinya sebagai General Manager harus diuji dengan kasus yang saya buat tentang salah harga dalam penawaran paket untuk BII Medan.
Bulan selanjutnya datanglah Ilham. Selama sebulan saya, Mas Imam (GM loh) dan Ilham sebagai Financial Controller tinggal di sebuah kos kecil dengan harga Rp. 600.000,-/bulan. Kos yang atapnya dari seng, sebagian dindingnya juga dari seng dan triplek. Bertempat di lantai 4. Kalo siang hari panasnya luar binasa. Malam hari pun masih terasa panasnya kota Medan itu. Kalau hujan, pasti air bergenangan dimana-mana. Tempat tidur berupa bunk bed (bertingkat). Saya tidur di kasur tersendiri. Mas Imam dibawah, Ilham di bed atasnya. Tetangga kami pun demikian nasibnya. Malah mereka sekamar bisa berempat. Dan mereka bukan teman atau apa. Di kos itu yg disewakan adalah per tempat tidur, bukan per kamar. Kamar mandinya? Pelindungnya dari seng yang bagian atasnya terbuka, bahkan orang cukup tinggi seperti saya dan Ilham bisa melongok keluar melihat pemandangan atap-atap rumah dan SUN plaza, air mengalir dari kran yang ditampung bak plastic. Kalo pagi antrian pasti rame. Oh ya, tangga dari depan pintu menuju lantai 3 bagi anda yang jantungnya lemah mendingan jangan naik, karena cukup curam.
Setelah mas Imam menikah, Aku dan Ilham tinggal berdua dalam satu kamar kos baru. Lokasinya ga jauh dari kosan lama. Dapetnya dicariin OB kantor kami. Nama daerahnya Kampung kubur, tapi lebih terkenal kampung Kelingnya. Dijuluki kampung keeling karena banyak orang “keling”, para keturunan orang-orang india.
Berdua dengan Buaya (Demikian biasa saya memanggil Ilham) di kosan itu cukup membuat saya nyaman. Saya menyayanginya selayaknya saudara kandung saya sendiri. Selama bersama Ilham, saya nyaris ga pernah kepikiran untuk mencari pacar. Bukan kenapa-kenapa, malas aja. Sudah punya satu saudara dekat sudah cukup. Hal yang paling tak terlupakan bersama Buaya adalah ketika tiba bulan ramadhan. Setiap hari kami sahur dan buka puasa bareng. Dia pernah bolong sih. Kalau ga dia ya saya yang berangkat saat waktu sahur keluar mencari nasi padang. Ya, nyaris selama sebulan itu kami makan nasi padang terus.
Pernah satu hari saat pulang kerja, kami menuju depan gang mencari makanan untuk buka puasa. Saat ramadhan, depan gang Taruma di kampung keeling itu menjadi pasar kaget yang menjual aneka makanan, takjil, dan minuman pelepas dahaga dan lapar setelah seharian berpuasa. Rupanya kami kehujanan, deras banget malah. Di langit, petir menyambar-nyambar. Suara Guntur memecah keheningan langit.
Saat itulah saya baru tahu bahwa Buaya, dengan badan sebagus itu, ternyata takut suara Guntur… hahahahaha… maka kami sempat tertahan di depan teras toko-toko sepanjang jalan. Walau pada akhirnya, kami lari dengan kencang menerobos hujan agar segera tiba di rumah, karena Azan maghrib telah usai beberapa menit lalu. ALhasil kami basah kuyup, tapi untunglah makanan kami aman.
Sayangnya, karena factor konflik kecil dengan bapak TD, Buaya memutuskan untuk keluar dan pergi ke Jakarta. Saat itulah saya merasa kehilangan satu sosok saudara yang sangat saya sayangi. Bahkan saat sehari sebelum kepergiannya, ketika Dia berpamitan dengan orang-orang hotel, saya memilih untuk bersembunyi di mushola. Saya tidak siap harus berpisah dengannya. Dia mencoba menelpon saya berkali-kali tapi tidak saya angkat. Sampai akhirnya dia menyerah. Saat itulah saya sms dia, dan dia membalasnya (Sampai sekarang sms itu masih ada)
Setelah dia pergi, belakangan saya diberitahu bahwa dia sempat mencari saya kemana-mana di hotel. Maka semalaman saya susah tidur karena bayangan bahwa kami akan berpisah, dan entah kapan kami akan bertemu lagi. Lalu keesokan harinya, saya ajak Aji, saudara dari Surabaya, turun ke Medan jam 5 pagi untuk mengejar pesawat Buaya. Untunglah, masih sempat. Dan Buaya masih di kosan bersama Putu Sindhu. Saya pun bertemu dengannya…. Dan ikut mengantar ke Bandara…
Tapi itu bukanlah perpisahan saya dengan Buaya, karena saya juga sempat menghadiri acara pernikahannya di Bogor bersama Evi. Dan moment itu juga sudah pernah saya tulis.
Bala bantuan dari Jakarta tetap datang, berturut-turut datanglah saudara-saudara yang lain,Awan dari Klaten membantu Putu Sindhu yang berasal dari Tabanan, Bali. Toyib dari Padang, mengurusi housekeeping. Randa dari payakumbuh menjaga konter Resepsionis, Angga dari Semarang jadi waiter, Ardhi dari Jakarta, awalnya dia ditempatkan di housekeeping, namun tak lama kemudian dipindah ke Front Office, dan yang terakhir adalah Rahmat dan Rian sebagai kitchen staff.
Di Hotel Sinabung yang berlokasi di berastagi itu, kami tinggal dalam satu tempat yang kami sebut mess. Setiap orang mendapat kamarnya masing-masing. Dulu, ketika hanya saya, mas Imam, Mas Wahyu dan Buaya, hanya dua kamar yg dibuka dari 8 kamar. Saya sekamar dengan Buaya, Mas Wahyu dengan Mas Imam. Sejak mas Imam menikah. Dia dan Istrinya, kak Ira, tinggal di kamar hotel.
Namun sejak kepergian buaya dan Mas Wahyu, semuanya juga ikut berubah.
Untunglah saudara2 baru itu datang meramaikan hari-hari saya. BEnar-benar seru dan banyak hal kami luangkan watu bersama. Berendam bareng di Air Panas Sidebu-debu. Acara Ultah Randa, Nyemplung di kolam jam 12 malam yang mana airnya dingin luar biasa.
Warung bakso favorit kami adalah Bakso Pakdhe yang berada di bunderan Tugu Brastagi, Depan POM Bensin. Disitu juga menyediakan mie ayam yang enak sekali. Atau makan lalapan burung goreng di warung “PECEL LELE”. Kalau kehabisan burung, saya suka lele atau ikan kakap nya. Kalo Toyib selalu ayam goreng. Awan sering berubah-ubah pilihan menunya. Setelah makan malam disitu, kadang kami mampir ke depan bank Mandiri. Di depan bank itu ada penjual durian local. Harganya mulai dari Rp. 15.000 hingga Rp. 30.000an. Walau kecil-kecil dan dagingnya ga banyak, tapi manisnya alami sekali.
Bahkan kami pernah makan di Omlandia restaurant, restoran bergaya Belanda dengan menu-menu khas Belanda. Restaurant yang cukup terkenal ini padahal lokasinya ada di Namorambe, Medan. Jadi anak-anak turun dari Brastagi ke Medan. Lalu pernah kami makan malam di Sushi Tei ber tujuh.
Setiap saudara memiliki karakternya masing-masing. Jadi banyak yang membuat kisahnya masing-masing. Aji dengan gaya slengekannya. Randa dan Rian yang tidak pernah akur tapi sebenarnya itu hanya becandaan aja. Rahmat dan toyib yang cuek. Lalu Awan yang terlalu haluuuuuuuus jadi orang. Ardhi orangnya manja dan paling pintar bikin masalah. Hampir setiap minggu dia menciptakan masalah. Putu Sindhu orangnya pintar, sayang sekali Bapak TD menyia-nyiakan bakatnya itu.
Sebagai saudara tertua kedua setelah Mas Imam, sering saya sebagai tempat pelarian adik-adik saya itu. Tempat curhat, tempat berbagi, teman main game Monster Galaxy di facebook, haha. Dan beberapa kali saya yang maju untuk membela mereka. Dengan sabar mendengar cerita mereka, keluhan mereka, kadang juga harus ikut terlibat dalam masalah mereka. Terutama si pembuat masalah itu.. hahaha. Sungguh, terlepas dari itu semua, memiliki mereka saat itu sangat membuat saya bahagia.
Tak lama setelah kepergian Buaya, Putu Sindhu dan Aji dipindah ke Batam, ada hotel baru yang baru saja diambil alih oleh Bapak TD. Namun itu tak bertahan lama, Putu Sindhu memutuskan untuk hengkang dari klan TD. Disusul Aji.
Beberapa bulan kemudian, Ardhi dan Rahmat dipindah ke Bandungan, yang ternyata juga tidak bertahan lama. Lalu Angga menyusul, awalnya dia ingin dipindah ke Semarang atas kemauannya sendiri, ntah kenapa dia keluar juga. Keluarnya Rian sedikit miris, karena sebenarnya dia masih ingin kembali lagi ke Sinabung, tapi berhubung dia tidak memiliki biaya untuk beli tiket pesawat, ditambah mas Imam yang tidak lagi bersedia menerimanya, maka dengan terpaksa kami harus merelakan dia tetap di Jakarta. Walaupun kami sudah berusaha mencarikan tiket untuknya, tapi kami bukanlah pengambil keputusan.
Maka persaudaraan kami pun terceraikan oleh kondisi. Sayang, dulu mess begitu ramai, kini sepi. Hanya ada Awan, Toyib, Randa dan Saya. Dan sekali lagi, persaudaraan kami harus terpisahkan oleh keputusan saya meninggalkan Sinabung, meninggalkan Medan.
Seperti yang pernah saya tulis sebelumnya, Setelah 2 tahun di Medan, Ardhi menyebut saya sebagai kuncen dari Jakarta, tidak mudah meninggalkan semuanya begitu saja. Saya masih merasa bersalah pada Awan karena meninggalkannya, tapi saya percaya dia sudah siap untuk menjadi kuat.
Walaupun begitu, Sekali kami bersaudara, maka selamanya kami bersaudara. Walau tak lagi menyandang nama TD, ikatan kami tak akan bisa dipisahkan. Walaupun terpisah oleh jarak dan waktu, Kami selamanya akan tetap menjadi saudara.
Saudara-saudara saya di Medan, bukan hanya anak-anak angkat TD, tapi juga yang awalnya teman, lalu karena keakraban kami, dan kedekatan kami. Maka kami entah bagaimana sejarahnya, kami mengikat tali persaudaraan.
Menjadi saudara walau tidak sedarah tidak perlu ada upacara khusus seperti membuat luka di jari, lalu darah diteteskan ke dalam mangkuk berisi air, kemudian setiap orang meminum air yang telah bercampur darah dari setiap orang itu. Bukan seperti di cerita film-film kung fu itu…
Mereka ini adalah adik-adik saya yang lain. Sebenarnya, malah sebelum adik-adik dari TD datang, saya sudah mempunyai seseorang yang saya anggap adik. Dia adalah Dicky Marpaung. Bisa dibilang, dialah orang pertama yang saya anggap saudara di Medan. Sayangnya waktu itu dia masih SMA di daerah yang namanya Rantau Prapat (dan sayangnya lagi saya belum sempat kesana) Hingga akhirnya dia yang datang ke Medan untuk kuliah. Kami bertemu di Medan. Kami jarang bertemu, karena kesibukan masing-masing. Tapi komunikasi tetap kami jaga. Adik yang satu ini kalo ga mau menahan dirinya, bisa-bisa melebihi kenakalan saya.. hahahahaa.. Dicky memiliki kemampuan untuk menulis, hanya saja jarang dia tampilkan. Naluri sastra nya ada, Cuma perlu semakin diasah aja.
Lalu ada Arif Muhammad, yang rupanya juga cukup “nakal”.. hahahaha… Adik yang satu ini awalnya jarang komunikasi. Kalopun bicara lewat sms saja. Baru setelah saya pegang BB, komunikasi kami nyaris setiap hari. Dia yang selalu menyapa di pagi hari (kadang-kadang saya curi start nyapa duluan) dan dia lah yang selama saya pegang BB, paling sering berbagi cerita tentang kisah cintanya, halah… beberapa kali jalan bareng. Karena dia, saya dan Odi sempat foto-fotoan di area Merdeka Walk. Sayang, seharusnya masih ada sesi pemotretan bagian kedua, tapi saya keburu pergi….
Odi… saudara yang sangat luar biasa. Pemegang slempang Miss Persahabatan selama beberapa periode. Lulusan Dr. Mansyur (Daerah kampus USU yang banyak mahasiswanya, dan juga banyak sekong), pengalaman dan cerita-cerita kocaknya selalu menggelitik. Gayanya komikal dan ekspresinya ga dibuat-buat. Berada di dekatnya selalu ada saja hal untuk dibicarakan. Cerita-cerita lucunya menggelitik. Dia adalah penghilang stress yang luar biasa. Bahkan ketika dia sendiri stress pun, dia masih mampu membuat orang tertawa. Hebatnya lagi, punya akses kemana-mana, informan dimana-mana.
Saya mengenalnya secara kebetulan. Waktu itu adik saya Ardhi barusan jadian sama Ade. Acaranya diadakan di Pizza hut MW, tanpa saya duga, ternyata Ade mengundang Odi dan satu lagi temannya, namanya juga Ardi. Bermula dari situ kami mulai rajin berkomunikasi, dan jalan bareng. Hingga akhirnya, saya memilih dia sebagai pengganti saya dalam posisi sales Hotel SInabung. Maka, bergabunglah dia dalam keluarga TD.
Di Medan, saya lebih dikenal dengan nama Nico Robin, sesuai dengan nama FB saya. Arif sering bercanda tentang saudara-saudara dalam keluarga besar Nico Robin. Dan entah kenapa, nama Nico Robin itu punya arti tersendiri bagi saya. Selain karena saya suka komik One Piece dimana Nico Robin adalah salah satu karakter utamanya, Nico Robin adalah semacam perwujudan diri saya setelah bertahun-tahun ditempa oleh pengalaman-pengalaman kehidupan. Ia bukanlah alter ego saya.
Dan walaupun sekarang saya terpisah dari adik-adik itu, tapi itu tidak akan mengubah kenyataan bahwa saya bangga menjadi kakak/abang mereka. Mereka adalah salah satu harta saya yang paling berharga (Kata Gollum dalam The Lord of the Rings ; “ My Precious “).