30 Hari Di Jakarta

30 hari di Ibu Kota

Hanya 30 hari saya tinggal di Jakarta.

Setelah keluar dari Slavyanka, saya sempat pulang ke Malang namun tidak lama. Sekitar 5 hari saja. Karena setelah itu saya  harus terbang ke Jakarta. Ya, terbang. Penerbangan pertama saya. Seumur-umur, tak terlintas sedikitpun bahwa saya akan benar-benar naik pesawat. Memang, impian saya adalah berkeliling dunia. Tapi ntah bagaimana, seolah-olah penerbangan pertama itu membuat saya semakin berani untuk bermimpi. Bagaimana bisa mewujudkan mimpi itu, itu urusan belakangan. Yang penting mimpi itu dulu.

Pesawat pertama saya adalah Batavia Air, saya ke bandara berangkat sendirian. Hanya bermodal info dari teguh tentang bagaimana proses check in, saya dengan penuh percaya diri memasuki Bandara Juanda Surabaya.

Tiba di Jakarta sekitar jam 10 pagi. Menurut Pak TD (Orang yang mengangkat saya sebagai anaknya dan mengajaknya bergabung untuk bekerja bersamanya di Jakarta), nanti saya akan dijemput oleh Mas Nuryanto. Saya pikir dijemput dari Bandara trus diantar ke kantornya yang ada di Midplaza. Ternyata hanya dijemput untuk diberitahu bagaimana caranya ke Jakarta Pusat. Mas Nur adalah chief concierge Hotel Jakarta Airport yang terletak di Terminal 2E. Saya sempat diajak ke Jakarta Airport Hotel untuk diajak nongkrong sebentar. Lalu saya diarahkan naik bis Damri jurusan blok M.

Untunglah di bis itu saya berkenalan dengan mbak Della namanya, mahasiswi jurusan Psikologi UI. Karena dia saya jadi tahu dimana harus turun nantinya.

Hmmmm, siapa menyangka saya akan menginjakkan kaki di Ibu kota Negara Republik Indonesia tercinta ini. Benar-benar tak bisa dipercaya karena saya sendiri tidak pernah berpikir sedikitpun akan berada disini. Gedung-gedung tinggi yang biasanya hanya dilihat di TV, bisa saya lihat secara langsung. Bahkan kantor tempat saya bekerja nanti, Midplaza Sudirman lantai 8, adalah kawasan bisnis di Jakarta. Sepanjang jalan, kanan kiri adalah gedung-gedung perkantoran, hotel, yang menjulang tinggi-tinggi. Hebat ya, manusia bisa membangun hal seperti itu….

Di Midplaza, sudah menunggu rekan-rekan lain yang kelak akan menjadi saudara2 saya juga. Hari pertama itu ada Awan, Angga, Arwan, Dono dan Putu Adhi.

Awan dan Angga di training di Jakarta Airport sebelum dikirim ke Bandungan, Semarang.  Dono, saya dan Arwan tinggal di rumah Bapak TD. Putu Adhi sudah “punya” rumah di kawasan BSD.

Mendengar asset bapak TD  yang banyak sekali, saya membayangkan akan tinggal di rumah yang besar dengan pembantu yang siap melayani. Apalagi rumahnya di kawasan Simprug Golf, yang dulu merupakan kawasan mahal. Tapi eh tapi, rupanya saya salah besar, rumahnya memang besar, tapi kok dari luar saya merasa sebuah kurungan. Pintu pagar digembok, lalu masih ada pintu teralis. Rumahnya terkesan suram.

Ada dua pembantu laki-laki asal jawa barat yang mungkin mereka itu tidak lulus sekolah. Masih sangat muda sekali.

Tempat tidur saya di lantai 2 bagian belakang rumah. Memang ada ac nya, tapi ac jadul yang berisiknya luar biasa. Saat itulah saya merasa kecewa yang cukup dalam karena tidak seperti yang saya bayangkan. Saya berpikir, kalau saya diangkat anak, kenapa kamar tidur saya ada dibagian belakang, bersebelahan dengan kamar pembantu. Bukan bermaksud menuntut. Tapi apakah orang Jakarta begini ceritanya kalau mengangkat anak.

Dimulailah “penderitaan” kecil saya.

Bangun pagi sebelum jam 5. Karena sebelum jam 6 sudah harus siap berangkat ke MidPlaza. Pulang dari Midplaza jam 5, tanpa macet jam 6 sampai rumah. Kalau Bapak masih mau lanjut kerja kami pindah ke apartemen Cityloft (punya bapak juga), mulai jam 5 sore lanjut kerja, biasanya sampai malam sekitar jam 8. Baru pulang ke rumah. Nyaris begitu tiap hari. Wih, benar-benar merasakan kerasnya kerja di Jakarta. Berangkat pagi banget karena menghindari macet. Padahal sampai di Midplaza juga baru jam 6.30 atau jam 7 pagi!! Dan kami sudah wajib kerja jam segitu. Ntah apalah yang kami kerjakan. Saya dan Arwan masih terhitung baru jadi belajar sama-sama.

Kalau Bapak TD pergi keluar kota, saya dan Arwan tidak mendapat fasilitas naik mobil rumah. FYI, mobilnya ada 2 innova, dan 1 swift. Saya dan Arwan harus berjalan kaki sekitar 400 meter dari simprug ke depan Ratu Plaza, melewati Senayan city dan SCTV tower. Naik kopaja.  Kadang pulangnya naik busway.

Kadang kalau sedang disuruh sales call keluar, kami berdua door to door dari satu kantor ke kantor lainnya dalam satu gedung perkantoran. Pernah juga diusir oleh security sebuah Gedung perkantoran karena kami masuk tanpa ijin. Kalau terlalu capek dan malas, kami malah ke warnet atau jalan-jalan di Plaza Semanggi.

Seingat saya, 3 kali saya ke Puncak untuk menemani Bapak TD mengecek hotel kecilnya di daerah Cipanas. Nama hotel itu, yang juga saya coba jual, adalah Berlian Resort. Namun susah sekali laku karena lokasinya yang terlalu jauh dari keramaian. Jadi hanya mengandalkan kegiatan grup saja. Hmm… jadi pernah ke Puncak….

Pengalaman paling bikin mengelus dada adalah ke Puncak bersama keluarga besar bapak TD. Bersama Ibu J (istri pak TD) pak IS (anak kedua pak TD) Ibu Mau (istri pak IS) dan ketiga anaknya.

Kenapa? Ibu J adalah seorang yang sangat dominan di keluarga itu. Dengan gaya hidup sangat hemat sangat bertentangan dengan Ibu Mau. Sama-sama orang kaya, tapi bedanya jauh sekali. Perbedaan yang paling mencolok adalah tentang makanan.

Di Puncak, Ibu J yang mengatur semua tentang menu. Makan malam hari itu adalah nasi goreng, karena tidak habis pada malam itu, maka sisanya dibuat sarapan pagi keesokan harinya. Lalu ada sayur asem yang dibuat di Jakarta, dibawa ke Puncak. Entahlah sayur itu usianya berapa lama. Padahal tinggal kuahnya saja, tapi masih disimpan oleh beliau. Huft… mungkin karena bosan makan nasi goreng terus, maka makan siang kami pindah ke restoran yang ada di kota. Menu yang dipesan pak IS dan Bu Mau lumayan banyak. kontras dengan konsep sederhana Ibu J.

Ibu J selalu membanggakan bahwa cucu-cucunya sangat menyayangi dia, dan bangga jika diajak jalan-jalan ke Puncak. Hellooooo, anak-anak kecil itu loh bilang langsung ke saya bahwa mereka kalo liburan bersama orang tua ibu Mau, minimal ke Aussie atau New Zealand.

Itu yang di Puncak. Dalam waktu 30 hari saya di rumah itu, nyaris setiap hari kami makan ala kadarnya. Heran, padahal dengan harta segitu banyak. Yang mungkin ga habis sampai tujuh turunan, menu makanan sangat terlalu sederhana banget (menghaluskan kata pelit)

Kadang-kadang kami tidak sempat sarapan pagi. Malam hari kalo ga makan pake telur ya tempe, atau nasi goreng (Dengan bumbu bawang putih dan bawang merah, plus garam, itu saja tidak ada pelengkap yang lain). Kadang saya dan Arwan yang udah bosan makan itu-itu aja, beli ayam goreng agar sedikit berprotein. Bersama bapak TD pun demikian, Di cityloft, apartemen mahal tapi sinyal hp segan hidup dan  mati, makanan yang tersedia pun bikin ngilu hati. Ada sekaleng abon, daging sapi yang di freezer (kata Arwan daging itu umurnya sudah sebulan) lalu sambel yang juga sudah sebulan. OMG!! Jadi mau ga mau, makan malam kadang hanya beli nasi di warung Rp.10.000 untuk bertiga dan lauknya adalah abon sapi saja. Di kulkas rumah, isinya penuh sekali dengan bahan makanan. Baik yang kalengan maupun yang sudah matang. Ada sambel botol yang sudah kadaluarsa, ada makanan sisa entah tahun berapa yang masih bertengger disitu. Pokoknya, semua itu tidak boleh dibuang karena semuanya milik Ibu.

Yang lucu, ketika jalan bareng sama Bapak TD berdua, saya pernah makan di Solaria City Walk Sudirman bersama beliau. Saya pikir, wah, lumayan nih. Eeeeh, ternyata hanya pesan 2 teh tawar dan seporsi nasi goreng. Nasi  goreng seporsi itu tadi dibagi jadi 2. Oh Tuhaaaaan… di rumah saya di malang saja, ga pernah itu terjadi. Sesederhananya Ibu saya memasak, tempe penyet dan sayur bayam, tapi disajikan dalam porsi yang wajar. Saya mau makan berapa kalipun terserah, apalagi dimasak dengan hati yang tulus seorang Ibu. Ibu saya pernah berkata, kalau untuk makanan bagi diri kita sendiri, jangan pelit.

Pengalaman paling menohok bagi saya ketika acara Network yang diadakan di Le Meridien. Acara yang dihadiri para petinggi perusahaan setiap sebulan sekali dalam rangka ajang gayengnya para Top eksekutif. Yang mengundang adalah bapak TD melalui TD Networknya. Menu yang disajikan luar biasa….. Pilihannya banyak sekali.  Ada Sate, Ayam bumbu, Daging rendang, 3 macam sayuran, Ikan, Udang goreng,  Kue-kue, Pudding, aneka macam buah, Sup, Mie goreng, tea dan kopi. Budgetnya saya tidak tahu, tapi dengan menu yang sangat bervariasi itu, pasti lebih dari Rp. 200.000,-/pax. Acara dimulai jam 12 siang dengan ramah tamah terlebih dahulu. Baru setelah itu ada acara talk show ringan tentang bisnis di dalam ruang meeting.

Saat acara talk show itulah, saya dan Arwan baru bisa makan. Makanan yang disajikan sangat melimpah hingga masih banyak sisa. Saya sempat berpikir bahwa sayang sekali makanan sebanyak ini dipesan kalau pada akhirnya ga habis, tapi ya sudahlah, namanya juga orang kaya. Tapi…. Ternyata meleset. Dengan perintah Ibu,yang ternyata selalu datang dalam acara Network, kami wajib membungkus makanan-makanan yang tersisa di semua serving dish yang ada diatas meja prasmanan itu. Bahkan Puding yang masih utuh dalam mangkuk besar itu harus kami bungkus. Hancurlah pudding yang cantik jelita itu. Semua makanan tanpa terkecuali harus dibungkus. Lalu dibawa ke dalam mobil. Memang, itu adalah hak kami sebagai pembeli. Tapi kok ya sedikit aneh aja, apakah harus semua makanan sisa itu dibawa pulang. Sebagai orang yang pernah bekerja sebagai waiter, hal seperti itu bagi saya sedikit aneh. Karena di rumah juga siapa yang akan makan sebanyak itu. Semuanya masakan jadi. Yang kalaupun bertahan hanya satu hari. Saya sudah kenal betul Ibu tidak akan membagi makanan-makanan itu. Dan benar sesuai perkiraan saya, semua makanan itu masuk ke kulkas yang sudah tidak ada lagi ruang kosong sebenarnya. Niatnya mungkin supaya tidak mubazir atau sayang membuang makanan ketika diluar banyak orang kelaparan. Tapi jatuhnya jadi pelit kikir.  Saya bahkan curiga, kata Arwan, Ibu J selalu datang dalam acara Network, yang selalu diadakan di hotel-hotel berbintang 5 di Jakarta, adalah untuk mengemasi makanan-makanan yang selalu sisa banyak untuk dimasukkan ke kulkas keramatnya. Entah apakah hal itu masih ia lakukan.

Hiburan selama di Jakarta hanyalah jalan-jalan sama Arwan di Plaza Semanggi dan Blok M. dan satu lagi, pertemuan saya dengan Chi***, Satu-satunya lelaki di Jakarta yang saya temui. Waktu itu hari Sabtu atau Minggu gitu. Pokoknya hari libur, dan bapak tidak ada kegiatan. Maka saya beralasan akan menemui seorang teman. Saya menemui Chi*** di Plaza Semanggi. Dari situ kami kekosnya di UKI, cawang. Hingga hari menjadi gelap.

Beberapa hari setelah itu, Bapak mengabari bahwa saya harus mempersiapkan diri untuk ke Medan, karena saya akan ditempatkan di Medan untuk menjual satu lagi Hotel disana. Sinabung resort Berastagi. Tanpa pikir panjang saya langsung bersedia. Bukan karena saya yakin akan kemampuan saya, bukan karena siap tinggal di Medan, tapi lebih pada bayangan bahwa saya akan segera meninggalkan rumah itu. Rumah yang kelak akan dijuluki Akademi Simprug oleh saudara-saudara lain. Dan itu berarti sebuah kebebasan.

Summary Of Bali

Siapa yang tidak mengenal Bali? Pulau paling terkenal di Indonesia akan kekayaan budayanya, atau  pantainya yang indah. Pulau para dewata.

ROPPONGI

Tak pernah saya bayangkan sebelumnya akan bekerja di Bali. Setelah sekian lama menganggur, (Saya hanya berkonsentrasi mencari pekerjaan di Malang dan Surabaya saja, tapi tak juga lolos-lolos) akhirnya seorang kenalan menawari saya bekerja di sebuah rumah makan yang akan segera dibuka di Bali. Rumah makan itu milik saudara kenalan saya itu. Singkat cerita, saya diterima dengan mudahnya di rumah makan itu. Selama 1 minggu sebelum ke Bali saya akan di training dulu di Food Court Matos Malang, yang mana rumah makan itu juga ada disitu. Nama rumah makan Jepang itu adalah ROPPONGI. Pemilik “franchise” aslinya ada di bandung. (Saya yakin dia gay juga).

Setelah satu minggu itu berangkatlah saya ke Bali bersama Romi, senior disitu. Beberapa orang yang lain lebih dahulu berangkat.  Saya ingat betul saat itu duduk di bangku paling depan bis Gunung Harta.

Roppongi terletak di jalan Teuku Umar 101, Denpasar. Tim yang bekerja disitu adalah Dany, Ello (kitchen), Saya, Lukas, dan Rini (Waiter/ss merangkap kasir, purchasing, juicer, dishwasher, dan semuanya lah). Gaji kami sebulan hanya Rp. 600.000,-. Lukas, Dany, dan Rini di beri fasilitas kos, sedang saya dan Ello bertugas jaga warung alias saya tidur di dalam. Ada satu ruang kecil untuk tidur dibagian belakang.

Karena saya dan Ello tinggal disitu juga, maka tugas kami pun extra. Yaitu bersih-bersih warung saat sebelum buka. Lebih banyak saya karena Ello pemalas.

Roppongi beroperasi mulai jam 11 siang hingga jam 11 malam. Ya, 12 jam kami bekerja….mulai buka sampai tutup. Yang mana bulan pertama disitu kami kebanjiran pelanggan. Tapi yang paling tak terlupakan adalah hari pembukaan. Tamu undangan terus berdatangan. Iya kalo pesanannya itu satu dua menu, ini yang datang satu keluarga, dengan pola makan luar biasa. Entah karena doyan makan, kebiasaan makan mirip babi, atau karena di hari pembukaan semuanya gratis, maka mereka pun pesan sebanyak-banyaknya. Mulai jam 3 sorean sampai jam 11 malam. Tak putus-putusnya tamu berdatangan. Lukas berkutat di belakang dengan pesanan minuman yang aneka ragam jenisnya. Dapur tentu pontang-panting memasak. Saya dan Rini lari kesana sini melayani tamu. Belum lagi complain karena lamanya makanan ga keluar-keluar (Padahal mereka tahu gratis) ditambah saya yang belum terlalu hapal menu yang banyak banget, maka salah memberi menu ke  meja yang tidak seharusnya. Hanya berdua, kami menghandle 10 meja yang pesanan makanannya seperti mau persiapan hibernasi. Capek banget, kaki rasanya udah mau copot. Sebagai waiter, saya udah ga peduli lagi kalo senyuman saya udah menguap habis.

Roppongi benar-benar mengalami kejayaan di bulan-bulan pertama, namun semakin lama, jumlah pengunjungnya semakin sedikit.

Bekerja di restoran yang jam kerjanya satu hari penuh itu membuat saya nyaris tidak punya kehidupan social. Bagaimana tidak, saya tinggal di dalam rumah makan itu. Bangun tidur sampai tidur lagi yang dilihat ya itu-itu saja. Kalaupun libur, tidak tahu harus kemana. Paling banter ke warnet online friendster dan facebook (yaaa, saya sudah punya facebook sejak di Bali,2007) dan terlebih lagi, dengan gaji segitu tidak banyak lah ruang gerak saya.

Walau hanya beberapa orang saja yang bekerja disitu, tapi tentu saja, beda kepala, beda sifat. Rini selalu cemburu pada saya dan Lukas, dikiranya kami ada apa-apa, padahal tidak sama sekali. Kami hanya berteman. Memang Lukas juga gay, tapi tidak lebih dari sekedar teman sharing. Ello orangnya tidak peduli dengan sekitarnya selama apa yang dia inginkan tercapai. Pada dasarnya ia baik. Dany dari Bandung adalah “pemimpin” kami, dia bukan tipe yang disegani, tapi lebih ditakuti karena temperamennya dan masa kerjanya yang lebih panjang bersama si bos. Agak besar kepala dengan kemampuan memasaknya. Pada awalnya memang dia yang memasak untuk jatah makan kami dibantu Rini. Tapi ntah kapan bermulanya, posisi itu saya ambil alih. Ya, kemudian saya yang memasak untuk makan siang dan makan malam. Dulu dia meragukan kemampuan saya memasak, tapi saya buktikan bahwa saya bisa memasak lebih banyak jenisnya daripada dia, apalagi saya juga mulai menguasai masakan JEpang.

Bekerja dengan sesama perantauan ternyata tidak mudah. Konflik datang dan pergi. Seperti hubungan saya dan Dany, kepala dapur yang bagai api dalam sekam. Beberapa kali saya terlibat konflik dengannya. Sebagian besar alasannya sebenarnya sepele. Tapi dia aja yang mudah tersinggung dan temperamen. Misalnya saja, saya pernah menegur Ello gara-gara Dany membagi-bagikan jeruk kepada teman-temannya yang berkunjung ke Roppongi, padahal jeruk itu harusnya dipakai untuk jualan. Atau saya mengecilkan suara dvd player karena sudah jam 11 malam, dan saya mau tidur, tapi dia masih ingin mendengarkan lagu-lagunya. Begitu saja, dia sudah marah-marah dengan muka merah sambil membanting-banting gelas dan piring.

Saya bisa melawan, tapi buat apa? Selalu saya yang mengalah. Bukan saya pengecut, tapi malas saja berhadapan dengan  orang bodoh seperti dia. Doyan mabuk dan makan babi, tapi begitu ramadhan datang, tiba-tiba saja menjadi sangat “relijius”, hoeeeek…

Kurang lebih hampir satu tahun saya tinggal di dalam rumah makan itu, sampai akhirnya saya memutuskan untuk nge kos. Kos pertama saya di jalan Nusa Kambangan sebenernya sangat saya sukai, selain karena sebagian biayanya ditanggung si bos, tempatnya juga strategis dan semua orang tahu daerah situ. Akses cari makan gampang, mau belanja ada supermarket di sekitar situ. Kamarnya luas dan bersih, kamar mandi dalam. Memang hanya kamar saja, tapi lumayan. Saya hanya membayar Rp. 150.000 perbulan, dari harga sewa Rp. 350.000,-/bulan.

Sayangnya, tidak lama berselang, Lukas memutuskan keluar dari Roppongi karena dia diterima bekerja di Giordano Discovery Shopping Mall, dimana dia juga akan tinggal bersama pacarnya, Odi.

Selama hampir setahun itu saya sempat bertemu dengan beberapa orang, ada yang just for fun, ada yang tidak ngapa-ngapain, dan ada yang jadi teman walau bisa dihitung dengan jari. Selama 2 tahun di Bali saya tidak pernah pacaran sekalipun.

Ada satu hal yang tidak bisa saya lupakan, waktu itu saya masih tinggal di rumah makan. Malam hari sekitar jam 11 malam ada yang ngajak saya ketemuan di Dunkin Donat simpang 6. Namanya Kevin. Kami bertemu lalu dia mengajak saya jalan ke daerah legian dan seminyak. Di daerah legian mobil terasa ngadat-ngadat. Lalu kami berhenti dipinggir jalan dan dia mengajak saya dugem. Saya tidak menyangka sama sekali bahwa kami masuk ke Q bar, klub nya para gay. Saya yang tidak pernah dugem sebelumnya, apalagi ke klub gay, merasa canggung dan tidak nyaman. Terutama saat go go dance berlaga di tiang-tiang itu, sangat tidak nyaman. Kevin bilang pada saya untuk menikmati saja. Tapi bagaimana bisa, sejauh mata memandang, semua gay. Di sebelah kiri, kanan, depan, belakang, semua laki-laki penyuka sesame jenis. Tidak hanya itu, para waria berkeliaran dimana-mana, di dalam klub, di pinggir jalan menjajakan diri. Saya memang gay, tapi pertama kali berada di tempat seperti itu aneh rasanya. Bali memang surga bagi para hedonis.

Belum lagi para bule-bule tua yang mengincar brondong-brondong muda. Atau sebaliknya, para kucing yang mengincar bule-bule untuk membawa mereka.

Selang beberapa saat, dia menerima telpon. Karena di dalam ruangan itu berisik oleh suara music, dia keluar sambil berpamitan pada saya. Dia akan menerima telpon itu diluar.

15 menit saya menunggunya di dalam klub sendirian tanpa tahu harus bagaimana, diantara para gay itu. Tiba-tiba dia sms. Bunyinya “Mobilku rusak, ini lagi kubawa ke bengkel. Kamu ada uang kan untuk pulang?”

Membaca sms itu saya langsung tergelak lemas. Saya ditipu… tanpa pikir panjang saya langsung keluar dari klub itu dan mencari ojek untuk segera pulang. Saya ingat betul, malam itu gerimis ringan. Saya balas sms itu, “terima kasih”.

***

SLAVYANKA

Sebenarnya, sejak masih di Roppongi, saya sudah aktif melamar kerja kesana-sini, interview jug asana sini, namun hasilnya kurang memuaskan. Lalu datanglah Adiv dan Nita. Teman baru yang tinggal di sanur. Mereka menawari saya untuk bekerja di Restoran tempat mereka bekerja, yaitu Slavyanka.

Sayangnya, bekerja di Slavyanka berarti saya harus menggantikan Adiv karena dia resign  dari Restoran itu karena berniat pulang kampung. Singkat cerita, saya mulai bekerja hanya 2 hari setelah lebaran tahun 2008. Pada malam takbir, Adiv mudik. Walau singkat pertemanan kami di Bali, tapi kami tahu bahwa kami akan bertemu kembali.

Pindah kerja berarti saya juga harus mencari tempat tinggal baru. Pindah dari Denpasar ke sanur tidaklah dekat. Untungnya, mencari kosan tidak sulit. Karena kamar Adiv dipakai Nita, sedang bekas kamar Nita saya sewa. Sewa kos sebulan hanya Rp. 200.000,-. Tapi, berdasarkan peraturan di Slavyanka, 3 bulan pertama bagi anak training gajinya hanya Rp. 500.000,-/bulan tanpa uang service. Ya, saya harus bertahan hidup selama sebulan dengan uang Rp. 300.000,-. FYI, jarak dari kos ke Slavyanka sekitar 600 meter.

Tempat kos saya berada di Jalan Danau Poso, Sanur. Bagi anda yang tinggal di Bali atau berhidung belang pasti tahu kawasan ini. Ya, Red Zone, alias area prostitusi. Sepanjang jalan danau Poso, jika anda melihat rumah atau bangunan dengan nomer yg belakangnya berekor x atau bisa juga xx, dipastikan menyediakan jasa layanan esek-esek.

Setiap pulang kerja jam 11 malam, sering saya jalan berdua dengan Nita. Jelas sekali aktifitas area itu. Ada satu rumah yang sering kami lalui, kalau siang hari tidak Nampak dari luar ruang tamu yang berkaca gelap itu. Tapi ketika malam tiba, tampaklah para cewek-cewek cantik duduk-duduk di sofa menunggu pelanggan. Kabar yang beredar adalah, kebanyakan cewek-ceweknya berasal dari Jawa Barat, sebagian juga berasal dari daerah jawa Timuran.

Tidak perlu jauh-jauh, Di kosan saya saja, selain saya dan Nita, semua penghuni kosnya adalah mbak-mbak penjaja seks. Ironisnya, Ibu kos tahu hal itu, tapi dia diam saja selama kegiatan prostitusi itu tidak dilakukan di dalam kamar. Jadi jika mencari laki-laki, wajib dibawa ke bungalow. Saya cukup mengenal mbak-mbak itu dengan baik. Bahkan dari mereka lah saya tahu berapa sih tariff sewa mereka. Cukup dengan Rp. 200.000,- nett anda sudah bisa mendapat pelayanan syahwat. Jangan bingung mencari tempat karena harga itu sudah paket. Jika dirinci, harga itu terdiri dari:

Sewa Bungalow        = Rp. 80.000,-

Komisi Ojek                = Rp. 20.000,- (untuk mengantar tamu dan si cewek ke bungalow, PP)

Setoran ke mami      = Rp. 50.000,-

Nett per tamu           = Rp. 50.000,-

Jadi, kalau mau mendapat uang lebih, ya harus melayani tamu lebih dari satu. Bahkan ada si mbak yang sehari pernah melayani 15 orang laki-laki dalam satu hari!!!!

Selama 3 bulan saya hidup di daerah itu. Semua penghuni kos tahu saya gay karena Adiv pun sudah dikenal sebagai gay. Entah bagaimana lah mulanya mereka tahu saya gay.

3 bulan dengan uang segitu sering saya harus puasa, hahaha. Tapi Alhamdulillah, kerja di restoran member harapan untuk mendapat tips. Dan tiap kali saya berstatus kanker, ada saja tamu yang baik hati. Malah saya ingat betul ada tamu yang member tips Rp. 100.000,-, itu adalah tips terbesar pertama saya selama bekerja sebagai waiter.

Slavyanka adalah restoran Rusia yang bertema semi fine dining. Warna mayoritasnya merah (hmmm, ngomong-ngomong soal merah…. Roppongi juga dominan merah, Slavyanka Merah, Sinabung Berastagi kaosnya juga ada yang merah, dan sekarang Prudential, merah juga….)

Kepala dapurnya adalah Dimitri atau kami biasa panggil Dima. Tukang ngerjain dan suka film porno. Umurnya sebaya dengan saya. Bosnya pak Vedanta yang cakeeeep banget. Udah punya istri dan seorang baby. Orangnya kalem dan baiiiiik banget.

Slavyanka lalu dipindah lokasinya ke daerah BDTC, Nusa Dua. Kawasan Bali collection, tempat wisata bagi para turis kaya raya. Bagaimana tidak, komplek BDTC adalah kompleknya hotel berbintang 5, sebut saja, Novotel, Ayodya, St. Regis, The Ayana, Club Med, Melia Bali dll. Bali collection sendiri sebenernya spot untuk wisata shopping dan kuliner. Disana banyak restoran-restoran yang bersaing merebut minat para turis yang sebagian besar adalah turis asing. Di akhir tahun, biasanya banyak orang Rusia berkunjung ke Nusa Dua.

Slavyanka siap bersaing dengan restoran-restoran itu. Tapi sebelumnya, kepindahan ke nusa Dua berarti saya juga harus mencari kos baru. Sebenarnya saya sudah nyaman di Sanur walau bersama mbak-mbak itu. Tapi apa mau dikata. Tidak mungkin saya kos di sanur, kerja di Nusa Dua tanpa ada kendaraan. Apa ga bunuh diri saya.

Jadi, ketika proses pindahnya Slavyanka, yang berarti kami kerja bakti persiapan restoran baru, dengan konsep yang nyaris baru.

Maka setelah sekitar hampir 1 minggu kami kerja bakti, Restoran siap bersaing. Saya ingat betul pembukaan Slavyanka pada malam natal. Tapi karena belum siap sepenuhnya, maka kami tutup lebih awal. Baru keesokan harinya, kami berjuang mati-matian melayani para tamu yang datang silih berganti. Dasar tamu-tamu kaya, mereka makan full course, mulai salad, soup, main, hingga desert, belum lagi kalau order sebotol vodka atau wine… luar biasa, selama satu bulan penuh kami bekerja, setiap malam semua meja selalu penuh. Dan nyaris tiap hari selalu ada complain. Maklum, dengan pesanan sebanyak itu, (jumlah meja ada sekitar 20) dapur sering kewalahan. Bahkan kami sering terpaksa lembur karena memang tenaga sangat dibutuhkan, padahal saat itu ada 3 anak baru juga. Untungnya lembur kami dihargai, dan dapat makan.

Interior Slavyanka Restaurant

Soal makan juga lucu, secara kerja di restoran. Makanan melimpah ruah, apalagi kalau terjadi salah order, atau tamu yang tidak menyentuh makanannya sama sekali, biasanya karena dia pesan terlalu banyak. Maka makanan yang tidak tersentuh itu pun tidak langsung ke meja dishwasher, tapi masuk lemari rahasia kami para waiter. Lagipula sudah sewajarnya waiter mengetahui rasa makanan, karena itulah yang kami jual. Sayangnya, masakan Rusia didominasi babi. Ada sih yang daging sapi dan ayam. Tapi menu babi selalu menggoda. Menu favorit saya adalah Pancake French Blame- lucu namanya, tapi enak banget, perpaduan jamur, daging sapi dan creammya.. yummy–, Venison in Cranberry sauce — Daging rusa yang di grill disajikan bersama saus cranberry– , Pan fried potato, Veal tongue in cream — Lidah sapi yang dimasak dalam cream –, Chanterelle Mushroom with sour cream — kombinasi daging sapi yang dipotong dadu denagn jamur kancing dalam hot bowl– , Bliny with Strawberry — pancake tipis yang diisi strawberry cincang dicampur dengan Baileys–. Minuman? Strawberry Roska.

Menu favorit adalah Shashlik  — Semacam satenya orang Rusia tapi porsi dagingnya tebel banget — dan Borsch soup — Soup babi yang warna merah, merah itu dibuat dari root beet –, namun karena pakai babi, ga bisa lah saya ikut menikmati.

Setiap malam, kami tutup jam 11 malam, kadang jam 12. Pulang pun ke kosan saya jalan kaki. Karena komplek perumahan warga ada diluar komplek BDTC. Sekitar 800 meteran. Dan setiap malam kaki saya kram, sakit luar biasa. Kosan baru saya di Nusa Dua ini lebarnya hanya 2,5x 2 meter. Hanya ada satu tempat tidur kecil. Benar-benar hanya untuk tidur.

Tapi rasa sakit sebulan itu terbayar ketika gajian. Gaji pokok dan uang service dirapel jadi satu, Bayangkan, kami mulai operasi penuh tanggal 25, gajian tanggal 5. Kami menerima uang service nya saja sampai 2 ,5 juta. Jumlah terbesar yang pernah saya terima selama di Bali. Dan yang pertama kali saya beli dari gaji itu adalah HAndphone Nokia 7310 Supernova yang masih saya pakai sampai sekarang. Harga HP itu Rp. 1.600.000,-. HP pertama yang saya beli dengan uang hasil kerja keras selama sebulan.

Setelah 3 bulan training dengan gaji hanya Rp. 500.000 sebulan, kini saya bisa menikmati gaji penuh plus servis. Mantep… tapi sayangnya hal itu hanya bertahan selama 3 bulan. Karena sekitar awal Januari 2009, seorang teman di Bali memperkenalkan saya pada bapaknya. Saya diajaknya ke Melia Benoa untuk melihat pertunjukan cabaret dimana disitu dia adalah penari. Namanya Teguh.

Nama bapak itu adalah TD. Pertemuan pertama sangat mengejutkan, belum sempat saya memperkenalkan nama saya, beliau langsung menodong dengan pertanyaan, “Kamu siap ga ke Jakarta?” dan saat itu juga saya menjawab siap. Saya siap meninggalkan kenyamanan yang baru saja saya dapatkan di Slavyanka demi sesuatu yang sebenarnya saya tidak tahu. Ya, Bapak itu hanya bilang bahwa saya akan berkerja bersamanya di Jakarta sebagai sales hotel miliknya. Tempat tinggal akan ditanggung, makan juga demikian. Pokoknya saya hanya harus bekerja saja.

Malam itu, Bapak TDo mengangkat saya sebagai anaknya, sama halnya seperti Teguh. Saya sempatkan diri ke warnet mencari tahu siapa itu TD. Dan memang dia cukup dikenal di dunia perekonomian di Jakarta.

Entah karena saya yang terlalu nekat atau apa. Saya benar-benar yakin dan percaya untuk ke Jakarta menemui bapak itu. Padahal saya tidak tahu berapa nanti gaji disana, tinggal dimana, kerjanya bagaimana.

Untuk itu, saya harus berpamitan pada rekan-rekan di Slavyanka. Dan pada malam itu, sekitar jam 8 malam. 2 hari sebelum nyepi, saya disiram air es, dilumuri tepung, arang dan entah apa lah… pesta kecil perpisahan kami. Tapi itu belumlah usai. Sebagai tanda terima kasih pada Slavyanka, saya bersama Kadek bertugas menjaga Slavyanka pada hari Nyepi tahun itu. Ya, untuk pertama kalinya saya merasakan Nyepi di Pulau dewata itu. Lalu keesokan harinya, saya pulang ke Malang. Meninggalkan Bali… entahlah kapan saya akan kembali kesana lagi…..

The OSPEK

Salah satu momen yang penting dalam hidup saya. Walaupun masih ada pro dan kontra tentang ospek, di kampus saya akan kuliah, STIBA MALANG. Ospek dijalankan dengan masih mengikuti beberapa”tradisi” lama. Soal kekerasan, hanya secara verbal dan itupun masih dalam batas “wajar” seperti bentak-bentakan, tidak ada kekerasan secara fisik, tidak ada hukuman fisik. Para senior kami walaupun masang wajah garang-garang, kami tahu itu hanya bagian dari sandiwara mereka.

OSPEK kami dilakukan selama seminggu penuh. Mulai jam 6 pagi teng teng sampai jam 6 sore teng teng juga. Atribut masih bisa ditolerir karena jatuhnya ga lebay. Yang cowok pake kaos kaki 3 warna, hari terntentu pake sepatu putih polos (Saya pinjem sepatu keponakan – ada garis2 pink nya, saya tutup pake pita putih yang dilem castol) hari lain pake sepatu hitam. Yang cewek rambutnya diikat pake 3 warna pita sesuai kelompok.

Kelompok saya berpita hijau, saking bangganya kami memakai ijo, kami menyebut kelompok kami geng ijo, sesuai dengan iklan rokok di TV yang anggotanya kompak selalu. Semua kelompok dikumpulkan di aula utama (seingat saya ada 300an mahasiswa baru) duduk dilantai tanpa alas. Saya duduk agak ke belakang karena nama saya berawalan huruf R.

Yang lucu adalah tugas-tugas yang diberikan sengaja dianeh-anehkan. Seperti harus membawa mata sapi berkedip, “kacang panjang”, minuman coklat yg tidak mengandung cokat dan susu, telur kembar, cakar ayam berbentuk “peace”, Roti selai dan kupu-kupu. Dua yang terakhir emang biasa aja, tapi lucu. Kami sepakat supaya bisa kompak, ketika menerima tugas membawa roti selai, kami limpahkan tugas itu pada Nani, cewek berjilbab asal Makasaar. Dia sendiri yang mengajukan diri untuk mengemban tugas itu. Intinya adalah supaya kami saling menolong mengerjakan tugas lain, seperti ; merangkum berita liputan 6 malam SCTV, hasil diskusi di metro tv, dsb. (Saya kebagian mengerjakan merangkum liputan 6 malam SCTV bersama 5 orang lainnya)

Keesokan harinya, ketika jam 6 pagi kami dikumpulkan di gerbang, sebelum masuk ke aula, kami dicek dulu, mengumpulkan tugas-tugas. Disitu kami secara sembunyi-sembunyi saling membagi rotinya. OMG… kami pikir rotinya itu yang seperti Sari Roti 5000an itu, (Saat itu roti biasa yang ga bermerek ukuran bulet seperti Sari Roti harganya Cuma seribu) ternyata adalah roti tawar yang kotak2 itu, selembar roti dipotong jadi 4, trus diberi selai, satu bagian potongan tadi buat lapisannya, ala sandwich gitu. Trus dibungkus plastic gula yg seperempat kiloan itu. Apa ga kecut kami melihatnya…  secara satu lembar roti jadi 2 “sandwich” , masing-masing orang dapat 1 lagi!! bah, daripada ga bawa sama sekali.

Tibalah jam makan pagi, sekitar jam 8 seingat saya. Kami disuruh mengangkat tinggi-tinggi roti kami. Dan jreng, kami satu kelompok yang berjumlah 40 orang kompak sama rata semuanya. Kontan semua tatapan mata tertuju pada kami, saat yang lain bawa roti ukuran normal, bahkan ada yang jumbo, roti kami lebih mirip sandwich mini atau roti unyil.

Maka kami pun sekelompok semuanya dihukum berdiri di depan aula selama makan pagi itu. Alasan kami dihukum adalah, kompak sih boleh aja, tapi harus logis, untuk sarapan roti sekali telan gitu mana cukup sampai jam 1 siang nanti??? Mana minumnya hanya aqua gelas sebiji. Ga boleh bawa lebih.

Sejak itu sih tepatnya kami dijuluki ijo… kayaknya itu hari ke dua deh…

Lalu soal kupu-kupu, tugas di hari pertama ospek, selain tetek bengek yang lain. Kami diwajibkan membawa sepasang kupu-kupu tanpa merusak habitatnya. Hmm… sehari sebelumnya saya ajak bapak saya ke sawah untuk mencari kupu-kupu, dan Alhamdulillah gampang nangkapnya.

Hari pertama ospek… kami masih diperbolehkan membawa tas asli, bukan karung beras. Saya masukkan sepasang kupu-kupu tadi ke dalam plastic dan saya masukkan tas bersama tugas2 yang lain. Yaitu, membawa Koran bekas, 1 siung bawang putih, dan makanan untuk sarapan dan makan siang. Saya sempat lihat beberapa anak membawa kantong plastic berisi kupu-kupu hidup juga. Sementara di kelompok saya, kok malah ga ada yang bawa. Saya pun bertanya, “mana kupu-kupu kalian?” lalu seorang mengeluarkan dari sakunya, dua buah kupu-kupu kertas.

Oh My Gay…. Mampuslah aku, jadi itu maksudnya membawa kupu-kupu tanpa merusak habitatnya.. wah, alamat kena hukuman nih. Maka sepanjang acara materi ospek, saya tetap simpan kedua kupu-kupu saya di dalam tas. Saat pembekalan materi, saya tidak mendengarkan karena sibuk membuat kupu-kupu kertas seadanya. Satu betina dan satu jantan. Untuk membedakannya cukup saya beri lambang sex laki-laki dan wanita. Alhamdulillah, saat pengumpulan tugas kupu-kupu itu saya terbebas dari hukuman senior… Beberapa teman saya yang tahu hal itu hanya tertawa saja. Saat istirahat siang,.. “terbanglah wahai kupu-kupu, maaf aku mengurungmu semalaman dalam kantong plastic….”

Puncak dari acara Ospek adalah malam inaugurasi. Setiap kelompok, yang rupanya nanti juga akan menjadi teman-teman saya satu kelas selama 3 tahun lebih ke depan, wajib menampilkan sebuah persembahan pada acara penutupan. Acara itu akan diselenggarakan mulai jam 7 malam di hari terakhir, Sabtu. Jika Senin sampai Jumat kami dibebani dengan tugas-tugas yang menguras tenaga dan pikiran, maka pada hari Sabtu kami dibebaskan membawa bekal makanan terserah kami dan tak ada tugas satupun, namun kami diwajibkan focus pada apa yang akan kami sajikan di acara penutupan.

Maka, acara pun dimulai dari kelompok jurusan bahasa Perancis. Mereka menampilkan sebuah aksi teatrikal kolaborasi music dan koreografi gerak tubuh. Saya lupa apa lagu temanya, tapi saya ingat ada unsur kupu-kupunya. Kelompok lain rata-rata hanya menampilkan band. Kelompok Mandarin I menampilkan tari Bali, lalu ada yang pembacaan puisi.

Kelompok Ijo berencana menampilkan band juga, namun disertai sebuah pertunjukkan fashion show.

Setelah persiapan singkat backstage, band kelompok ijo mulai memainkan alat music, namun sesuai scenario, si Intan, the vocalist, ga nyanyi-nyanyi… saat itu lah kami muncul mengagetkan penonton dengan fashion show kami. Bukan sembarang fashion show… Busana nya bukan karya perancang terkenal, bukan.. tapi baju kebaya, daster, baju tidur. Dan yang tampil semuanya adalah para anggota kelompok laki-laki, termasuk aku. Saya kebagian mengenakan baju petani perempuan, pake kemeja yang jelek dan kain batik yang disarungkan kepinggang (OMG!!) supaya ga malu, saya pakai cadar biar orang-orang susah mengenaliku. Bagus memakai daster mamanya, badannya yg bongsor dengan daster xxxl aja udah bisa bikin ketawa. Yoseph yg dari Kupang mengenakan kebaya juga, lalu ada catur, satu-satunya cewek yang berani tampil, memakai baby doll, dan si emon, ketua kelompok kami, memakai handuk saja yang dililitkan melingkari pinggangnya, itu aja. Oh ya, asesorisnya adalah sikat gigi lengkap dengan odolnya, ya.. di atas catwalk dia menyikat giginya!!

Aksi di catwalk yang spontan dan tanpa scenario membuat penonton terkejut dan tertawa. Di akhir lagu, saat kami take a bow, saya ingat mendengar suara tepuk tangan yang ramai. Yes.. sukses!! Bahkan seorang senior bilang kalo pertunjukkan kami yang ala kadarnya itu paling seru. Sayangnya ga ada penghargaan untuk pertunjukkan terbaik, karena saya yakin pasti kelompok kami meraihnya.

Bagi teman-teman yang saat itu ga ikut ospek bener-bener rugi, karena melalui itulah, awal pertemanan kami dibangun. Awal dari banyak kisah yang akan kami lalui bersama. Ya, satu geng ijo itu. Lucunya, setelah resmi menyandang status mahasiswa, saya bersahabat baik dengan seorang teman bernama Fransisca Andriani, namun selama ospek, saya tidak pernah tahu yang namanya Fransisca. Padahal dia tahu saya betul. Mungkin karena dia duduknya didepan sesuai abjad kali ya, jadi saya kurang menghapal temen-teman satu kelompok yang duduk di depan. Bayangkan, kelompok ijo ada 40 orang, tapi duduknya dibuat berbaris dua dua kebelakang. Nama saya berawalan R.

Sampai sekarang, Fransisca yang biasa dipanggil Aan atau Anthung, tetap dan akan selalu menjadi sahabat saya. Dia lah yang pertama tahu saya gay, teman curhat saya, teman jalan, main, dsb. Juga teman satu kelompok mengerjakan tugas-tugas. Di akhir kuliah, dia lulus sebagai wisudawati terbaik, IPK nya dengan saya hanya selisih 0.02. hadeeeeh….

Tentu saja bukan hanya Aan yang menjadi sahabat, ada yang lain kok….

Pacar Pertama

Ya, walaupun saat ini saya sudah semi terbuka sebagai Gay, dulu ketika saya masih duduk di bangku SMA, saya pernah juga loh pacaran dengan cewek. Dan saat itu benar-benar suka dalam arti secara seksual. Bahkan sejak SD pun saya sudah naksir beberapa temen cewek. Namun karena jaman itu kami masih anak-anak, tentu saja belum berani pacaran.
Saya sekolah di SMK Tumapel Malang jurusan Perhotelan. Cerita cinta saya bermula kelas 2. Adalah seorang adik kelas bernama C.E yang menarik perhatian saya. Setelah melalui proses pdkt selama 2 minggu, saya putuskan untuk nembak dia di deket kantin!! Hahahahaha.. dan jawabannya adalah “Maaf mas, aku sudah nganggep mas seperti mas ku sendiri. Aku ga bisa.”
Tak lama kemudian saya menerima kenyataan bahwa dia jadian sama anak UNMER. Ketika kelas tiga dia pacaran sama temen dari kelas sebelah yang sebenernya, maaf, tidak lebih baik dari saya.
Awal-awal kelas 3 saya tertarik pada seorang cewek kelas satu. Dia masih saudaraan sama temen sekelas saya. Namanya E. Hanya seminggu setelah kenalan, saya beranikan diri nembak dia. Pulang sekolah saya samperin dia, dan langsung nembak. Rasanya masih ingat banget, deg degan di dada dan keringat dingin yang mengucur deras. Dibandingkan saat nembak C.E, nembak E lebih deg degan, baru kali itu saya merasakan gimana beratnya ngomong kata “suka”. Sayangnya dia ga bisa langsung jawab, dia minta saya datang ke rumahnya nanti malam.
Dan saya pun harus dengan segenap mental menuju rumahnya malam itu. Sialnya, ditengah jalan ujan deres. Mana ga bawa pyung lagi… maka berbasah-basahlah saya. Tiba dirumahnya, saya disambut cukup baik. Setelah disuguhi segelas the manis panas. Barulah percakapan kami dimulai. Intinya, dia menolak saya sebagai pacarnya.
Dan mengingat sudah kelas 3, tentunya persiapan untuk ujian kelulusan adalah prioritas. Memasuki 4 bulan terakhir sekolah. Barulah saya mulai memperhatikan seorang adik kelas 1. Namanya SFD. Awalnya saya biasa aja sama dia. Dia memang cantik, tinggi, senyumnya berlesung pipi, putih, rambutnya lurus panjang. Disukai beberapa orang pun saat itu. Teman sekelas saya aja ada 2 orang yang menyukainya. Ditambah saya.
Saya ingat “persaingan” diantara cowok2 yang berusaha merebut perhatiannya. Saya sadar diri, temen sekelas saya yang juga menyukai SFD adalah cowok terpopuler di sekolah itu. Jadi saya cukup menyukai saja. Belum lagi di kelas 2 dan 1 ada juga yang ngejar-ngejar SFD.
Ga tahu bagaimana mulai ceritanya, waktu itu kebetulan saya pulang bareng dia satu mikrolet. Rencananya saya mau jalan-jalan ke alun-alun kota beli apa gitu, lupa saya. Nah, rupanya dia minta ikut. Saya sih daripada sendirian mending ada temen, si SFD lagi. Cukup lama kami jalan2 dari satu department store ke department store yang lain. Hingga saat sore tiba, dia ngajak saya pulang mampir ke rumahnya. Dan saya pun dengan polosnya menjawab “iya”.
Saya ingat betul dirumahnya, oleh kakaknya dibuatin indomie rebus… hahaha
Lalu, entah dari mana datangnya, saya mulai mendekatinya secara sembunyi-sembunyi. Terhitung 3 kali kami jalan bareng. Dan akhirnya, saya beranikan diri nembak dia, di depan mushola yang ga jauh dari sekolah kami…. Sungguh, saya begitu bahagia saat dia menjawab “iya, mas”
Sebagai tanda jadian, saya memberinya sebuah kotak music. Lagunya… Fur Elis Beethoven.. hahaha
Begitulah, selama dua bulan kami jalan backstreet. Hanya teman-teman terdekat saya saja yang tahu. Saya tidak ikut bersaing, tapi saya yang mendapatkannya. Hahaha
Dia sempat saya kenalin ke ibu saya loh…
Tapi yah, emang hanya bertahan dua bulan. Alasan kesibukan saya mempersiapkan ujian dan tentu saja, kelulusan saya membuat kami harus mengakhiri hubungan itu. Sebenarnya bisa aja kami lanjut, tapi saya yang ga punya modal sama sekali malas melanjutkan hubungan kami. Walau sebenernya masih sayang sama dia. Sampai semester pertama kuliah saya masih sering nelpon dia.
Terakhir mendengar kabarnya ketika saya di Bali, dia menikah dengan seorang anggota TNI, dan diboyong ke Makassar.

Awan’s Birthday

3o Maret 2011

Adalah hari ultah adikku, Agung Setiawan (Awan). Kami menyiapkan sebuah kejutan kecil di hari spesialnya itu.

Saya dan Bu Santi, manajer saya, sengaja berangkat dari Medan ke Berastagi, hanya untuk mengejutkan Awan. Rencananya, mereka akan makan siang di Warung si Ndut, di Berastagi. Dan Kami berdua menyusul kesana tanpa sepengetahuan Awan. Sekalian merayakan ultah, sekalian pula berwisata kuliner, hahahaha

Warung si Ndut ada di depan hotel Horizon (Dulunya Rudang), pas disamping Bukit Kubu Hotel. sebuah warung baru yang dikelola pasangan suami istri, yang cewek dulu kerja di Hotel Sinabung kami.

Menunya masih standar warung-warung, Masih berputar di Nasi Goreng, Mie Goreng, Ayam Goreng, Tumis Kangkung, Bihun, Kwetiau.. hanya saja memang pengemasannya agak berbeda. Sebut saja menu-menu seperti Nasi Goreng Setan yang pedes, atau Kwetiau Kerang (nggak nyicipin). Secara keseluruhan rasanya lumayan. Yang enak Sapi Lada Hitamnya, TOP.

Bagi saya yang biasa makan sedikit, porsi di warung itu cukup banyak, padahal harganya murah. Rata-rata masih Rp. 10.000 – Rp. 12.000. Terjangkau dan mengenyangkan.

Untuk tempat makannya, anda bisa memilih lesehan, duduk di dalam atau di terasnya. Dengan suasana Berastagi sebagai lokasi wisata (dekat bukit kubu dan Horizon), pemilihan tempatnya cukup strategis.

Yap, satu lagi pendatang baru di Berastagi yang bisa diperhitungkan ketika anda jalan-jalan atau sekedar berkunjung.

Oh ya, karena acara itu adalah ultah si Awan, maka dia lah yang bayar, hahahaha….

Soal acara ultah itu sendiri, seru!!! walau ada insiden kue yang rusak, namun masih bisa buat foto-fotoan… ^_^

Happee Birthday adikku, semoga dengan bertambahnya usia, bertambah pula segala hal baik dalam hidup.

The cake

The Wedding

Untuk kesekian kalinya, saya merasa kecewa melakukan perjalanan. Perjalanan ke Jakarta untuk menghadiri pernikahan Ilham, saudara yang pernah ngekos bareng di Medan, yang sangat saya sayangi.

Berangkat dengan penuh excitement, kebahagiaan, dan deg degan karena akan berkumpul dengan saudara2 di Jakarta, dan pastinya, ketemu Ilham. Bahkan bener2 modal nekat, tanpa perencanaan yang matang, ga bikin agenda apa2. Yang penting berangkat dan reunion. Soal ntar di Jakarta mau ngapain, itu terserah saudara2 disana mau ngapain. Pokoknya yang penting, saya menghadiri acara paling penting dalam hidup Ilham, pernikahannya dengan Evi. Saya harus berangkat karena momen ini tidak mungkin akan diulang lagi. Dan Alhamdulillah, waktunya juga pas banget, akad nikah dan resepsi diadakan hari minggu. Hari Sabtunya berangkat ke Bogor, karena itulah saya ambil libur hari Sabtu. Terbang ke Jakarta hari Jumat ambil penerbangan malam.

Tiba di Cengkareng Jumat jam 8.30 malam. Rencananya, saya dijemput “keluarga” kecil di Jakarta, yaitu Mas Nur, Ilham, Dany, dan Arwan. Arwan adalah rekan sekaligus saudara ketika saya menginjakkan kaki di Jakarta, pernah sekamar dengannya selama sebulan sebelum saya dimutasi ke Medan. Dany dulu pernah jemput ketika saya jalan2 di Batam. Mas Nur adalah orang yang jemput saya di Cengkareng pada hari pertama saya tiba di Jakarta. Nggak tahu siapa yang o’on, udah jelas2 saya info ke mereka, perkiraan tiba pesawat Lion Air jam 8.30 malam. Dan sudah diumumkan (Ada spanduk gedenya di terminal 1) bahwa Lion Air tujuan Jakarta Sumatera itu dari terminal 1B, baik keberangkatan maupun kedatangan. Lah kok mereka nunggu saya di terminal KEBERANGKATAN 1B. Sampai langit runtuh pun ga akan ketemu. Alhasil, kami telpon2an saling mencari sejenak sampai bertemu dengan mereka. Sungguh reuni yang ditunggu-tunggu. Karena ada banyak hal yang ingin saya bicarakan dengan Arwan.

Awalnya, bayangan saya karena sudah malam, ya sudah, kita makan malam terus istirahat di kosan. Ternyata tidak demikian agenda mereka. Dengan menaiki sedan Toyota apa itu (punya mas Nur), kami meluncur ke Inul Vista Tangerang, tapi berhubung sudah tutup (Heran, baru jam 10 Inul Vista udah tutup???) maka kami menuju tempat karaoke yang lain. Nama tempat itu adalah FM7, lokasinya saya lupa. Ntar aja kalo udah inget saya edit. Tempat karaoke itu jadi satu dengan hotel dengan nama yang sama. Masuk ke Lobinya semua tampak biasa aja, saat melewati koridor, tiba2 dari arah belakang seorang perempuan ga jelas merangkulku sok kenal, hanya sebentar karena dia dipanggil masuk ke sebuah KTV. Kami masuk ke sebuah ruangan yang cukup luas, ada kamar mandi dalamnya lagi. Saya menebak ini ruangan pasti VIP. Kata Arwan, mereka sudah langganan disini. Ini yang kedua bagi Arwan. Bagi mereka bertiga, kunjungan kali ini adalah yang ke 10!!!! Berhubung udah kelaperan, saya memesan Mie goring dan Awan pesan Sate. Minum? The manis saja. Maka, dimulailah unjuk kemampuan bernyanyi mereka. Saya tidak mau karena selain capek, males, emang ga bisa nyanyi. Koar2 aja ga jelas juga males. Eh, Mie Gorengnya enak loh… bumbunya pas banget, serasi dengan lidah saya yang doyan mie goreng. Nah, saat menikmati makan malam yang sedap itu, tiba2 seorang Ibu masuk ke ruangan kami tanpa mengetuk pintu. Posisi meja makan dekat dengan pintu masuk, jadi spontan saya terkejut. Lebih terkejut lagi karena dibelakang ibu tadi, barisan perempuan2 muda ikut masuk ke dalam KTV kami. Ada sekitar 10 perempuan muda dan cantik2 berjajar di depan kami. Saat itulah saya langsung ngeh, tempat seperti apa yang kami kunjungi ini. Ketiga laki2 itu memilih pasangan mereka masing2. Saya dan Arwan yang dianggap masih ABG, ga diberi hak untuk memilih, haaahahahaa, secara yang bayar juga mereka. Anyway, who’s gonna be lesbian? No way…

Ilham memilih cewek yang latah dan paling genit. Namanya pun saya lupa karena saking ga nyamannya berada di ruangan itu. Lampu dimatiin, hanya cahaya dari TV 29 Inch yang menerangi KTV itu. Ilham mojok di sofa, disampingku Dany dan ceweknya, MAs Nur di ujung sofa dengan pere nya. Di ujung sofa aku dan Arwan ngerumpi sendiri sementara mereka menyanyi dangdut sambil minum2. Saya ikutan minum sih, tapi ga banyak, hanya 2 gelas arak korea dan segelas bir (itupun sampai selesai ga habis) untuk menghargai yang punya acara aja…. Acara “bachelor party”-nya Ilham berlangsung dengan canda dan tawa, saya ikutan ngedance daripada bengong ga ngapa2in. Ngedance lagu dangdut… hahahahaha.. tariiiik Maaaaang… Setelah sejam lewat, capek lah ngedance terus.. waktunya slow down… nyanyi lagu2 yang slow.. tetep dangdut. Eh, ternyata saat menoleh ke arah Ilham, anak itu udah beraksi dengan pecunnya di atas sofa. Kaget sih. Saya tahu dia itu seperti apa, hanya saja ga nyangka dia akan berani melakukan hal itu di depan mata saya. Ya sudahlah, saya ini juga bukan siapa2nya, hanya saudara kecil. Saya mencoba memaklumi. Setelah 2 jam, tak terasa sudah jam 1.30 pagi. Ngantuk banget! Tapi acara masih berlanjut dengan makan (lagi) di warung ayam penyet pinggir jalan. Baru jam 2 ke rumah mas Nur. Dan baru bisa tidur jam 3 pagi. BTW, karaokean tadi habisnya 2 jutaan ya.. dan kata Arwan, biasanya ya habis segitu semalam, belum termasuk tip untuk pere2 itu. (remember, bulan ini kunjungan itu yg ke 10!!)

Sabtu pagi…… saya pikir kami langsung berangkat ke Bogor seperti yang saya dengar sebelum datang ke Jakarta. Ternyata si Ilham ada kerjaan mendadak. Maka saya dan Arwan ditinggal berdua aja di rumah itu. Mau jalan2 ke mall, mendung dan hujan deres siang itu. Jadi bengong aja lah di rumah, Cuma main FB, ngerumpi sama Arwan, tiduran… ngemil Bolu meranti yang saya bawa dari Medan… huft, boriiing Sekitar jam 4 sore, barulah ketiga orang itu datang. Kami pun (Bersama keluarga mas Nur dan rekan kerja Ilham di JAH dulu) berkemas untuk segera berangkat. Barang2 untuk seserahan ( Yang harganya mahal2) dimasukkan ke dalam 2 mobil. Soal barang2 seserahan ini, melihat merk dan barangnya sendiri saya hanya bisa termenung, wow, sehebat inikah Ilhamku mencari uang…. Tapi, di sisi lain, ternyata dia super boros. Ilham memang orang yang royal dan baik hati, itu tidak perlu diragukan. Tapi dari semalam itu dan bagaimana dia bercerita tentang barang2 mahal yang dia beli, bagaimana dia bercerita bersama Arwan mereka shopping jutaan, kalau jujur, memang ada rasa iri di hati, tapi saya jadi mikir, secepat itukah dia berubah dari orang yang kukenal dulu? Atau aku yang tidak tahu apa2 tentang dia sejak dia meninggalkanku? Apakah kehidupan Jakarta telah mengubahnya? Apakah uang telah membuatnya terlena? Ilham yang kulihat saat itu, bukan orang yang dulu kukenal. Selama di Jakarta memang saya tidak banyak bicara dengannya. Mengingat dia harus konsentrasi dengan pernikahannya.

Berangkatlah kami ke Bogor sore itu… sampai di Hotel Pangrango, Bogor jam 7 malaman. Setelah Check in, saya langsung ajak Arwan jalan2 ke Botani Square. Sebenarnya saya tahu Ilham marah, tapi who cares? Belum tentu dalam setahun ke depan saya akan mengunjungi Bogor. Mumpung ada di Bogor, ya ditelusuri lah. Walau hanya satu dua tempat, yang penting ada cerita untuk dibawa ke Medan. Saya memang datang untuk menghadiri acara pernikahan, tapi bukan berarti harus berdiam diri di Hotel. Hey, I was there to get a little adventure too

Karena Sabtu malam, jalanan rame dan Mall Botani Square pun penuh dengan manusia. Duh, ujung2nya ke mall juga… Padahal pingin ke Istana Bogor, ke Kebun Raya…. But it’s ok, dinikmati aja, mengingat sejak awal no plan at all. Beli Tas buat ultahnya Ody, beli madu asli dan pengharum ruangan organic di store yang dikelola mahasisma IPB… Ayo guys.. tunjukkan kekuatan karya mahasiswa…. Minggu pagi setelah sarapan, kami rombongan pengantin pria (keluarga sedarah Ilham hanya abangnya yg didatangkan langsung dari padang beserta Istri dan anaknya) berangkat menuju kediaman Pengantin perempuan. Hmmm, setelah 2 tahun mengenal Ilham, baru hari itulah saya akhirnya bertemu dengan Evi.

Akad Nikah dilangsungkan di masjid terdekat. Saya agak gimana gitu ngelihat gaun yang dipakai Evi… too ordinary untuk seorang cewek yang berprofesi sebagai pramugari…. Setelah akad nikah selesai, kedua mempelai diarak ke tempat resepsi dan pernikahan dilangsungkan dengan adat budaya Sunda. Lucu sih… Nah, saya baru tahu dari Arwan kalau budget untuk pernikahan itu adalah.. 50 JUTA!!! Spontan saya langsung tergelak, karena suasananya jauh banget dengan budget itu.. sederhana banget, acara nikahan yang pernah saya hadiri di Berastagi aja (yang di desa) lebiih meriah. Menunya ga banyak variasi, ga ada keyboard, hanya kaset yang diputer di sound system. Dan bagi pengiring pengantin pria ga ada bekel atau oleh2 kue seperti biasanya untuk dibawa pulang (Atau adatnya memang tidak ada?) Apalagi, bosnya Ilham, Pak Eddy, bela belain datang jauh2 dari Surabaya untuk menghadiri acara itu, bersama Bu Tri yang dari Jakarta. Maka saya dan Pak Eddy yang emang udah kenal sejak mudik kemarin sibuk ngerumpi pernikahan 50 juta itu.

Rombongan kami rencananya balik ke Jakarta, tapi Arwan, mas Nur dan Dani bertahan sampai sore. Saya sih sebenarnya diminta bertahan, tapi ga tahu kenapa, saya udah ga mau lagi lama2 disitu. Saya sudah merasa cukup. Lagipula, kalo balik ke Jakarta jam 6 sore, mau nyampe jam berapa? Ga bisa kemana2 lagi karena senin jam 6 saya sudah harus check in di bandara. Bertahan sampai jam 6 pun mau ngapain? Akhirnya saya putuskan ikut Pak Eddy balik ke Jakarta. Naik mobilnya Bu Tri. Selama di jalan, kami ngerumpi lagi tentang pernikahan itu. Pak Eddy tampak banget ga terima usaha dan kerja keras Ilham ngumpulin uang segitu hanya dihargai segitu. Secara dia sudah nganggep Ilham sebagai adiknya. Tapi ya sudahlah, yang penting doa buat Ilham dan Evi semoga bisa langgeng sampai kaki nini…

Saya dan Pak Eddy memilih Mall Taman Anggrek (Mall lagi – nasib-) untuk menghabiskan waktu sebelum ke airport nganter Pak Eddy. Dia harus check in jam 6 sore. Maka kami pun tiba di MTA jam 1 siang. Langsung cari makan. Setelah muter2 ga jelas, akhirnya kamipun makan di Noodle Café. Tempatnya lumayan rame, dekorasinya standard, yang lucu adalah di salah satu dindingnya yang didesain kaca, dibalik kaca tersebut disusun jenis2 mie kering memenuhi dinding itu, di rak2 nya juga dipajang aneka bentuk mie dalam toples kaca yang berbentuk silinder. Saya pesan Mie Goreng istimewa, Pak Eddy pesan Kwetiau Sapi Kuah. Rasa Mie Gorengnya mirip mie mie goreng yang dijual dipinggir jalan, bedanya adalah di mie nya, ini yang unik, mie nya kecil2 mirip bihun, dan harga lebih Muahal, Kwetiau nya kebanyakan mie nya, Dagingnya ga seberapa (sigh). Setelah makan, dessertnya adalah ice cream Baskin Robbins… setengah liter, Glek!!! Dimakan berdua sepanjang jalan muterin Mall. Dari lt ground sampai paling atas. Karena kebanyakan, dan udah neg, maka ice cream 150 ribu itu pun terpaksa tidak habis dan masuk tempat sampah…. Mau nonton Rapunzel, eh, udah penuh jam yang pas. Jadinya ya muter2 lagi. Oh ya, saat turun dari mobil, saya lupa ganti sepatu. Kan ceritanya saat nikahan pakai batik dan sepatu fantofel, saat pulang saya ganti kaos dan jeans skinny, tapi pake fantofel, kelihatannya kan aneh… maka bingung lah saya selama jalan.. ngerasa saltum gitu.. untungnya pak Eddy baik hatinya (hweee) dibeliin sandal euy… lumayan lah, harga sandalnya juga ga murah…

Jam 5 Sore kami keluar dari Mall itu dan langsung menuju Soetta. Lalu lintas lantjar djaja meski diberbagai titik padat merayap. Ke arah senayan malah macet parah. Setelah mengantar pak Eddy di pintu terminal, saya balik ke kosan Ilham. Menunggu jam 8 malam karena mau jumpa Rendy di KFC Indosiar. Parahnya, karena ga tahu harus naik apa, dengan terpaksa naik taksi lah… kena macet lagi gara2 konsernya siapa gitu (Ga tahu) di utan jati. Seru sih, malam2 melewati jalan2 pinggiran Tangerang, melihat sisi lain kota yang dekat banget dengan Ibukota itu. Oh ya, saat di KFC nongkrong sama Rendy dan pacarnya, malah ketemu kenalan waktu lihat outbound di hotelku… wkwkwkwk, sebuah kebetulan yang langka (kebetulan atau emang udah digariskan begitu ya?? Hmmmm)

Senin pagi saya bertolak ke Medan, karena kerjaan sudah menunggu.. Sungguh, tak ada kesan istimewa selain jalan2 sama Pak Eddy dan ketemuan sama Rendy yang mendadak sekali… yang ada malah ada sedikit – sedikiiiiit—rasa kecewa.. tentang kenyataan yang diluar dugaan. Tapi it’s fine.

Sebenernya ada banyak hal yang ingin kusampaikan pada Ilham, tapi sepertinya… lebih baik kusampaikan tanpa kata2 saja… Selamat, semoga keluargamu sakinah dan diberkahi Allah SWT