30 Hari Di Jakarta
August 2, 2011 1 Comment
30 hari di Ibu Kota
Hanya 30 hari saya tinggal di Jakarta.
Setelah keluar dari Slavyanka, saya sempat pulang ke Malang namun tidak lama. Sekitar 5 hari saja. Karena setelah itu saya harus terbang ke Jakarta. Ya, terbang. Penerbangan pertama saya. Seumur-umur, tak terlintas sedikitpun bahwa saya akan benar-benar naik pesawat. Memang, impian saya adalah berkeliling dunia. Tapi ntah bagaimana, seolah-olah penerbangan pertama itu membuat saya semakin berani untuk bermimpi. Bagaimana bisa mewujudkan mimpi itu, itu urusan belakangan. Yang penting mimpi itu dulu.
Pesawat pertama saya adalah Batavia Air, saya ke bandara berangkat sendirian. Hanya bermodal info dari teguh tentang bagaimana proses check in, saya dengan penuh percaya diri memasuki Bandara Juanda Surabaya.
Tiba di Jakarta sekitar jam 10 pagi. Menurut Pak TD (Orang yang mengangkat saya sebagai anaknya dan mengajaknya bergabung untuk bekerja bersamanya di Jakarta), nanti saya akan dijemput oleh Mas Nuryanto. Saya pikir dijemput dari Bandara trus diantar ke kantornya yang ada di Midplaza. Ternyata hanya dijemput untuk diberitahu bagaimana caranya ke Jakarta Pusat. Mas Nur adalah chief concierge Hotel Jakarta Airport yang terletak di Terminal 2E. Saya sempat diajak ke Jakarta Airport Hotel untuk diajak nongkrong sebentar. Lalu saya diarahkan naik bis Damri jurusan blok M.
Untunglah di bis itu saya berkenalan dengan mbak Della namanya, mahasiswi jurusan Psikologi UI. Karena dia saya jadi tahu dimana harus turun nantinya.
Hmmmm, siapa menyangka saya akan menginjakkan kaki di Ibu kota Negara Republik Indonesia tercinta ini. Benar-benar tak bisa dipercaya karena saya sendiri tidak pernah berpikir sedikitpun akan berada disini. Gedung-gedung tinggi yang biasanya hanya dilihat di TV, bisa saya lihat secara langsung. Bahkan kantor tempat saya bekerja nanti, Midplaza Sudirman lantai 8, adalah kawasan bisnis di Jakarta. Sepanjang jalan, kanan kiri adalah gedung-gedung perkantoran, hotel, yang menjulang tinggi-tinggi. Hebat ya, manusia bisa membangun hal seperti itu….
Di Midplaza, sudah menunggu rekan-rekan lain yang kelak akan menjadi saudara2 saya juga. Hari pertama itu ada Awan, Angga, Arwan, Dono dan Putu Adhi.
Awan dan Angga di training di Jakarta Airport sebelum dikirim ke Bandungan, Semarang. Dono, saya dan Arwan tinggal di rumah Bapak TD. Putu Adhi sudah “punya” rumah di kawasan BSD.
Mendengar asset bapak TD yang banyak sekali, saya membayangkan akan tinggal di rumah yang besar dengan pembantu yang siap melayani. Apalagi rumahnya di kawasan Simprug Golf, yang dulu merupakan kawasan mahal. Tapi eh tapi, rupanya saya salah besar, rumahnya memang besar, tapi kok dari luar saya merasa sebuah kurungan. Pintu pagar digembok, lalu masih ada pintu teralis. Rumahnya terkesan suram.
Ada dua pembantu laki-laki asal jawa barat yang mungkin mereka itu tidak lulus sekolah. Masih sangat muda sekali.
Tempat tidur saya di lantai 2 bagian belakang rumah. Memang ada ac nya, tapi ac jadul yang berisiknya luar biasa. Saat itulah saya merasa kecewa yang cukup dalam karena tidak seperti yang saya bayangkan. Saya berpikir, kalau saya diangkat anak, kenapa kamar tidur saya ada dibagian belakang, bersebelahan dengan kamar pembantu. Bukan bermaksud menuntut. Tapi apakah orang Jakarta begini ceritanya kalau mengangkat anak.
Dimulailah “penderitaan” kecil saya.
Bangun pagi sebelum jam 5. Karena sebelum jam 6 sudah harus siap berangkat ke MidPlaza. Pulang dari Midplaza jam 5, tanpa macet jam 6 sampai rumah. Kalau Bapak masih mau lanjut kerja kami pindah ke apartemen Cityloft (punya bapak juga), mulai jam 5 sore lanjut kerja, biasanya sampai malam sekitar jam 8. Baru pulang ke rumah. Nyaris begitu tiap hari. Wih, benar-benar merasakan kerasnya kerja di Jakarta. Berangkat pagi banget karena menghindari macet. Padahal sampai di Midplaza juga baru jam 6.30 atau jam 7 pagi!! Dan kami sudah wajib kerja jam segitu. Ntah apalah yang kami kerjakan. Saya dan Arwan masih terhitung baru jadi belajar sama-sama.
Kalau Bapak TD pergi keluar kota, saya dan Arwan tidak mendapat fasilitas naik mobil rumah. FYI, mobilnya ada 2 innova, dan 1 swift. Saya dan Arwan harus berjalan kaki sekitar 400 meter dari simprug ke depan Ratu Plaza, melewati Senayan city dan SCTV tower. Naik kopaja. Kadang pulangnya naik busway.
Kadang kalau sedang disuruh sales call keluar, kami berdua door to door dari satu kantor ke kantor lainnya dalam satu gedung perkantoran. Pernah juga diusir oleh security sebuah Gedung perkantoran karena kami masuk tanpa ijin. Kalau terlalu capek dan malas, kami malah ke warnet atau jalan-jalan di Plaza Semanggi.
Seingat saya, 3 kali saya ke Puncak untuk menemani Bapak TD mengecek hotel kecilnya di daerah Cipanas. Nama hotel itu, yang juga saya coba jual, adalah Berlian Resort. Namun susah sekali laku karena lokasinya yang terlalu jauh dari keramaian. Jadi hanya mengandalkan kegiatan grup saja. Hmm… jadi pernah ke Puncak….
Pengalaman paling bikin mengelus dada adalah ke Puncak bersama keluarga besar bapak TD. Bersama Ibu J (istri pak TD) pak IS (anak kedua pak TD) Ibu Mau (istri pak IS) dan ketiga anaknya.
Kenapa? Ibu J adalah seorang yang sangat dominan di keluarga itu. Dengan gaya hidup sangat hemat sangat bertentangan dengan Ibu Mau. Sama-sama orang kaya, tapi bedanya jauh sekali. Perbedaan yang paling mencolok adalah tentang makanan.
Di Puncak, Ibu J yang mengatur semua tentang menu. Makan malam hari itu adalah nasi goreng, karena tidak habis pada malam itu, maka sisanya dibuat sarapan pagi keesokan harinya. Lalu ada sayur asem yang dibuat di Jakarta, dibawa ke Puncak. Entahlah sayur itu usianya berapa lama. Padahal tinggal kuahnya saja, tapi masih disimpan oleh beliau. Huft… mungkin karena bosan makan nasi goreng terus, maka makan siang kami pindah ke restoran yang ada di kota. Menu yang dipesan pak IS dan Bu Mau lumayan banyak. kontras dengan konsep sederhana Ibu J.
Ibu J selalu membanggakan bahwa cucu-cucunya sangat menyayangi dia, dan bangga jika diajak jalan-jalan ke Puncak. Hellooooo, anak-anak kecil itu loh bilang langsung ke saya bahwa mereka kalo liburan bersama orang tua ibu Mau, minimal ke Aussie atau New Zealand.
Itu yang di Puncak. Dalam waktu 30 hari saya di rumah itu, nyaris setiap hari kami makan ala kadarnya. Heran, padahal dengan harta segitu banyak. Yang mungkin ga habis sampai tujuh turunan, menu makanan sangat terlalu sederhana banget (menghaluskan kata pelit)
Kadang-kadang kami tidak sempat sarapan pagi. Malam hari kalo ga makan pake telur ya tempe, atau nasi goreng (Dengan bumbu bawang putih dan bawang merah, plus garam, itu saja tidak ada pelengkap yang lain). Kadang saya dan Arwan yang udah bosan makan itu-itu aja, beli ayam goreng agar sedikit berprotein. Bersama bapak TD pun demikian, Di cityloft, apartemen mahal tapi sinyal hp segan hidup dan mati, makanan yang tersedia pun bikin ngilu hati. Ada sekaleng abon, daging sapi yang di freezer (kata Arwan daging itu umurnya sudah sebulan) lalu sambel yang juga sudah sebulan. OMG!! Jadi mau ga mau, makan malam kadang hanya beli nasi di warung Rp.10.000 untuk bertiga dan lauknya adalah abon sapi saja. Di kulkas rumah, isinya penuh sekali dengan bahan makanan. Baik yang kalengan maupun yang sudah matang. Ada sambel botol yang sudah kadaluarsa, ada makanan sisa entah tahun berapa yang masih bertengger disitu. Pokoknya, semua itu tidak boleh dibuang karena semuanya milik Ibu.
Yang lucu, ketika jalan bareng sama Bapak TD berdua, saya pernah makan di Solaria City Walk Sudirman bersama beliau. Saya pikir, wah, lumayan nih. Eeeeh, ternyata hanya pesan 2 teh tawar dan seporsi nasi goreng. Nasi goreng seporsi itu tadi dibagi jadi 2. Oh Tuhaaaaan… di rumah saya di malang saja, ga pernah itu terjadi. Sesederhananya Ibu saya memasak, tempe penyet dan sayur bayam, tapi disajikan dalam porsi yang wajar. Saya mau makan berapa kalipun terserah, apalagi dimasak dengan hati yang tulus seorang Ibu. Ibu saya pernah berkata, kalau untuk makanan bagi diri kita sendiri, jangan pelit.
Pengalaman paling menohok bagi saya ketika acara Network yang diadakan di Le Meridien. Acara yang dihadiri para petinggi perusahaan setiap sebulan sekali dalam rangka ajang gayengnya para Top eksekutif. Yang mengundang adalah bapak TD melalui TD Networknya. Menu yang disajikan luar biasa….. Pilihannya banyak sekali. Ada Sate, Ayam bumbu, Daging rendang, 3 macam sayuran, Ikan, Udang goreng, Kue-kue, Pudding, aneka macam buah, Sup, Mie goreng, tea dan kopi. Budgetnya saya tidak tahu, tapi dengan menu yang sangat bervariasi itu, pasti lebih dari Rp. 200.000,-/pax. Acara dimulai jam 12 siang dengan ramah tamah terlebih dahulu. Baru setelah itu ada acara talk show ringan tentang bisnis di dalam ruang meeting.
Saat acara talk show itulah, saya dan Arwan baru bisa makan. Makanan yang disajikan sangat melimpah hingga masih banyak sisa. Saya sempat berpikir bahwa sayang sekali makanan sebanyak ini dipesan kalau pada akhirnya ga habis, tapi ya sudahlah, namanya juga orang kaya. Tapi…. Ternyata meleset. Dengan perintah Ibu,yang ternyata selalu datang dalam acara Network, kami wajib membungkus makanan-makanan yang tersisa di semua serving dish yang ada diatas meja prasmanan itu. Bahkan Puding yang masih utuh dalam mangkuk besar itu harus kami bungkus. Hancurlah pudding yang cantik jelita itu. Semua makanan tanpa terkecuali harus dibungkus. Lalu dibawa ke dalam mobil. Memang, itu adalah hak kami sebagai pembeli. Tapi kok ya sedikit aneh aja, apakah harus semua makanan sisa itu dibawa pulang. Sebagai orang yang pernah bekerja sebagai waiter, hal seperti itu bagi saya sedikit aneh. Karena di rumah juga siapa yang akan makan sebanyak itu. Semuanya masakan jadi. Yang kalaupun bertahan hanya satu hari. Saya sudah kenal betul Ibu tidak akan membagi makanan-makanan itu. Dan benar sesuai perkiraan saya, semua makanan itu masuk ke kulkas yang sudah tidak ada lagi ruang kosong sebenarnya. Niatnya mungkin supaya tidak mubazir atau sayang membuang makanan ketika diluar banyak orang kelaparan. Tapi jatuhnya jadi pelit kikir. Saya bahkan curiga, kata Arwan, Ibu J selalu datang dalam acara Network, yang selalu diadakan di hotel-hotel berbintang 5 di Jakarta, adalah untuk mengemasi makanan-makanan yang selalu sisa banyak untuk dimasukkan ke kulkas keramatnya. Entah apakah hal itu masih ia lakukan.
Hiburan selama di Jakarta hanyalah jalan-jalan sama Arwan di Plaza Semanggi dan Blok M. dan satu lagi, pertemuan saya dengan Chi***, Satu-satunya lelaki di Jakarta yang saya temui. Waktu itu hari Sabtu atau Minggu gitu. Pokoknya hari libur, dan bapak tidak ada kegiatan. Maka saya beralasan akan menemui seorang teman. Saya menemui Chi*** di Plaza Semanggi. Dari situ kami kekosnya di UKI, cawang. Hingga hari menjadi gelap.
Beberapa hari setelah itu, Bapak mengabari bahwa saya harus mempersiapkan diri untuk ke Medan, karena saya akan ditempatkan di Medan untuk menjual satu lagi Hotel disana. Sinabung resort Berastagi. Tanpa pikir panjang saya langsung bersedia. Bukan karena saya yakin akan kemampuan saya, bukan karena siap tinggal di Medan, tapi lebih pada bayangan bahwa saya akan segera meninggalkan rumah itu. Rumah yang kelak akan dijuluki Akademi Simprug oleh saudara-saudara lain. Dan itu berarti sebuah kebebasan.