Numpak Sepur nang Ambarawa

Selama 2 hari jalan-jalan di Semarang, hampir semuanya berhubungan dengan kereta api. Bisa dibilang, tema perjalanan ini memang tentang kereta api.

Perjalanannya sih udah seminggu yang lalu, tapi karena untuk mulai menulis itu terpengaruh mood, jadi molor. Yang suka menulis pasti pernah merasakan deh.

Berangkat bertiga dari Surabaya naik kereta api ekonomi Maharani jurusan Surabaya Pasar Turi ke Semarang Poncol, kami menempuh perjalanan dari jam 6 pagi hingga jam 11 siang. Walaupun ekonomi, kereta api sekarang sudah enak karena berAC, ga ada pedagang keliling, dan semua dapet tempat duduk. Yah, sebagai gantinya, mesti siap2 bahan makanan biar mulut ga asem.

Ini adalah kali pertama saya mengunjungi Semarang. Dan tujuan utamanya adalah Museum Kereta Api di Ambarawa. Namun karena kami sampai di Semarang sudah siang, maka tidak mungkin kami langsung ke Ambarawa. Bisa sih, tapi agenda naik kereta api wisata nya tidak akan kekejar. Lha wong tujuan ke Ambarawa untuk naik kereta api itu.

Maka pit stop pertama (setelah dapet kasur buat tidur), adalah Lawang Sewu, yang tidak jauh dari hostel kami di jalan Imam Bonjol. Cukup berjalan kaki saja.

Lawang Sewu saat sore hari

Lawang Sewu saat sore hari

Lawang Sewu yang ikonik ini memang memiliki banyak pintu, walau ga sampai 1000 buah. Bangunan yang desainnya cantik ini dulunya adalah kantor perusahaan kereta api Nederlands Indische Spoorweg Maatschappij atau NIS. Dibangun pada tahun  1904 dan selesai pada tahun 1907. Terletak di bundaran Tugu Muda yang dahulu disebut Wilhelminaplein. Disini, banyak spot bagus buat selfie atau foto rame-rame. Dan tentu saja, di dalam bangunan bersejarah ini, pengunjung bisa membaca cerita tentang perjalanan sejarah kereta api di Indonesia. Jujur, saya tidak banyak membaca informasinya. Hanya sepenggal-penggal. Itupun langsung lupa begitu keluar dari sana. Hahahah.. akhirnya googling lagi deh.

Konon katanya Lawang Sewu ini memiliki cerita mistis, well.. sepertinya udah memudar deh mitos itu. Setidaknya, saat saya disana malam hari, malah bagus tuh buat foto-fotoan. Karena di dalam gedung, cahaya lampu malah bikin cantik. Tapi ga tahu juga sih, mungkin pengalaman orang lain beda lagi. Mungkin kalo ikutan tur yang bawah tanah itu, akan terasa suasana sejarahnya. Sayang, tur bawah tanah sedang ditutup karena renovasi.

Lawang Sewu after Maghrib

Lawang Sewu after Maghrib

Saat yang pas menurut saya berkunjung ke Lawang Sewu, adalah sore menjelang maghrib hingga after maghrib. Mulai sekitar jam 4.30 sorean hingga jam 7 malam. Jadi bisa membedakan suasana saat cahaya matahari masih menyeruak diantara tembok-tembok dengan suasana ketika langit telah diambil alih oleh kegelapan. Bagi yang muslim, tenang, ada ruangan di belakang yang disediakan untuk menunaikan sholat maghrib. Jalan-jalan itu perlu, tapi ibadah itu ga boleh ditinggal… (pesan dari teman)

Dari Lawang Sewu, kami mencari makan malam di Simpang Lima yang rame banget. Oh, saat itu malam minggu, pantes. Dapetnya nasi kucing lesehan yang ruame banget. Harganya cuma 2.000 Rupiah, tapi isinya yah, sesuai harganya lah. Kalo mau nambah lauk, ya bayar lagi. Ala angkringan di Jogja itu loh. Sudah lama sekali saya tidak melakukan hal yang biasa saya lakukan saat jalan. People Watch. Duduk manis di lesehan sambil minum teh, sambil mengamati orang-orang disekitar, orang-orang yang berlalu lalang. Tuh, ada sesama rekan traveler yang juga lagi nyari makan, ada penjual mainan, ada yang pacaran, ada 2 cowok yang janjian ketemuan… ehem (tertangkap radar), ada yang membawa keluarganya, ada yang salah kostum, dll.

Bagian terbaik yang paling saya suka dari act like local, adalah di alun-alun Simpang Lima nya, beli mainan yang ditembakkan ke atas seperti ketapel, tapi yang ditembakkan itu seperti mainan terjun payung yang saat jatuh dia berputar2. Karena dipasangin lampu diode kecil yang bisa berganti warna, maka saat berputar, lampunya menimbulkan efek cantik. Nah, kami mainan itu, persis seperti anak-anak kecil disana.

Kami berangkat ke Ambarawa dari depan Stasiun Poncol naik bis mini jurusan Bawen. Sebenernya nunggu di depan hostel bisa, tapi sambil nyari ATM akhirnya jalan deh. Harusnya, ada bis langsung ke Palagan, Ambarawa. Nama bisnya Putra Palagan. Namun karena kami mendapat informasinya kurang banyak (Cuma tanya ke petugas di hostel dan tukang parkir) jadinya kami naik bis ke Bawen. Dari Bawen oper bis lagi, lupa namanya, turun di depan museum Palagan, Ambarawa.

Jalan sebentar ga sampai 10 menit, kami sudah sampai di museum kereta Api Ambarawa. Dan langsung menuju loket kereta api wisata. Setelah mengantri agak lama karena jadwal jam 10.00 sudah habis, kami dapat tiket untuk jadwal jam 12.00.

Sambil menunggu jadwal selanjutnya, kami puas-puasin foto-fotoan di koleksi kereta api uap yang sudah tidak beroperasi. Karena sudah tua tentunya. Koleksinya cukup bagus dan terawat, beberapa jenis loko ada disana. Bahkan loko yang ada di pintu masuk, sengaja “dinyalakan” biar menambah efek dramatis. Loko-loko tersebut masih menggunkana bahan bakar kayu. Jadi petugas yang menyalakan “kereta uap” nya kudu kerja beneran memasukkan kayu ke tungku apinya.

Kereta api wisata Ambarawa hanya terdiri dari 3 “gerbong” yang tempat duduknya terbuat dari kayu. Dengan jendela terbuka full Angin Cepoi-cepoi. Walau namanya kereta wisata, tapi menggunakan karcis resmi PT. KAI, hanya saja, tidak perlu nama asli dan menunjukkan ktp saat naik. Tapi, saat kereta berjalan, pemeriksaan tiket oleh pak kondektur benar-benar dilaksanakan.

Kereta Api wisata ini berangkat dari stasiun Ambarawa (Museum Kereta Api ini sebenernya adalah stasiun Ambarawa yang dulunya dikenal sebagai Willem I) menuju stasiun Tunteng. Kereta berjalan dengan pelan mengingat selain usianya yang sudah sepuh. kereta api ini menggunakan bahan bakar diesel. Sepanjang perjalanan, penumpang disuguhi pemandangan sawah yang hijau dan danau yang juga hijau karena dijajah oleh enceng gondok. Dengan latar gunung Merapi. Pemandangannya, suasananya, bagus sih.. asri, sejuk, adem, bikin ngantuk.. hahha..

Choo chooo

Choo chooo

Dengan tiket seharga Rp. 50.000, kita bisa menikmati perjalanan dengan kereta api antik tersebut selama kurang lebih satu jam. Lumayan menarik lah untuk membawa keluarga berwisata. Oh ya, sebaiknya datang lebih pagi karena untuk menghindari habisnya tiket kereta. Karena perjalanan kereta hanya dilakukan pada hari Minggu dan hari Libur Nasional. Dengan jadwal jam 10.00, 12.00 dan 14.00 saja.

Kereta Api Wisata

Kereta Api Wisata

20150802_104831

Satu hal yang menjadi ciri khas beberapa stasiun yang pernah saya singgahi adalah theme song dari stasiun itu. Seperti halnya di stasiun gubeng atau pasar turi yang kerap memutar lagu Surabaya oh Surabaya, atau di stasiun Yogyakarta memutar lagu Yogyakarta, di Stasiun Tawang Semarang juga tak mau kalah. Theme songnya adalah Gambang Semarang. Ditambah penampilan musisi-musisi yang menghibur para calon penumpang yang sedang menunggu jadwal keberangkatan kereta mereka. Enak juga loh, sambil menunggu, mendengarkan alunan music keroncong. Bisa request lagi.

Dari Semarang Tawang, kereta Kertajaya kami berangkat jam 9 malam. Walau berangkat malam, semua seat kereta 8 gerbong ini full. Dan Alhamdulillah, di bangku seberang saya, ada cowok yang menurut saya menarik. Tipeku banget deh, Hahaha.. lumayan buat pemandangan. Hahaha.. Sepertinya, dia dan rombongan teman-temannya juga sedang melakukan perjalanan. Sayang, dia bersama rombongan, coba kalo sendiri,,, eh, ga berani ah… hahaha

 

 

Puisi itu berjudul B29

Morning at B29 (Photo by Kus Andi)

Morning at B29 (Photo by Kus Andi)

Seperti puisi tentang sebuah lukisan alam yang indah, tidak terlalu berlebihan jika B29 disebut sebagai Negeri diatas Awan. Keindahan yang memang mempesona. Letaknya yang lebih tinggi daripada gunung Bromo, menawarkan pemandangan yang elok. Terutama ketika momen berada “di atas” awan. Siapa tidak merasa di negeri diatas awan ketika gumpalan awan putih membentang di bawah kaki kita. Belum lagi ketika matahari terbit, cahayanya yang hangat melengkapi lukisan pagi oleh alam.

Namun, walau keindahan pemandangan di puncak B29 itu laksana puisi, perjalanan menuju kesana menawarkan cerita yang lain. Sebuah petualangan dan tantangan. Saya sebenarnya lebih adem naik Battlestar Galaktica di Universal Studio Singapore 10 kali dibanding naik ojek dibawah guyuran hujan menuju puncak B29. Yap, untuk menuju puncak bukit ini, anda bisa mencapainya dengan pilihan: motoran, hiking atau naik ojek.

Disebut B29 karena sebenarnya ia adalah dataran tinggi 2900m dpl. Terletak di desa Argosari, Lumajang. B29 merupakan bagian dari kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru.

Nah, Sebelum sampai di desa Argosari, starting poin menuju bukit B29, saya dan 2 teman saya naik ojek dari Pasar Senduro, Kota Lamongan. Kami memang sengaja memilih melakukan trip ini dengan menggunakan kendaraan umum. Dari pasar hingga desa Argosari ternyata jalannya sudah cukup bagus dan beraspal. Namun sayang, hujan mengguyur kota Lamongan sejak kami tiba disana sekitar jam 2 siang. Maka kamipun nekat ngojek dibawah hujan. Tukang ojeknya sih pake jas hujan, tapi kami hanya bermodal jaket biasa (bukan jaket gunung yang anti air), untungnya dari pasar hujan hanya gerimis walau intensitasnya lumayan sedang.

Jalan semakin meninggi, dan mulailah berkelok-kelok. Yap, tipikal jalan di gunung atau dataran tinggi. Badan jalan tidak terlalu besar dan berkelok-kelok. Semakin naik, kabut semakin menebal, hingga jarak pandang sangat dekat. Tukang ojek saya sampai mengurangi kecepatannya. Kami menerobos kabut tanpa tahu disebelah kanan atau kiri itu seperti apa. Kata tukang ojeknya sih pemandangannya bagus. Bahkan Semeru aja bisa kelihatan. Tapi kabut menutup itu semua. Duh, udah dingin, basah, dikelilingi kabut tebal, jalan yang menantang adrenalin, mantap.

Kami berhenti di desa Argosari. Tidak jauh dari Gapura desa. Kami menghangatkan badan dulu di sebuah warung sambil makan indomie kuah panas. Hujan masih belum berhenti. Pak Tukang ojek menawari pilihan menginap di rumah warga (Rp. 50.000 per orang per malam) atau langsung naik ke puncak dengan ongkos Rp. 80.000 per orang PP. Kalo tidak hujan bisa dinego jadi Rp. 50.000.

Setelah berdiskusi, kami memutuskan untuk nekat naik ke atas. Informasi yang kami dapatkan, diatas ada warung-warung yang buka 24 jam. Jadi kami berpikir, sudahlah, kita nongkrong aja di warung sampai fajar. Rencana awalnya sih mengejar momen sunset. Namun hujan udah keburu menghapusnya.

Jika perjalanan dari Pasar sudah beraspal, maka dari starting poin ke puncak, jalannya adalah Makadam. Masih tanah dan berbatu. Karena hujan, otomatis jalan menjadi basah dan licin. Modal nekat itupun berubah menjadi uji adrenalin saat ngojek menuju puncak. Bagaimana tidak, jalannya kecil, basah, banyak yang berlubang, dan ditepi jalan adalah bagian tanah yang curam. Mana tukang ojek nya sering memilih mengendarai motornya di bagian tepi jalan. Hanya sekian senti dari bibir jalan. Kalo motor itu terpeleset, bisa dipastikan saya atau teman-teman saya plus tukang ojeknya, jatuh ke bawah.

Dari pos desa Argosari menuju puncak jaraknya cukup jauh. Selama ngojek saya hanya bisa berdoa semoga tidak jatuh ke dasar bukit yang curam itu. Tapi sambil menikmati pemandangan yang hijau dan indah. Jadinya ngeri-ngeri sedap. Lalu kami pun diturunkan sekitar 2 km dari puncak, karena jalan semakin licin. Maka kamipun melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki. Untungnya, kali ini hujan sudah reda.

See the Road (Photo by Kus Andi)

See the Road (Photo by Kus Andi)

Tiba di area warung-warung ketika hari sudah gelap. Kami langsung mencari warung yang direkomendasikan oleh tukang ojek kami. Kebetulan saat itu ada beberapa anak UNAIR yang KKN di Probolinggo sedang ngetrip juga ke B29. Namun mereka batal pulang hari itu karena hujan. Singkat cerita, berkenalanlah kami dengan mereka. Berbagi pawon (semacam tungku untuk memasak dengan kayu sebagai bahan bakar) untuk menghangatkan badan. Untungnya, warung itu lumayan lebar untuk menampung kami. Beberapa anak tidur di dipan berselimut hangat. Ada yang tidur dibawah meja untuk jualan. Yang lain menghangatkan diri di perapian.

Melihat mas pemilik warung yang welcome, kami menyewa sleeping bag untuk tidur. Tidurnya diatas bangku di warung itu. Saya menyewa sleeping bag karena tidak tahan dinginnya malam. Dan asap dari perapian yang memedihkan mata. Lumayan bisa tidur sekitar 4 jam diatas bangku bambu. Tapi yah, tidurnya antara sadar dan ngantuk.

Sekitar jam setengah empat kami naik ke puncak. Jarak dari warung ke puncak dekat kok. Disana sudah banyak pengunjung yang mendirikan tenda-tenda. Kami membeber jas hujan salah seorang anak Unair sebagai alas duduk dan berbaring sambil memandang langit penuh bintang. Ya… setelah sekian lama, akhirnya saya bisa menyaksikan langit bertabur bintang. Sedang dibawah sana, kelap-kelip lampu kota juga tak kalah indahnya. Dari puncak, kami bisa melihat kota Lumajang yang masih terlelap, dan siluet gunung Batok dan Bromo.

A Sky full of Stars (Photo by Kus Andi) You can see more pictures at his IG : sayakusandi

A Sky full of Stars (Photo by Kus Andi) You can see more pictures at his IG : sayakusandi

Tak lama kemudian, perlahan-lahan, cahaya keemasan menyeruak diantara awan hitam. Good morning sunshine…

the Sun rises

the Sun rises

20150201_054132

Walau awan yang terbentuk tidak sebanyak yang saya lihat diinternet, tapi tidak masalah. Karena lukisan pagi itu luar biasa. Udara pagi yang sejuk membelai mesra. Sinar mentari hadir menghangatkan jiwa. Semeru yang agung berdiri kokoh disana, menyapa para pecinta negeri ini. Dan keindahan yang terbentang di depan mata, menggetarkan hati. Ok, mungkin saya agak lebay, tapi Saya percaya, ketika menciptakan Bumi ini, Tuhan pasti sedang tersenyum.

Bumi Gora, Lombok

Enaknya ikut dalam sebuah tur yang sudah dirancang oleh travel agent adalah tidak ribet. Semua tetek bengeknya sudah diurus. Mulai dari penginapan, makanan, tempat tujuan atau objek wisata yang sudah diatur, termasuk tiket masuknya, transportasi, hingga proses bagasi dan cek in bandara. Peserta tur hanya tinggal membawa badan, baju ganti dan uang saku saja.

Nggak enaknya, karena semua sudah diatur, kita mesti mengikuti jadwal yang sudah ditetapkan. Jadi apabila di sebuah tempat wisata yang disukai, ingin berlama-lama, tapi tidak bisa karena waktunya sudah ditentukan. Selain itu harus bertoleransi dengan peserta tur yang lain. Walaupun peserta tur nya adalah teman-teman sendiri.

Beberapa hari lalu saya ikut rombongan tur kantor ke Lombok. Acara yang rutin diadakan tiap tahun. Setelah tahun lalu ke Singapore, tahun ini jalan-jalannya ke negeri sendiri. Yah, itung-itung menyemarakkan Wonderful Indonesia…. Hweeee

Berangkat dari Juanda SUB, jam 4 sore dengan Citilink. Maskapai ini sebenarnya enak, tapi delaynya itu yang malesin. Di hari terakhir, saat kami harus kembali dari Lombok ke Surabaya. Delay dari yang seharusnya penerbangan jam 18.30 WITA, menjadi jam 22.00 WITA!!!

Penerbangan ke pulau Lombok lebih kurang satu jam. Karena bagasi sudah diurus, bahkan sudah diantar ke hotel, maka kami satu rombongan langsung naik bis menuju kota Mataram

Ada Apa di Lombok?

Hari pertama kami mengunjungi 3 desa budaya di Lombok. Yang pertama adalah Desa Banyumulek. Desa ini terkenal akan kerajinan tembikar atau gerabahnya. Konon para perempuan di desa ini wajib bisa membuat gerabah agar mudah mendapat jodoh.

Sempat melihat sebentar bagaimana proses pembuatan sebuah vas dari tanah liat. Dari bahan yang sederhana dan ketrampilan si artis, si mbaknya maksud saya, sebuah vas dengan mudahnya dibentuk. Butuh keuletan dan sentuhan passion untuk bisa membuat kerajinan – kerajinan itu. Dalam satu komplek dengan workshopnya, ada art shop yang dikelola secara koperasi. Disana dijual hasil kerajinan gerabahnya. Mulai dari miniature tokek dan penyu, asbak, cangkir hingga guci yang tingginya 1 meter. Harganya… hmmmm, lumayan mahal. Satu set teko dan 4 buah cangkir seharga Rp. 350.000,-, lalu sebuah kuali kecil untuk merebus jamu saja harganya Rp. 140.000,-.

Kerajinan Gerabah/Tembikar

Kerajinan Gerabah/Tembikar

Sayangnya, akses menuju desa ini sangat jelek. Jalan masuk ke desa ini sempit. Sehingga apabila ada 2 bis berpapasan, harus melaju dengan sangat pelan dan hati-hati. Dan kendaraan-kendaraan dibelakangnya harus sabar menunggu.

Setelah dari Banyumulek, kami menuju desa Sukarare (Huruf e nya dibaca seperti e pada elang). Kali ini, desa ini spesialisasinya di kain tenun khas Lombok. Jika kita melewati rumah-rumah di desa ini, ada beberapa perempuan yang duduk diatas lantai atau balai-balai dengan peralatan menenun di pangkuannya. Beberapa galeri yang menjual kain tenun juga ada disitu. Biasanya di depannya ada perempuan-perempuan penduduk setempat yang menenun. Pengunjung bisa juga mencoba bagaimana cara menenun. Saya melihatnya saja cukup susah. Harus sabar dan tekun. Menurut mereka, membuat sebuah kain tenun bisa memakan waktu hingga berminggu-minggu hingga berbulan-bulan. Tergantung ukuran dan motifnya.

Harganya, mahal memang. Dijual mulai Rp. 400.000,-. Untuk kain tenun dengan hasil yg tebal, harganya bisa mencapai Rp. 750.000,-. Jika melihat bagaimana proses pembuatannya, harga segitu cukup pantas.

Kain Tenun suku Sasak

Kain Tenun suku Sasak

Apabila anda merasa harga kainnya terlalu mahal, anda masih bisa berfoto-foto dengan menggunakan baju adat suku Sasak hanya dengan sewa bajunya sebesar Rp. 10.000,-.

Oya, dibanyak tempat wisata di pulau Lombok ini, ada banyak penjual souvenir yang menjual kain tenun. Tapi tentu dengan harga yang sangat jauh berbeda. Jika memang anda ingin memiliki kain tenun khas Lombok, yg KW banyak kok. Hehehe

Kemudian kami menuju desa Sade. Desa yang masih mempertahankan rumah adat suku Sasak. Termasuk budaya dan cara hidupnya. Rupanya di desa itu ada beberapa rumah yang masih menjaga keaslian struktur bangunan rumah adat. Dan wisatawan diperbolehkan masuk. Rumah-rumah itu bukanlah rumah yang sengaja dibuat untuk wisatawan. Tapi rumah-rumah itu ya tempat tinggal warga disana.

Rumah Adat Desa Sade

Rumah Adat Desa Sade

Setelah melewati gang-gang kecil yang berbatu dan masih tanah, kami sampai pada sebuah rumah adat. Bangunan berdinding bamboo dan beratap daun rumbia kering. Lantainya, saya ga yakin, tapi sepertinya sudah disemen, daaaaan, katanya si tuan rumah sih, kalo ngepel, dicampur dengan kotoran kerbau.. ups.

Ruangannya kecil, tidak ada furniturnya. Di bagian depan merupakan tempat untuk menerima tamu. Tempat berkumpul keluarga.  Ada sedikit anak tangga untuk masuk ke ruangan selanjutnya. Untuk memasuki ruangan selanjutnya ini, hanya ada satu pintu kecil berukuran satu orang dewasa. Tinggi saya 170cm, dan saya masih harus membungkuk untuk melewatinya. Di ruangan ini, cukup membuat saya menahan napas, karena di ruangan yang tidak terlalu lebar ini, dapur, tempat menyimpan beras dan tempat tidur jadi satu. Kalo tidur masih pakai tikar. Dan satu-satunya penerangan adalah sebuah alat mirip lentera. Walau hari masih siang, suasana di ruangan itu agak gelap.

"lentera"

“lentera” yang dipakai untuk menerangi ruangan

The Beach

Ke Lombok itu nggak afdol kalau nggak ke Pantainya. Dan sebenarnya inilah yang memang saya nantikan. Setelah mengunjungi ke3 desa tersebut. Kami menuju pantai Seger yang masih dikawasan Pantai Kuta, Lombok.

Pemandangan alamnya bagus banget, pantai ini juga masih sangat alami. Saking alaminya, nyaris tidak ada apa-apa disana. Ada sih yang menjual makanan dan minuman, itupun hanya ada satu diujung sana. Jalan menuju kesana awalnya memang sudah beraspal, tapi setelah itu, kami melewati jalan yang belum diaspal alias masih tanah. Untung medan yang kami lalui rata. Karena sepertinya, pantai ini juga sudah sering dikunjungi.

Saya suka pantai ini bersih, tepian pantainya juga cukup luas menjorok ke daratan. Sayangnya ini jenis pantai yang berkarang. Memang untuk foto-fotoan, karang mati yang lebih tinggi dari permukaan air laut bisa jadi tempat foto-fotoan. Selain itu juga bisa ditemui beberapa ikan kecil berwarna-warni, bulu babi, bahkan juga bintang laut. Tapi jika untuk berenang, jadi harus hati-hati. Jangan sampai menginjak si bulu babi.

Saya yang memang sudah siap, tanpa pikir panjang langsung nyebur ke pantai. Bersama beberapa teman dan anak-anak kecil serombongan. Sedang rombongan yang lain memilih duduk-duduk di tempat berteduh. Yang lain foto-fotoan, yang lainnya sibuk dikejar-kejar pedagang asongan.

Pantai Seger, Kuta, Lombok

Pantai Seger, Kuta, Lombok

Pantai Seger, Kuta, Lombok

Pantai Seger, Kuta, Lombok

Ombaknya cukup rapi, nggak terlalu kuat. Suhunya juga dingin. Awalnya, orang-orang nggak mau berlama-lama karena panas. Tapi rupanya, cuaca mendukung saya, panas hilang. Sinar matahari yang terik terhalang oleh awan. Maka semakin nyaman saya berendam di pantai. Hingga jadwal yang harusnya 30 menit, molor jadi sejam. Halooo, di pantai yang bagus gini Cuma setengah jam, yang benar saja…

Sayangnya, karena pantai ini masih belum dikelola dengan baik, dan seperti yang saya bilang, belum ada fasilitas penunjang apapun. Kamar mandi tidak ada. Jadi saya terpaksa ganti baju di sebuah gubuk tak terpakai yang agak terbuka. Huft…

Oya, kata guide kami, di pantai ini setiap setahun sekali diadakan perayaan untuk memperingati putri Mandalika, yaitu tradisi Nyale. Berburu cacing laut untuk dikonsumsi.

Berikutnya, kami menuju Tanjung Aan. Ini setelah proses voting karena rupanya ada beberapa orang yang tidak mau ke pantai lagi, dengan alasan sudah cukup puas di pantai Seger. Saya tidak terima, lha di tour Itenerary nya ada jadwal ke tanjung Aan.

Wuih, rupanya Tanjung Aan bagus juga, pemandangannya luar biasa. Di satu sisi ada sebuah bukit yang bisa dinaiki, lalu menyaksikan pantai dari atas. Keren….

Dan yang paling ok, airnya tenang. Tidak berombak. Sayang kalau dilewatkan begitu saja. Maka, dari 33 orang yang ikut tur, hanya saya dan Glenn, anak SMP kls 2 yang nyebur. Ada sih yang bermain air di pinggir pantai. Tapi yang bener-bener sampai berenang hanya kami berdua.

@ Tanjung Aan

@ Tanjung Aan (my only one picture, :P)

Saat orang-orang sibuk foto-fotoan, saya malah asik berenang. Karena pantai ini dasarnya tidak berkarang seperti pantai sebelumnya. Jadi lebih enak, lebih leluasa. Oya, pantai ini juga disebut Pantai pasir Merica karena butiran pasirnya yang memang seperti biji merica.

Berbeda dengan pantai Seger, Tanjung Aan sudah lebih ramai. Sudah ada parkiran kendaraan. Warung penjual makanan juga lebih banyak. Dan yang paling penting, ada kamar mandi.

Sayangnya di pantai ini hanya sebentar, mungkin hanya 30 menitan. Karena orang-orang sepertinya sudah bosan kali ya… Selama saya ikut tur, baru kali itu saya ditungguin orang satu bis. Karena saya dan Glenn harus mandi dan ganti baju dulu.

Sumpah, saya masih belum puas disana. Masih ingin berendam dan berenang lebih lama. Kalau perlu hingga matahari terbenam.

Semoga pantai Kuta, Pantai Seger dan tanjung Aan segera dikembangkan dan dikelola dengan baik oleh pemerintah setempat. Dan investor mengembangkan bisnisnya dengan bijak disini. Mungkin bisa dibangun hotel dan beberapa villa di sekitar pantai atau tak jauh lah dari sana, lalu akses transportasi dan sarana penunjang seperti jalan raya wajib segera dibangun, fasilitas-fasilitas seperti spa, warnet, shop, diperlukan disini. Pantai ini memiliki potensi yang bagus, Pemandangannya indah, air lautnya menarik orang untuk berenang, bisa dipakai untuk even-event. Pengembangannya juga harus diawasi, jangan sampai terlalu over seperti Bali.

Hari Kedua, kami menyebrang ke Gili Trawangan. Diantara 3 gili, ini yang paling ramai. Kami tidak menyebrang dari dermaga bangsal, tapi dari pelabuhan mentigi, yaitu pelabuhan kecil yang biasa dipakai para nelayan. Katanya, di bangsal sedang ramai. Masuk akal karena kami berlibur saat libur panjang.

Di Gili Trawangan hanya 2 jam!!! Saya yang sebelumnya mengagendakan bersepeda dan snorkeling, terpaksa harus memilih salah satu.  Yaitu snorkeling.

Dengan sewa Rp. 30.000,-/jam, peralatan snorkeling sudah ditangan. Saya dan beberapa teman memberanikan diri nyebur ke pantai. Dan ternyata, tidak semudah yang saya bayangkan. Kesalahan kami adalah tidak sekalian menyewa pelampung. Dan kami memulainya dari pinggir pantai. Bayangkan, kami harus menggunakan kaki katak (Flipper) untuk menuju sedikit ke tengah. Agak susah karena ombak sering menerjang walau tidak besar. Tapi bagi orang sekurus saya, hantaman ombaknya mampu membuat saya terombang ambing. Akhirnya saya putuskan untuk melepas kaki katak. Dan berenang menuju lebih ke tengah. Namun lagi-lagi masalahnya di peralatan, Alat bantu bernafasnya sering kemasukan air. Padahal saya sudah berusaha serapat mungkin menggigit alatnya. Sehingga air masuk dan menyusahkan untuk bernafas. Belum lagi masih ada air yang mencuri celah masuk ke hidung PAdahal hidung tertutup alat.

Alhamdulillah saya sudah bisa berenang walau masih sedikit-sedikit. Sehingga saya saya cukup menguasai diri ketika sampai agak ke tengah dan berpapasan dengan gelombang. Walaupun ya itu tadi, harus dengan penuh perjuangan.

Pemandangan bawah air, keren, subhanallah…. Ikan-ikannya cantik-cantik. Dari yang satu school of fish  kecil-kecil berwarna biru, hingga yang berwarna kuning, hitam, dan macam-macam. Saya nggak tahu namanya, tapi mereka sangat cantik. Kami bahkan berinteraksi dengan mereka dengan memberi makan sepotong roti. Ikan-ikan itu langsung mengerubuti. Air yang dipinggir memang keruh, tapi yang agak ke tengah airnya jernih, bahkan saat posisi badan sedang berdiri diatas karang, sebagian badan diatas permukaan air, kita masih bisa melihat ikan-ikan itu dengan cantiknya. Itu baru yang dipantai, kebayang saat diving, menyelam ke kedalaman laut, melihat terumbu karang dan jutaan ikan serta biota laut lainnya. Selama ini kita hanya melihat di TV. Pasti akan jauh lebih keren. Secara di Indonesia kan, kaya akan keindahan bawah lautnya. Saya makin cinta deh sama kekayaan negeri ini.

Gili Trawangan ini memang ramai, bahkan bisa dibilang, banyak bulenya. Disini sudah ada penginapan, bar, restoran, travel agent, penyelenggara selam, dll. Selain snorkeling tadi, anda juga bisa naik sepeda mengelilingi satu pulau. Atau naik Cidomo (cikar dokar motor). Dokar khas pulau Lombok. Karena memang seperti diketahui banyak orang, di pulau ini kendaraan bermotor dilarang.

Well, satu lagi pengalaman baru yang seru. Walau sempat kesusahan dengan alat snorkeling, tapi pengalaman ini nilainya lebih banyak. Nggak rugi pokoknya.

Masih ada pantai Batu Bolong yang pasirnya berwarna hitam. Lagi-lagi pantainya masih bersih. Di belakang restoran tempat kami menginap, langsung menghadap pantai. Saya sempat mencoba main dan nyemplung di pantainya pada pagi hari sekitar jam 7. Gelombang cukup kuat dan sering kali dalam wujud yang cukup besar. Saya dan Glenn yang kurus kering dan dia yang memang masih kecil, otomatis terhanyut oleh ombaknya. Untungnya kami mampu bertahan, kalo nggak, bisa hanyut ke tengah kami…

Pantai di belakang Hotel, Kawasan Batu Bolong

Pantai Senggigi adalah pantai yang paling berkembang. Disana paling ramai. Hotel-hotel berbintang, villa dan resort siap menyambut para tamu, restoran, bar dan club, ATM, hingga mini market. Katanya sih, pusat keramaian memang di Senggigi ini. Dari Senggigi hingga Malimbu, perjalanannya keren, karena melewati jalan yang dibangun dekat dengan pantai. Dengan kontur yang meliuk-liuk karena berbukit, pemandangan langsung ke arah pantai. Pantainya cantik-cantik dan masih alami. Jika anda naik kendaraan dari arah Senggigi, pastikan duduk di samping jendela sebelah kiri kendaraan. Sepanjang perjalanan pula, anda akan melihat beberapa villa dan resort yang dari tampilan luarnya cukup keren. Lokasinya memang menjauh dari Senggigi, sehingga kemungkinan lebih tenang, lebih cocok untuk yang berbulan madu, atau jauh dari hingar bingar.

Hotel

Selama jalan-jalan di Lombok, kami menginap di Batu Bolong Cottage. Hotel ini katanya sih bintang 3. Letaknya tidak jauh dari kawasan Senggigi. Sebelum berangkat, seperti biasa saya googling dulu. Dari web, saya baca ulasan di tripadvisor. Saya sih tidak berharap banyak dari hotel itu. Pokoknya bisa tidur ajalah.

Surprisingly, kamar hotelnya bersih. Setiap kamar ada Ac nya. Kamar mandinya cukup luas dan juga bersih. Bath tub nya tampak masih baru, dinding kamar mandi ditutup dengan keramik. Sayangnya air panasnya kurang terkontrol. Kalau pas keluar panas, bisa sangat panas, harus diputar ke posisi dingin lagi. Untuk mendapatkan suhu yang pas, harus pinter-pinter muter krannya. Dua malam pertama AC cukup dingin. Tapi di malam terakhir, AC nya sering mati sendiri. Sepertinya di setting oleh room boynya.

Dari luar, tampaknya bangunan dibuat dari anyaman bamboo, tapi di bagian dalam, tembok. Rupanya anyaman bamboo itu hanya tampilan luar saja. Karena ini modelnya cottage, disetiap kamar, dilengkapi teras kecil. Di teras itu ada 2 tempat duduk yang biasa saya pakai untuk nongkrong.

Hotel ini terdiri dari 2 bangunan yang dipisahkan oleh jalan. Bangunan yang satu langsung berhadapan dengan pantai, terdiri dari kamar – kamar dan restoran. dan bangunan lain berupa cottage –cottage dan ruangan resepsionis. Kamar – kamar kami yang ada di seberang jalan. Jadi ketika waktu sarapan, kami harus menyeberang jalan untuk ke restorannya.

Berhadapan langsung dengan pantai, ada kolam renang yang tidak terlalu lebar. Hampir setiap hari saya dan anak – anak kecil berenang disitu. Bahkan setelah seharian jalan – jalan dan nyebur di pantai, saya masih nyebur lagi di kolam renang pada malam hari.

Sayangnya, staff housekeeping kurang peka. Sisa bungkus kue yang semalam tergeletak di atas meja di teras, setelah seharian kami tinggal, saat saya balik, bungkus kue itu masih ada disitu. Lalu lantai kamar mandi juga dibiarkan basah. Kamar memang dibersihkan, handuk juga diganti. Tapi ya itu tadi…

Saya satu kamar dengan Gerry, kakaknya Glenn. Mereka ini adalah anak dari rekan kantor saya. Ada satu orang lagi, yang nomer dua, yaitu Gelby. Bertiga mereka ini sering ngumpul di kamar. Saat waktu luang, saya sering melewatkan waktu bersama mereka. Saat teman-teman yang lain pergi menikmati suasana malam di kawasan Senggigi, saya malah di kamar nongkrong sama anak-anak SMA dan SMP (ya mereka bertiga itu), ngemil jajan dan makan Pop Mie.

Hampir selama acara tur, saya jalan sama mereka bertiga. Saat belanja di pasar seni pun, saya yang jadi pengawasnya, apalagi uang saku mereka itu, dipercayakan oleh mama mereka untuk saya pegang.

Menu

Sarapan sudah pasti di Hotel. Tapi, setiap hari sarapannya dengan menu yang sama. Pilihannya adalah Nasi goreng, Mie goreng, telur dadar/ mata sapi. Kerupuk, roti tawar, dan buah. Tambah kopi atau teh. Tidak ada variasi lain dan rasanya kurang sedap. Sebenarnya ingin mencoba sarapan dengan beli dari penduduk setempat. Namun sayangnya tidak ada warung penjual nasi atau makanan disekitar hotel. Ada sih warung, tapi nasi padang.

Pada malam pertama kami datang di Mataram, kami langsung makan malam di Restoran Taliwang Irama. Restoran ini terkenal di Lombok. Lokasinya di kota Cakranegara, desa karang taliwang. Jalan yang melewati restoran ini tidak lebar, jadi apabila sebuah bis berhenti untuk menurunkan penumpangnya untuk menuju restoran ini, maka kendaraan-kendaraan yang ada dibelakangnya harus sabar menunggu. Parkirannya tidak luas, hanya bisa menampung beberapa kendaraan pribadi.

Suasana restorannya sih ramai, bisa jadi karena saat ini liburan panjang. Semua meja terisi oleh tamu, bahkan di balai-balai lesehannya juga sudah penuh. Karena kami adalah tamu rombongan, maka tempat makan kami sudah dipersiapkan secara khusus. Yaitu di ruang “VIP” nya. Ruangan luas yang ber AC dan ada beberapa meja makan, serta sebuah meja prasmanan. Kami makan secara prasmanan selama 4 hari 3 malam.

Menu malam itu adalah ayam taliwang, ikan bakar madu, urap bali, dan tempe/tahu goreng. Ayam taliwangnya enak, ikan bakarnya sedap, dan urap balinya nikmat. Urap balinya mengingatkan saya ketika masih tinggal di Bali. Sambalnya juga segar, pedasnya capsicum berbaur dengan segar asemnya jeruk limau.

Ayam Taliwang

Ayam Taliwang

Hari kedua, kami makan siang di Restoran Kuta Indah, letaknya di kawasan Pantai Kuta. Pemandangan langsung ke arah pantai. Sayang, jarak ke arah pantainya masih jauh walau sudah terlihat.

Saya pikir kami terpaksa makan di restoran itu karena tidak banyak pilihan disana. Sepanjang perjalanan yang panas itu, memang sudah ada beberapa café, surf shop, warnet, perwakilan travel agent, tapi bisa dihitung dengan jari.

Makan siang di Kuta Indah, menunya adalah ayam kecap, Pelecing kangkung, ikan acar, dan tempe/tahu goreng. Rasanya pas-pasan.

Setelah itu, menu makan kami tidak jauh dari ayam goreng, kangkung, dan tempe tahu. Khusus di Café Montong yang ada di kawasan pantai Batu Layar, kangkungnya pedas enak. Dan ikan bakar madunya manis enak.

Lalu makan siang terakhir kami di pinggir sawah, yang menyediakan menu seafood. Kerang, Cumi goreng, Ikan fillet goreng asam manis, kangkung (lagi). Secara mengejutkan, rasanya enak loh. Sayang saya lupa nama restorannya.

Pura

Setelah makan siang terakhir, kami menuju 2 lokasi. Yaitu Pura Lingsar dan Pura Narmada. Di Pura Lingsar, saya sebenarnya lebih tertarik untuk ikutan mancing bersama banyak warga lokal, di sebuah kolam yang cukup luas, yang berada di bagian belakang komplek pura tersebut. Tapi berjalan-jalan mengitari komplek juga lumayan buat foto-fotoan. Disana ada air mancur yang konon biesa membuat awet muda. Saya sih iseng-iseng aja cuci muka disana. Eh, airnya segar loh.

Air Mancur Pura Lingsar

Air Mancur Pura Lingsar

Di Pura Narmada kami masuk ke dalam sebuah ruangan kecil beraroma dupa, yang didalamnya dihiasi ornament khas Hindu bali. Di ruangan itu ada sebuah sumber air yang mengalir cukup deras. Kami didampingi oleh seorang pedanda. Setelah beliau membaca doa, kami dipersilakan mencuci muka dan minum air sumber tersebut.

Di komplek Pura Narmada, rupanya ada pemandian umum yang konon merupakan pemandian anggota kerajaan. Namun sekarang menjadi tempat rekreasi warga. Kompleknya sendiri cukup bagus dan asri. Sayang, kami tidak benar-benar masuk ke bangunan utama Puranya. Karena tempat tersebut memang sakral.

***

Beberapa teman mengatakan bahwa Lombok bagus, tapi selama belum dikembangkan, mereka males datang kesana lagi. Lombok masih butuh waktu dan dana lebih banyak untuk bisa menyaingi Bali.

Tapi tentu setiap daerah punya kekhasan  masing-masing. Seperti misalnya, anda bisa menemukan sepotong Bali (dalam tradisi dan masyarakat Hindu nya) di Pulau Lombok, tapi anda tidak menemukan Lombok di Bali.

Potensi Lombok cukup besar, tinggal perlu pengelolaan dan investasi yang baik, dan ditunjang dengan SDM yang sadar wisata, saya yakin Lombok akan lebih bersinar. Saya pribadi cukup menyukai Lombok dan pantainya. Saya berharap bisa kesana lagi. Dan saat itu tiba, sudah ada transportasi umum yang bisa membawa saya menuju Tanjung Aan, hehehehe…

SINGAPORE – KUALA LUMPUR

Seumur hidup saya, baru 2 kali mengikuti perjalanan wisata yang dikelola oleh travel agent. Pertama, jaman dahulu kala, ketika study tour ke Bali bersama rombongan temen2 SMK. Dan yang kedua itu di akhir tahun 2011 lalu. Perjalanan wisata ke Singapore.

Sebenarnya perjalanan kali ini saya sebut saja outing. Karena memang biayanya ditanggung sepenuhnya oleh kantor tempat saya bekerja. Mencakup Akomodasi, Makanan, Tiket masuk ke tempat wisata. Konon, sebenarnya saya itu nggak diajak pergi karena terhitung anak baru. Tapi atas bantuan mbak-mbak bos, maka nama saya pun diikutsertakan.

Seperti yang saya duga sebelumnya, perjalanan yang diatur oleh agent itu ada enak dan ga enaknya. Enaknya sih semua sudah dipersiapkan sehingga kita ga perlu repot-repot cari hotel, booking pesawat, ngurus sewa mobil/bis, apalagi ngantri karcis. Ga enaknya, yah, kita harus ngikutin jadwal, dan tempat wisatanya pun sudah pasti yang touristy. Serta harus memasang toleransi yang tinggi dengan peserta tour lain.

Perjalanan ke Singapore – Kuala Lumpur akhir tahun 2011 kemarin diatur oleh travel agent langganan kantor saya dari tahun ke tahun. Tahun lalu orang-orang kantor jalan-jalan ke Bandung, tahun sebelumnya ke Bali. (Saya belum ada). Tahun ini, pertaman kalinya saya ikut tur, menyisakan beberapa catatan bagi saya. Diantaranya,

1. Tour Itinerary yang ga oke

Sebelum berangkat ke Negeri yang secuil Indonesia itu, Saya sempat nanya ke mbah Google tentang beberapa tempat wisata yang akan dikunjungi. Jadwalnya adalah, Berangkat tanggal 29 Des 2011 ke Singapore via Batam, tanggal 30 sore ke Kuala Lumpur, tanggal 31 sore, kembali lagi ke Singapore, tanggal 1 Balik ke Surabaya via Batam lagi. Tepat sekali, wisata estafet.

Secara ikutnya gratisan, saya sih bersyukur banget. Kapan lagi coba bisa jalan-jalan gratis ke luar negeri. Walau capek banget, yah, dinikmati aja.

 

Bagi saya, tempat-tempat yang akan dikunjungi sangat touristy, seperti Merlion, Twin Tower, Sentosa, dan Universal Studio. Pengecualian Universal Studio, yang satu ini sangat saya dambakan. Tak lain adalah untuk melampiaskan hasrat adrenalin saya.

Dari daftar tempat wisata yang ada di surat resmi dari pihak Travel Agent, ada beberapa yang tidak terlaksana. Seperti Raffles landing Site, Fountain of Wealth (Cuma lewat doang). Di Malaysia, Independence Square, dan National Monumen tidak jadi dikunjungi.

Kami juga dijadwalkan akan mengunjungi Cocoa Boutique di Kuala Lumpur. Menurut mbah Google, Cocoa boutiquenya tampak keren dan mewah, bahkan diinformasikan harga coklatnya lumayan mahal, walau ada juga yang murah. Namun kenyataannya, saat saya memasuki “toko coklatnya”, kok sangat berbeda dengan yang saya lihat di internet. Yang ini mah seperti dapur coklat di Surabaya, bahkan lebih mirip seperti toko coklat aja.

Namanya Beryl’s. Memang sih, coklatnya enak.

Dan kelihatan banget kalo toko itu kerja sama dengan travel agentnya.  Apalagi temen-temen kantor kalo belanja coklat…. Gile bener.  Saya sih cuma beli 4 batang coklat seharga RM9.5 sebatang, itupun dibayarin sama si Reta.

Yang paling menyedihkan adalah Sungai Wang di Jalan Bukit Bintang. Saya pikir Sungai Wang itu ya sungai. Bayangan saya akan naik perahu menyusuri sungai. Nggak tahunya, Sungai Wang itu nama Mall. Konon terbesar di KL. Apa ga kecut….. Masa jauh-jauh ke KL malah diajak ngemall.

FYI, Mall di Surabaya aja banyak yang lebih cantik daripada mall itu. Saya sempat masuk ke dalam mall nya. Tapi ga jelas mau ngapain. Mau belanja? Lha saya ga doyan belanja. Si Reta dan Arya pun males belanja oleh2. Maka kamipun duduk manis sambil ngopi di teras Starbucks, sambil melihat persiapan acara Pergantian Tahun yang diadakan di jalan bukit bintang, persisi di depan mall itu. Acaranya sih dibuat dipanggung. Kala itu ada yang lagi gladi resik nge dance.

 

Yang nggak oke nya itu, waktu kami lebih banyak tersita di jalan. Berangkat dari Surabaya jam 6 pagi, transit di Jakarta sampai jam 10. Tiba di batam sekitar jam 11.30 lah termasuk bagasi. Lalu kami langsung dibawa ke pelabuhan Batam karena ngejar Ferry yang menuju Singapore. Catet ya, beberapa dari kami belum sarapan.

Perjalanan Ferry nya sendiri kurang lebih sejam hingga sampai Singapore. Tiba di Singapore kami disambut local guide. Seingat saya kami langsung dibawa ke mall untuk makan siang (jam 3 sore cyin!!). Nama restorannya Indo Padang. Setelah makan, kami menuju Merlion untuk foto-fotoan 30 menitan. Lalu meluncur langsung ke sentosa. Karena tiba di Sentosa agak sorean, kami duduk2 aja disekitar pintu masuk Universal Studio. Menanti makan malam dan pertunjukkan Song of the Sea yang baru dimulai jam 8.40 malam!! Padahal kami sampe sana masih sekitar jam 6 an.

Kami sampai Hotel sekitar jam 10 malam.

Keesokan harinya, setelah main di Universal Studio, kami langsung berangkat ke Kuala Lumpur. Perjalanan yang katanya tiba di KL sekitar jam 9, molor jadi jam 10.30an. Hotelnya di lokasi strategis di China Town, tapi karena udah jam segitu. Ya toko-toko udah pada tutup. Mau eksplor apanya.

Besoknya, perjalanan wisata kami hanyalah acara foto2an. Twin Tower, Istana negara, paling Cuma 30 menitan aja. Foto-fotoan doang… ga ada kegiatan lain. TL kami yang dari agent Indonesia juga ga terlalu ngurusin kami di tempat “wisata’ nya. Malah di Sungai Wang Plaza itu yang sejaman lebih. Enak banget agentnya, kami diajak ngemall, belanja oleh2. Nge mall kan ga perlu bayar tiket masuk.

Setelah makan siang kami balik lagi Singapore. Sampai Singapore sudah jam 10 malam!!!

Rasanya capek banget… kebanyakan duduk dalam bis. Dan acara yang sudah ditentukan jamnya. Serasa kayak main kejar-kejaran sama waktu. Yang atur jadwal perjalanan payah. Sejak awal saya curiga bakalan capek, ternyata emang bener. Sejak awal saya sengaja ga Tanya soal perjalanan Singapore – KL karena saya pikir travel agentnya sudah berpengalaman ngatur jadwal. Ternyata salah. TL nya ngaplo….

2. Akomodasi dan Makanan

Hotel di Singapore tempat kami stay namanya Fragrance Selegie. Harga publish yang tertera di papan sih sekitar SGD 130.00 an. Kamarnya, luar biasa kecil. Ukurannya mungkin 2×2, lebih besar kosan saya di Medan.  Bed nya dapet yang double. Padahal saya sekamar sama Arya, yang notabene cowok normal. Kamar mandinya lebih parah, cuman 1×1, kecil seumprit. Saat mandi pake showernya, toilet bowlnya pasti juga keguyur air.  Entah karena keterbatasan lahan di negara itu, jadi property itu ga murah.

Lebih mirip kos-kosan sih kalo di Indonesia.

Restorannya, entah kenapa saya lebih suka menyebutnya kantin. Ada di lantai 2. Disitulah kami sarapan. Menu pilihannya ada 2 set. Mau mie instan dengan pilihan isi (sosis/telur mata sapi/daging asap) atau sepiring isi 2 telur mata sapi, kentang goreng yang ga jelas itu, dan pilihan sosis atau daging asap. Setiap orang dapet 2 lembar roti tawar dan pilihan the attau kopi. Udah itu aja. Saya susun roti tawar panggangnya ala sandwich diisi telur mata sapi dan daging asap. Rasanya, yaaa… gitu deh. Masih mending daripada mie instantnya. Mie nya mirip POP Mie. Kuahnya hambar pol.

Hotel di Kuala Lumpur lebih baik. Lokasinya di china town. Namanya the 5 Elements Hotel. Kamarnya cukup luas, sudah pake duvet loh bednya.  Kamar mandinya juga lebih manusiawi. Antara toilet bowl, wastafel dan shower room, dipisahkan kaca. Pokoknya kamar hotel di 5 element jauh lebih baik. Lokasinya juga strategis, di China Town. Sayangnya kami sampai situ sudah malam, sudah banyak yang hampir tutup.

Oh ya, saya sempat jalan-jalan bentar di china town itu tengah malam, saat udah banyak yang tutp. Rupanya diantara bangunan toko-toko dan rumah makan itu, ada hostel dan atau tempat penginapan para backpacker. Sempat saya lihat para cowok bule, usia 20an, lagi jalan kaki berkeliaran.

Sarapannya juga lebih bagus. Mirip hotel bintang 3 di Indonesia. Lebih bervariasi walau menunya masih didominasi Chinese food. Mie goreng, nasi goreng, kwetiau, dll. Setidaknya lebih banyak yang bisa dipilih. Rasanya ya, begitu lah…

 

Selama disana, menu yang kami makan rata-rata Chinese food dengan rasa yang begitulah. Hanya saat di Hotel Nouvelle (Makan malam dalam perjalanan dr KL ke Singapore), udang gorengnya enak. Selebihnya, di hari pertama kami makan di Restoran Indo Padang di Cathay Building, Singapore. Menunya ada Soto Medan, Rendang, Ikan bakar, Sayur orem, ayam pop, dan tumis kangkung belacan. Yang enak hanya Tumis kangkungnya, ayam pop nya lumayan, tapi taburan lengkuang serut nya kurang banyak dan kurang gurih. Yang lain jauh banget…. Soto Medannya, aduh.. kuahnya kemana, bumbunya kemana. Rendang?? Ga nendang blas… Sayurnya, asyeemmm….

Dan makan siang di Batam ketika pulang balik ke Surabaya, kami makan di restoran sunda. Yah, lumayan lah. Setelah beberapa hari makan di negeri orang yang takut bumbu. Trus makan tradisional khas Indonesia, lumayan terobati…

3. Ternyata Sistem Check in Ferry di Singapore bisa payah juga

Ini terjadi saat hendak meninggalkan Singapore. Kami masuk Singapore lewat pelabuhan Singapore (lupa namanya), pokoknya begitu keluar ada bangunan Harbour Front Tower. Waktu pertama kali menginjakkan kaki di Singapore sih ga masalah. Melewati imigrasi juga lancar-lancar aja. Hanya karena pas peak season, jumlah pendatangnya cukup banyak.

Nah, masalahnya saat mau balik nih ceritanya. Dari hotel menuju pelabuhan sekitar jam 9.30an. Sampai pelabuhan jam 10 pagi. Tiket Ferry sudah dibagikan. Jam 11 siang, proses check in baru dibuka. Maka waktu yang sejam kami pakai untuk jalan2. Ada yang sempet-sempetnya lompat ke Vivo City (mall terbesar di Singapore), ada pula yang muter aja di pelabuhan seperti saya.

Sekali lagi, TL kami yang ngaplo ga ngasih info apa-apa selain jam 11 check in baggage. Maka saya, Arya, dan Bu cahya pun ikut ngantri. Awalnya, antrian panjang hanya di baggage check in. Namun kok saya lihat di sisi sebelah orang-orang pada ngantri juga, panjang juga.

Rupanya, saya ngantri untuk proses check in barang bawaan aja. Setelah masukin barang ke bagasi, kami masih harus ngantri lagi ke antrian yang sebelah. Saya pikir setelah baggage check in, kita bisa langsung masuk ke ruang imigrasi. Eh, ga tahunya harus antri lagi. Apa ga habis-habisin waktu… Rasanya jengkel betul. Sangat tidak efisien. Udah antriannya panjaaaaaang banget. Di jadwal kapal berangkat jam 12.10. Sedang kami jam 12 kurang 10 menit masih ngantri.. Itupun dibelakang saya, TL dan beberapa rekan kantor masih ikut ngantri juga. Dan rata-rata yang ngantri orang Indonesia yang mau balik. Hahaha

Saat itu ada 2 kapal yang hendak berangkat. Saya naik Pinguin. Satu nya lagi Batam Fast. Nah, karena Batam fast ini sudah hampir berangkat, maka para penumpang yang masih ngantri dipanggilin. Rupanya, yang masih di barisan lumayan banyak juga.

Nah, kami bertiga pura-pura aja sebagai penumpang kapal itu, jadi dengan muka memelas, sambil permisi-permisi, melewati orang-orang yang baris di depan kami. Pura-puranya, nama yang dipanggil itu saya.

Padahal rencana saya pingin lihat-lihat di toko-toko yang ada di ruang tunggu. Konon duty free. Tapi karena masuk ruang tunggu, orang-orang udah pada masuk kapal, terpaksa kami pun langsung masuk kapal.

4. Tourism Packaging – SINGAPORE

Keren banget…  bener-bener all out dalam mempromosikan pariwisatanya. Padahal kalo dipikir, Singapore punya apa sih? Negara seumprit itu. Tapi toh  dia mampu mengemasnya menjadi menarik. Singapore berani keluar duit untuk membangun. Sebut saja Singapore Flyer, Tiger Sky Tower, Universal Studio, Singapore Zoo, dll. Belum lagi kawasan Orchard Road yang terkenal itu. Dimana menjadi surganya para shopaholic asal INDONESIA. Wisata belanja ada, Museum ada beberapa, Kebun Binatang ada, Wahana bagi adrenalin junkies ada. Dan semuanya itu dikelola dengan baik. Ditambah system yang berlaku disana sangat ketat, seperti peraturan soal membuang sampah, merokok, dsb. Kotanya enak, nyaman buat para pejalan kaki, ga terlalu banyak kendaraan (apalagi sepeda motor, nyaris ga ada). Transportasinya juga kayaknya enak. Tapi sekilas saya masih ga mudeng dengan jalur-jalur bis, seumur-umur, baru kali itu saya lihat bis double decker (bis dengan 2 lantai)  apalagi kereta api bawah tanahnya.

Di hotel kecil kami, brosur-brosur tentang tempat pariwisata ada. Dan cukup lengkap. Peta supaya ga kesasar. Bahkan ada flyer yang isinya apa yang lagi happening disana.

Iri banget bagaimana pemerintahnya mengelola pariwisata dengan ok. Lihat situsnya aja udah tertarik. http://www.yoursingapore.com

Pesta kembang api saat pergantian tahun, wow, keren… cantik sekali. Bagian yang paling saya suka adalah ketika efek kembang api nya berkelap kelip seperti bintang di kegelapan. Tapi kelap kelipnya lebih besar dan lebih cepat. atau kembang api yang setelah meledak, percikannya tidak menyebar luar, namun turun seperti air terjun… speechless.

Dan tempat yang paling saya nikmati tentu saja Universal Studio. Begitu masuk, saya langsung mengambil peta, dan melangkahkan kaki dengan cepat menuju rollercoaster yang terkenal. Battlestar Galaktica.

Jauh sebelum berangkat, sebenarnya saya sudah tahu tentang permainan itu. Saya juga sempat googling melihat blog orang2 yang pernah naik. Dan saya semakin penasaran.

Kami beramai-ramai hendak mencoba permainan uji adrenalin ini. Jujur saya ga ngerti, di rombongan kami yang 9 orang ini. Sebenarnya selain saya, Mas Edi, dan Fathur, mereka ini tahu ga sih bakalan seperti apa nantinya. Tapi rasa excitement saya udah ga peduli soal itu. Si Reta kelihatan banget ga ngeh ini permainan apa sih. Memang diluar kita bisa lihat keretanya meluncur dengan cepat. Yaa, ala di Dufan gitu deh…

Setelah mengantri lumayan lama, tiba lah giliran kami. Sayangnya kami ga dapat tempat paling depan.

Battlestar Galaktica adalah permainan rollercoaster yang namanya diambil dari film dengan judul yang sama. Ceritanya manusia melawan alien. Diwujudkan dalam permainan itu. Ada kereta yang menggambarkan alien (Cyclon) dan Human. Di Alien, kaki kita menggantung bebas. Hp, kaca mata, kamera, sandal, wajib lepas atau dititipin. Kalo Human, keretanya ada pijakan kakinya.

Kereta meluncur dengan kecepatan kira-kira 90KM/jam. Human dan Alien meluncur secara bersamaan. Jadi kesannya bertarung di angkasa. Track nya aja yang beda.

Setelah naik Alien, kami langsung lari masuk Human, ngantri lagi. Tapi di Human, kami dapat duduk paling depan. Seru bangetsss… tapi Alien lebih oke, secara ada lintasan yang membuat kita terbalik sempurna. Kita juga diputar-putar. Pokoknya kita ga tahu mana langit mana bumi. Sedang Human ga ada acara diputar 360 derajat gitu.

Turun dari Alien, beberapa diantara kami langsung lunglai, lemes, tak berdaya, si Arya kehilangan kaca matanya karena jatuh. Si Reta senewen ga karuan.

Battlestar Galactica – Human –

Setelah itu, kami menuju Piramida. Naik the Revenge of the Mummy. Roller coaster lagi. Bedanya, yang ini dalam kegelapan. Keren top markotop. Awalnya kereta berjalan biasa, di kanan kiri ada mummy yang tiba-tiba bangkit. Ala rumah hantu gitu. Tapi tiba-tiba kereta meluncur agak cepat dan “menabrak” dinding. Tiba-tiba kereta kami ditarik ke belakang dengan cepat. Berhenti, lalu berputar. Dan mulailah meluncur dalam kegelapan. Ya, dalam kegelapan. Nyaris ga bisa lihat apa2. Sesekali lampu di flash dengan efek seram ala mummy. Selebihnya, kita ga bakalan tahu ini kereta akan muter atau turun atau naik atau kita diputer. Udah, nikmati aja.

Eh, bisa dibilang kami beruntung. Karena kami masuknya lewat pintu single player. Yang mana yang naik bukan rombongan. Sedang kami bersebelas. Pantesan, kok di sisi line kanan kami, orang-orang pada ngantri. Kami kok lempeng aja jalan ke depan. Sampai di TKP. Kami langsung di barisan paling depan. Tapi Karena single player, aturannya yang naik dari line kami adalah satu per satu. Thank to Mas Edy yang booingin petugasnya. Akhirnya kami semua diperbolehkan naik. Padahal, jika kami ikut line ngantri, bisa hampir sejam loh. Eh, itu kami ngantri ga sampe 10 menit.

Thank juga buat mbak petugasnya yang cepet ambil keputusan.

Puas memanjakan adrenalin. Kami pun istirahat, foto-fotoan. Makan siang. Lalu lanjut nonton water world yang keren. Pertunjukkan air yang bisa membuat penonton basah. Syukur Alhamdulillah saya ga kena semprot atau diguyur air. Jujur saya lebih takut tersiram air daripada naik Battlestar. Soalnya saya Cuma bawa 1 celana jeans panjang untuk 4 hari tour. Hahah

FYI : diantara semua peserta tour, barang bawaan saya paling minim. Saya Cuma pake tas backpack item sehari hari, isinya 4 kaos, 1 kemeja, 1 boxer, dan 5 celana dalam. Tambah 1 sandal. Udah itu aja. Bahkan masih banyak ruang di tas saya. Soalnya saya paling ogah ribet dengan barang bawaan. Kalo jalan-jalan atau kemana gitu, saya usahakan bawa barang/baju seminim mungkin. Satu tas sudah cukup. Tas backpack juga enak karena bisa diboyong kemana-mana sementara tangan bisa melakukan kegiatan lain.

 

Well, ke luar negeri gratis itu enak banget. Hahaha. Walau ada rasa kurang puas karena waktu yang habis di jalan. Mau complain pun kok kesannya ga terima kasih banget.

Seperti perjalanan lain saya, nikmati aja. Apapun yang terjadi, justru itu nilai serunya. The X factor nya.

Mendarat di Surabaya hari Minggu, 1 januari jam 11.30 malam. Sampai rumah jam 12 an. Esoknya, kami masuk kerja jam 8 pagi. Oh…. Saya pun terkena Post holiday Syndrome. Kerja ga semangat blas, males puol, ngantuk, bengong dan senyam senyum sendiri mengingat hal-hal yang lucu dan seru. Dan itu berlangsung selama seminggu.

 

Burung Goreng dari Siantar

burung goreng

Burung goreng yang satu ini benar-benar maknyus. MAtep Puol!!!

Nggak rugi makan walaupun dagingnya ga banyak dan harganya yang cukup mahal. satu ekor burung Rp. 13.000,-

Dimana? Rumah makan Beringin, kampung Beringin, Pematang Siantar, Sumatera Utara. Rumah makan yang sederhana ini ternyata mampu menyajikan burung punai goreng yang lezat banget. Bumbunya meresap ke dalam dagingnya yang memang yang ga banyak. Tidak digoreng kering membuatnya lebih enak –saya ga suka kalo makanan yang berdaging digoreng sampai keriiiing banget, dagingnya jadi keras dan alot–

Dalam sehari, menurut penjualnya, mereka bisa menjual 500 ekor burung goreng!!! burung-burung tersebut mereka dapat dari para pengumpul burung punai. Dalam artian, mereka tidak membudidayakan burung itu sendiri, tapi dapat dari supplier. Nah, Suppliernya ini ternyata juga tidak berasal dari satu sumber aja, karena warung ini menerima orang2 yang menjual burung pada mereka. Namun ada supplier yang memang membudidayakan burung ini. Sayangnya, saya tidak sempat melihat burung punai ini dalam keadaan hidup secara langsung.

rumah makan ini tidak hanya menyediakan burung goreng, disana juga menyediakan nasi padang, yang rasanya juga enak.

Kalo anda dalam perjalanan menuju danau Toba melewati rute Medan – Siantar, cobalah menu ini.. hey, seberapa sering anda makan daging burung. huh?