Surabaya Heritage – City Sightseeing

Dalam rangka merayakan hubungan saya dan pacar yang entah keberapa, kami mengikuti city tour gratis yang diadakan atas kerja sama House of Sampoerna dan Suara Surabaya FM.

House of Sampoerna

Surabaya Heritage Track

Nama tour tersebut adalah Surabaya Heritage Track. Orang-orang Surabaya pasti tahu hal ini. Program jalan-jalan gratis ini diadakan setiap hari dengan jadwal track yang berbeda. Untuk informasi lebih lengkap, anda bisa menghubungi langsung House of Sampoerna, atau bisa mengunjungi situsnya di http://houseofsampoerna.museum/e_sht_main.htm

Surabaya Heritage – The Bus (from Google Picture)

 

Baiklah, kami para tracker ikut track pada hari Minggu setelah beberapa kali mencoba mendaftar selalu penuh. Track dimulai jam 1 siang. Namun kami harus datang 30 menit sebelum keberangkatan untuk mengambil tiket. Setiap tiket disertai peta yang menunjukkan rute track.

Track weekend kali itu adalah perjalanan dari House of Sampoerna – Balai Pemuda – Gedung kesenian Cak Durasim. Perjalanan singkat selama 1,5 jam. Tapi lumayan seru loh. Jika pas ingin jalan – jalan tapi malas keluar kota, bosan dengan mall, kenapa tidak mencoba track ini. Gratis pula.

Dalam satu bus kapasitasnya 20 orang. Bis merah dengan motif “Surabaya” di bodinya itu nyaman loh. Dan seperti layaknya sebuah tur, track ini dipandu oleh seorang guide.

Si mas guide bercerita singkat dan menerangkan beberapa bangunan bersejarah yang sengaja dilewati dalam rute track ini. Namanya juga Surabaya Heritage, bintang utama disini memang adalah bangunan – bangunan bersejarah. Dimulai dari House of Sampoerna itu sendiri yang memang merupakan bangunan bersejarah yang menjadi saksi lahirnya sebuah perusahaan rokok terbesar di Indonesia. Dari sana kami melewati jalan Rajawali hingga Tugu Pahlawan, dimana sepanjang jalan itu, berdiri bangunan – bangunan tua bersejarah.

Memang ga rugi ikut track ini, saya jadi tahu banyak hal baru yang sebelumnya ga pernah disangka. Siapa menyangka bahwa ternyata ga jauh dari kosan saya, ada Museum Bank Indonesia, dan banyak gedung-gedung bagus buat foto – fotoan? Sayang kemarin Cuma lewat, kalo mampir, pasti jepret – jepret dah. 😛

Di Balai Pemuda sendiri, informasi tentang pariwisata Surabaya dan jawa Timur ada, karena disini lah Tourism Information Center Surabaya. Oh ya, disana juga jualan souvenir. Kalau di Gedung Cak Durasim, kami hanya mampir ngadem, sambil foto – fotoan tentunya. Di gedung ini, berbagai macam pertunjukan kesenian ditampilkan. Jadwalnya ditampilkan di papan pengumumannya. Sayangnya, hari itu tidak ada agenda pertunjukan, jadi suasananya sepi.

Yang menarik dari track ini sebenarnya adalah perjalanan itu sendiri. Mendengar penjelasan mas guide, seperti belajar sejarah. Dan membuka mata juga, bagaimana tidak, jalan yang sering saya lewati, ternyata memiliki nilai sejarah yang tinggi. Bangunan – bangunan yang berdiri di pinggir jalan itu ternyata dulunya sangat penting. Punya nama. Seperti tembok panjang di jalan kali sosok, dulu saya pikir itu adalah media ekspresi anak muda yang disetujui oleh pemkot untuk membuat graffiti di tembok itu, eh, ternyata dibalik tembok itu adalah bekas Penjara Kalisosok, yang pernah memenjarakan HOS Cokroaminoto!! Lalu gedung PTPN XI yang ternyata materialnya didatangkan langsung dari Belanda dengan menggunakan kapal. Gereja Katolik Kepanjen yang merupakan gereja tertua di Surabaya, baru sadar ternyata letaknya dekat Indrapura, belakang Kantor Pos Surabaya. Balai Pemuda (dulu Simpangsche Societeit) rupanya adalah tempat hiburan bagi orang – orang Belanda. Ya, mungkin seperti restoran Concordia di Malang yang sekarang menjadi Mall Sarinah. Dan ada alasan kenapa jalan Tunjungan begitu popular, sampai punya lagunya sendiri… dari kata kunjungan, jalan itu dulu sering dikunjungi orang-orang dari berbagai tempat. Dan tentu saja disana terdapat Hotel Mojopahit yang menjadi saksi sejarah perjuangan arek –arek Suroboyo. Dan White Laidlaw, pusat perbelanjaan sejak jaman kemerdekaan di Surabaya yang kini jadi Tunjungan City, atau lebih dikenal dengan gedung SIOLA (singkatan dari Soemitro, Ing Wibisono, Ong, Liem, Ang). Masih disekitar Tunjungan, di Jalan Praban, ada sebuah makam seorang Joko Jumput, diyakini sebagai salah satu pendiri Kota Surabaya. Lokasinya nyempil diantara toko – toko. Kalau warga Surabaya ga tahu kebangetan banget dah.

Gereja Katolik – Kepanjen

SIOLA

 

Sebenarnya SHT ini punya rute lain, tapi di hari senin – Kamis, ada yang ke Tugu Pahlawan, atau rute Klenteng Hok Ang Kiong – Masjid Ampel. Pasti asik juga.

Oh ya, di House of Sampoerna nya sendiri, anda bisa menikmati museum sejarah tentang perusahaan itu. Space nya cukup luas, AC nya mantap, isinya juga bagus, dan aroma tembakau langsung menyapa hidung anda saat masuk. Museum itu diapit 2 bangunan, yang satu adalah rumah pendiri Sampoerna, dan sebuah café. Dibelakang Café itu ada art gallery nya. Parkir gratis dengan satpam yang ramah.

Jadi, jika anda orang Surabaya belum pernah kesini, boleh loh dimasukin ke agenda weekend anda. Tapi pastikan anda pesan dulu tiketnya dengan datang ke lokasi. Yang dari luar kota juga boleh. Surabaya ga cuma punya Mall, banyak tempat yang bisa dikunjungi. Lumayan, menikmati perjalanan dengan bonus wawasan baru.

Eh, ngomong – ngomong, tahu ga kalo kantor Kapoltabes Surabaya di jalan veteran dan Penjara Kalisosok itu dihubungkan dengan sebuah terowongan bawah tanah??

BEBEK DI TANAH GARAM

 

Bertepatan dengan hari ulang tahun saya yang ke 28 di hari Minggu lalu, 19 Juni 2011, saya berkesempatan untuk menginjakkan kaki di pulau Madura. Bersama dua orang teman tujuan utama kami adalah menyantap menu bebek di sebuah tempat makan yang konon terkenal. Namanya Sinjai, Jl. Raya Ketengen, Bangkalan, Madura.

Berangkat dari Surabaya jam 10.30 WIB. Kami berencana melewati jembatan Suramadu yang sebenarnya udah diresmikan cukup lama, tapi baru kali itulah kesempatan pertama saya melewati dan menyaksikannya secara langsung. Dan itu adalah tujuan nomer dua saya. Ya, ketika mendengar kabar diresmikan dan dibukanya jembatan yang menghubungkan Jawa (Surabaya) dan Pulau Madura itu, saat itu saya masih di Medan. Dan memang saya pernah menyaksikannya secara langsung, tapi saat itu saya berada di langit Surabaya alias di dalam pesawat.

Panjang jembatan itu 3 Km, kami tempuh hanya dalam waktu kurang dari 15 menit. Saya tidak tahu bagaimana suasana jembatan itu di hari kerja. Apakah lengang seperti hari itu (MInggu) ataukah cukup sibuk? Dengan biaya sekali lewat Rp. 30.000,-/mobil yang rasanya agak mahal, tapi sebagai pengalaman pertama dalam hidup boleh lah. Apalagi tidak hanya pertama kali melewati jembatan itu, tapi juga untuk pertama kalinya saya ke Pulau Madura, Pulau garam kata orang.  Kata teman saya kalo malam hari lebih bagus kelihatannya karena ada efek cahaya. Tapi bagi saya, bukan soal apakah bagus atau tidaknya, tetapi bagaimana saya bisa bersyukur bisa mendapat kesempatan itu.

Begitu keluar dari Suramadu dan menyentuh tanah Madura, kami disambut pemandangan para pedagang suvenir2  yang berjajar panjangdi sisi kiri dan kanan jalan. Mereka memiliki kios2 yang semi permanen. Diantara kios2 itu ada tempat semacam balai-balai terbuka yang rupanya digunakan para pengendara mobil atau motor untuk beristirahat sejenak sebelum melanjutkan perjalanan.

Jalanan masih mulus dan lumayan panjang untuk sampai ke Bangkalan. Di sepanjang perjalanan itu di kanan kiri hanya ada sawah yang mengering, dan lahan kering. Tumbuhan2 yang masih kuat berdiri diatas tanah yang tampaknya gersang.  Nyaris belum ada bangunan disitu. Jika kita ke gunung, kita disuguhi pemandangan tumbuhan-tumbuhan hijau yang rimbun dan segar, tapi disitu, memang ada tumbuhan, tapi kering dan sepertinya kehidupan malas mengisinya. Yah, itu penilaian awal saja karena baru sekali itu toh melewatinya. Eh, kayaknya harga tanah masih murah tuh. Hehehe

Oh ya, jika anda melewati jalan itu, pastikan tangki motor dan mobil anda terisi cukup karena sepanjang jalan, dari ujung Jembatan hingga rumah makan di Jl. Raya ketengen, tidak ada POM Bensin… kami tidak menemukan ada POM Bensin di sepanjang jalan itu.

Maka sampailah kami di rumah makan yang konon terkenal itu. Rumah makan SInjai. Yap, luar biasa memang, di parkirannya saja mobil-mobil yang dijemur disitu rata-rata berplat luar kota seperti Surabaya, Mojokerto, Malang, bahkan ada yang Jakarta dan Jogja. Di dalam? Luar biasa juga, untuk memesan makanannya kita harus antri. Kami tiba disitu sekitar jam 12 teng teng. Hampir semua meja telah terisi. Wuih, antrian masih panjang loh. Dan ternyata, setelah kami tanya orang yang baru pesan, menu bebeknya sudah habis, tinggal jerohannya saja!! Dhuer!!! Apa ga ciut kami. Padahal rumah makan itu buka jam 10.00, jam 12 udah habis?? Gila…

Tanpa pikir panjang, yah, pertimbangannya daripada kami ngantri lama kepanasan, makan jerohan aja, itupun belum tentu dapet karena melihat antrian yang masih banyak, kami meluncur ke second option makan siang hari itu.

Adalah Rumah makan Tera Bulan (Dalam bahasa Madura berarti Terang Bulan), masih di Jalan Raya Ketengen no 69, Bangkalan. Kali ini suasananya sangat berbeda. Jika di Sinjai konsepnya terbuka (AC alami) dan pesan langsung ke konternya, Di Tera Bulan anda dimanja dengan dinginnya AC, ruangan yang bersih, dan konsep rumah makan modern. Pelayanannya sudah lumayan terstandarkan. Dan bagi anda yang doyan asap, ada kok ruangan khusus untuk menikmati hidangan lalu merokok. Mau bawa oleh-oleh dari Madura? Ada mini shop juga, menjual batik khas Madura, ikat kepala ala Madura bagi laki2, dan aneka cemilan tradisional.

Baiklah, kita lihat menunya.. hmmm, memang di dominasi bebek dan gurami. Bebek di goreng, di ungkep, di bumbu, di panggang, di goreng biasa tapi sambelnya nauzubillah, bebeknya diselimuti sambel yang ngelihatnya aja udah begidik ngeri – slogannya ga dimakan ngiler, dimakan meler – . Untuk gurami, ada yang di goreng, disambel, di sup, dibakar, di bumbu ini itu. Tapi karena tujuan kami adalah bebek. (Perasaan belum genap sebulan di Surabaya sudah bebek dimana-mana) Bebek goreng sambel apel (Rp. 11.000,-/potong), Bebek Ungkep (Harganya lupa), dan satu lagi Bebek Kretep (Lupa lagi harganya- secara bill nya dibuang).

Bebek sambel apel saya rasanya lumayan, dagingnya ga liat. Sambel apelnya juga biasa, rasa asemnya di dapat dari cuka. Yah, lumayan lah jika dibandingkan dengan yang dijual di warung kaki lima.

Bebek Goreng Sambel Apel

Bebek Kretep,……. Gimana ya, rasanya sih not bad lah, tapi komposisi bumbunya itu (saya belum bisa melacak susunannya, hahaha) membuat tipe menu ini harus dimakan dengan nasi, karena jika dimakan begitu saja, kecenderungannya bagi saya adalah cepet ngerasa eneg, apalagi jika sudah dingin.

Bebek Ungkep, sekilas penampilannya mirip bumbu opor, dan begitu dicicipi, bumbu kencurnya dominan sekali… not my type, tapi kata temen saya enak. Yah, kembali lagi ke dasar urusan cicip mencicip, beda lidah bisa beda rasa.

Bebek Ungkep

Bagi anda yang doyan makan banyak, porsi nasi untuk 3 orang di Tera Bulan tergolong sedikit loh…

Saya secara pribadi, jika berkesempatan mengunjungi Pulau ini, ingin mencoba Soto Madura, dan tentu saja, Sate Madura yang asli!! hahaha

Buka Puasa Gratis

Wah, tak terasa… ramadhan 1431 H sudah mendekati akhir… sedih untuk berpisah, karena kapan lagi bisa menumpuk amal? yah, di bulan-bulan setelah ramadhan sih masih bisa beramal, malah emang harus, tapi pahala di bulan ramadhan berlipat2. itulah yang bikin kangen…

Saya tidak membicarakan tentang amal di bulan ramadhan karena saya tidak dalam kapasitas itu untuk bicara… Seperti biasa, tentang pengalaman makan….

Beberapa kali buka puasa bersama ternyata menambah referensi saya tentang makanan2 yang melimpah ruah di Medan. Sebagian besar adalah tempat makan yang sudah pernah saya kunjungi, sebut saja seperti Bumbu Desa di Gajah Mada, Pantai Timur di Medan Fair, tempat baru seperti Ayam Penyet Surabaya Dr. Mansyur, dan De Waroeng Cambridge City Square (kari Ayamnya lebih enak daripada punya Fountain)

Namun kemarin undangan berbuka puasanya adalah di MAsjid Al Jihad, Jl. Abdullah Lubis, Medan. Yang ngajakin pacar sendiri sih, bersama seorang teman lagi. kata dia, buka puasa di masjid itu tidak hanya takjil, tapi juga dapet nasi bungkus. Nah, mengingat gajian yang belum juga ditransfer, akhirnya saya putuskan untuk nyari buka puasa gratis disitu.

Bayangan saya, yang akan hadir di buka bersama di masjid itu adalah orang-orang yang kurang mampu. Eh, ternyata salah. Dari yang saya perhatikan, ada mahasiswa2 yang mungkin anak kos, anak2 kecil dan bapak ibu yang mungkin tinggal di sekitar masjid tersebut, dan Ada juga loh, bapak-bapak dan Ibu-ibu yang naik mobil bagus, pake baju bagus…. hmmmm

Teh manis disusun berjajar di lantai membentuk garis yang membuat orang duduk bersila berhadapan. begitu menjelang azan, orang-orang semakin banyak. Sayangnya saya tidak punya kesempatan berbicara dengan panitia untuk bertanya tentang kegiatan ini. Setiap orang diberi 3 butir kurma sebagia takjil, dan 1 bungkus nasi berisi ayam goreng, sambal tempe teri. porsi dan rasanya ternyata pas bagi saya, tapi tidak bagi pacar saya dan beberapa orang. Saya mendengar seorang anak kecil bilang “Yah, sedikit kali nasinya”, dan yang bikin ngangkat alis, ada seorang bapak yang dari penampilannya sehat bugar dan makmur yang belum kebagian kurma, minta seorang anak kecil untuk meminta pada panitia, 3 buah kurma untuknya. Tentu kita tidak bisa ngejudge orang dari penampilannya. Tapi bapak itu HP nya BB!!

Sayangnya, begitu waktu maghrib tiba, saya kurang bisa menikmati santap berbuka, karena jarak antara waktu berbuka dan azan yang dikumandangkan ga lama, jadi makannya pun harus cepet supaya bisa sholat maghrib berjamaah. Mengingai tempat wudhu terbatas dengan jumlah orang sekian banyak.

Hmmmm, sesekali buka puasa gratisan boleh juga, tapi akan lebih baik jika buka puasa bersama itu tepat sasaran…

Makan gratis di Omlandia

Ketika memutuskan untuk mengadakan acara, apapun itu, traveling atau wisata kuliner, pasti lihat dulu kondisi dompet (kecuali kalo ditraktir atau bisa di klaim ke kantor, hahaha!)

Makan gratis itulah yang beberapa hari lalu saya nikmati. Lumayan, mumpung dibayarin kantor, milihnya ke restoran Omlandia, Hotel Deli River, jl Raya Namorambe. Restoran yang menyediakan menu western style (Belanda) dan asian.

Ruangannya terbuka dengan langit-langit yang cukup tinggi. Atmosfirnya sederhana dengan meja kayu dan kursi rotan yang udah tampak tua (emang tua sih), kesannya old fashion tapi pas banget dengan tema hotelnya yang kamarnya ala rumah jaman penjajahan dulu kala.

Dan, inilah menu yang kami pesan. Fish a la Omlandia yang memakai ikan Nila fillet digoreng tepung (kulit nya crunchy) disajikan dengan salad dan home made french fries. Makannya dengan saus sambal botolan. Tampilannya sederhana aja, nggak yg artistik gitu. Rasa ikannya juga biasa aja, cenderung kurang asin. Sayangnya, di meja makan tidak disediakan salt and pepper sebagaimana mestinya.  Harganya Rp. 44.9K

Next, Rice with Chicken Ragout, yang rasanya creamy (Tapi resep Ragout harusnya ga pake krim), lebih lumayan dari si Fish. harganya Rp. 36K.

Bitterballen : Rp. 15,7K

Corn Soup : Rp. 21.5K

Asiknya di Omlandia, makan sambil menikmati suasana yang tenang, unik dengan pemandangan rerimbunan tumbuhan disamping sungai Deli. Pas buat nge-date. Sayangnya, jauh banget dari pusat kota Medan…

Omlandia Restaurant