Puisi itu berjudul B29
February 7, 2015 Leave a comment
Seperti puisi tentang sebuah lukisan alam yang indah, tidak terlalu berlebihan jika B29 disebut sebagai Negeri diatas Awan. Keindahan yang memang mempesona. Letaknya yang lebih tinggi daripada gunung Bromo, menawarkan pemandangan yang elok. Terutama ketika momen berada “di atas” awan. Siapa tidak merasa di negeri diatas awan ketika gumpalan awan putih membentang di bawah kaki kita. Belum lagi ketika matahari terbit, cahayanya yang hangat melengkapi lukisan pagi oleh alam.
Namun, walau keindahan pemandangan di puncak B29 itu laksana puisi, perjalanan menuju kesana menawarkan cerita yang lain. Sebuah petualangan dan tantangan. Saya sebenarnya lebih adem naik Battlestar Galaktica di Universal Studio Singapore 10 kali dibanding naik ojek dibawah guyuran hujan menuju puncak B29. Yap, untuk menuju puncak bukit ini, anda bisa mencapainya dengan pilihan: motoran, hiking atau naik ojek.
Disebut B29 karena sebenarnya ia adalah dataran tinggi 2900m dpl. Terletak di desa Argosari, Lumajang. B29 merupakan bagian dari kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru.
Nah, Sebelum sampai di desa Argosari, starting poin menuju bukit B29, saya dan 2 teman saya naik ojek dari Pasar Senduro, Kota Lamongan. Kami memang sengaja memilih melakukan trip ini dengan menggunakan kendaraan umum. Dari pasar hingga desa Argosari ternyata jalannya sudah cukup bagus dan beraspal. Namun sayang, hujan mengguyur kota Lamongan sejak kami tiba disana sekitar jam 2 siang. Maka kamipun nekat ngojek dibawah hujan. Tukang ojeknya sih pake jas hujan, tapi kami hanya bermodal jaket biasa (bukan jaket gunung yang anti air), untungnya dari pasar hujan hanya gerimis walau intensitasnya lumayan sedang.
Jalan semakin meninggi, dan mulailah berkelok-kelok. Yap, tipikal jalan di gunung atau dataran tinggi. Badan jalan tidak terlalu besar dan berkelok-kelok. Semakin naik, kabut semakin menebal, hingga jarak pandang sangat dekat. Tukang ojek saya sampai mengurangi kecepatannya. Kami menerobos kabut tanpa tahu disebelah kanan atau kiri itu seperti apa. Kata tukang ojeknya sih pemandangannya bagus. Bahkan Semeru aja bisa kelihatan. Tapi kabut menutup itu semua. Duh, udah dingin, basah, dikelilingi kabut tebal, jalan yang menantang adrenalin, mantap.
Kami berhenti di desa Argosari. Tidak jauh dari Gapura desa. Kami menghangatkan badan dulu di sebuah warung sambil makan indomie kuah panas. Hujan masih belum berhenti. Pak Tukang ojek menawari pilihan menginap di rumah warga (Rp. 50.000 per orang per malam) atau langsung naik ke puncak dengan ongkos Rp. 80.000 per orang PP. Kalo tidak hujan bisa dinego jadi Rp. 50.000.
Setelah berdiskusi, kami memutuskan untuk nekat naik ke atas. Informasi yang kami dapatkan, diatas ada warung-warung yang buka 24 jam. Jadi kami berpikir, sudahlah, kita nongkrong aja di warung sampai fajar. Rencana awalnya sih mengejar momen sunset. Namun hujan udah keburu menghapusnya.
Jika perjalanan dari Pasar sudah beraspal, maka dari starting poin ke puncak, jalannya adalah Makadam. Masih tanah dan berbatu. Karena hujan, otomatis jalan menjadi basah dan licin. Modal nekat itupun berubah menjadi uji adrenalin saat ngojek menuju puncak. Bagaimana tidak, jalannya kecil, basah, banyak yang berlubang, dan ditepi jalan adalah bagian tanah yang curam. Mana tukang ojek nya sering memilih mengendarai motornya di bagian tepi jalan. Hanya sekian senti dari bibir jalan. Kalo motor itu terpeleset, bisa dipastikan saya atau teman-teman saya plus tukang ojeknya, jatuh ke bawah.
Dari pos desa Argosari menuju puncak jaraknya cukup jauh. Selama ngojek saya hanya bisa berdoa semoga tidak jatuh ke dasar bukit yang curam itu. Tapi sambil menikmati pemandangan yang hijau dan indah. Jadinya ngeri-ngeri sedap. Lalu kami pun diturunkan sekitar 2 km dari puncak, karena jalan semakin licin. Maka kamipun melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki. Untungnya, kali ini hujan sudah reda.
Tiba di area warung-warung ketika hari sudah gelap. Kami langsung mencari warung yang direkomendasikan oleh tukang ojek kami. Kebetulan saat itu ada beberapa anak UNAIR yang KKN di Probolinggo sedang ngetrip juga ke B29. Namun mereka batal pulang hari itu karena hujan. Singkat cerita, berkenalanlah kami dengan mereka. Berbagi pawon (semacam tungku untuk memasak dengan kayu sebagai bahan bakar) untuk menghangatkan badan. Untungnya, warung itu lumayan lebar untuk menampung kami. Beberapa anak tidur di dipan berselimut hangat. Ada yang tidur dibawah meja untuk jualan. Yang lain menghangatkan diri di perapian.
Melihat mas pemilik warung yang welcome, kami menyewa sleeping bag untuk tidur. Tidurnya diatas bangku di warung itu. Saya menyewa sleeping bag karena tidak tahan dinginnya malam. Dan asap dari perapian yang memedihkan mata. Lumayan bisa tidur sekitar 4 jam diatas bangku bambu. Tapi yah, tidurnya antara sadar dan ngantuk.
Sekitar jam setengah empat kami naik ke puncak. Jarak dari warung ke puncak dekat kok. Disana sudah banyak pengunjung yang mendirikan tenda-tenda. Kami membeber jas hujan salah seorang anak Unair sebagai alas duduk dan berbaring sambil memandang langit penuh bintang. Ya… setelah sekian lama, akhirnya saya bisa menyaksikan langit bertabur bintang. Sedang dibawah sana, kelap-kelip lampu kota juga tak kalah indahnya. Dari puncak, kami bisa melihat kota Lumajang yang masih terlelap, dan siluet gunung Batok dan Bromo.
Tak lama kemudian, perlahan-lahan, cahaya keemasan menyeruak diantara awan hitam. Good morning sunshine…
Walau awan yang terbentuk tidak sebanyak yang saya lihat diinternet, tapi tidak masalah. Karena lukisan pagi itu luar biasa. Udara pagi yang sejuk membelai mesra. Sinar mentari hadir menghangatkan jiwa. Semeru yang agung berdiri kokoh disana, menyapa para pecinta negeri ini. Dan keindahan yang terbentang di depan mata, menggetarkan hati. Ok, mungkin saya agak lebay, tapi Saya percaya, ketika menciptakan Bumi ini, Tuhan pasti sedang tersenyum.