KL Ekspress…

KL Ekspress berlokasi di daerah yg tertinggi di kota Malang, tentu bisa langsung dibayangkan bahwa resto ini menawarkan pemandangan yang bagus, suasana yang nyaman, dan udara yang sejuk. Bagaimana tidak, dibangun di Villa Puncak Tidar, Malang, salah satu perumahan elit di kota Malang. Jauh dari kebisingan jalan raya yang sesak oleh kendaraan.

KL Ekspress

KL Ekspress

Sayangnya saya mampir kesana saat malam hari. Memang pemandangan tidak dapet. Tapi harus diakui bahwa resto yang mengusung konsep cafeteria-kantin ini emang asik. Luas dan terbuka sehingga udara dengan mudah berganti. Karena di wilayah tinggi, maka udaranya emang sejuk dingin.

Pertama kali sampai sana, langsung aware kalo resto ini kelasnya menengah atas. Secara hampir semua pengunjung bermobil bagus. Karena saya celingukan kesana sini liat parkir motor isinya cuma sedikit.

Mungkin karena saya datang saat jam makan malam, jadi resto ini sangat ramai. Rata-rata pengunjungnya adalah keluarga. Ada yang membawa anak-anak. Jujur, kalo makan di resto keluarga yang rame, dan ada anak-anak yang berisik, saya cepat kehilangan selera. Walaupun resto itu kategori mahal. Ada sih yang rombongan anak-anak muda. Kayaknya sih mahasiswa Universitas Machung yang emang deket banget dengan resto ini. Dan beberapa anak muda yang sekedar nongkrong sambil ngebir.

Sebagian besar menunya masih seputar Chinese food. Tapi yang mencuri perhatian saya justru dim sum nya. Udang Mayonaise, Siomay goreng Udang, dan Gyoza nya enak banget… Harga seporsi satu macam dimsum Rp. 15rb an. Untuk minumnya saya pilih teh tarik hangat yang lumayan enak untuk kesejukan malam itu.

Udang Mayonaise

Udang Mayonaise

Karena resto ini buka 24 jam (katanya), maka kalo anak-anak muda ingin nongkrong, enaknya diatas jam 8 malam. Atau datang sore sekalian, jam 5 atau 6 sore. Kalo mau gaya-gayaan ngebir ya silakan, tapi kalo saya sih lebih suka menikmati minuman panas. Kalo ada angsle atau ronde lebih enak.

Untuk menu, bagi yang muslim hati-hati ya, karena beberapa menunya adalah bebong alias babi.

Mie Tarik Noodle Inc

I have told you once that I’m a noodle lover

Yes, saya adalah penggemar mie.  mulai dari mie instan yang murah meriah, hingga mie ramen di resto Jepang yang mahal. Untuk mie instan, sampai sekarang saya masih memfavoritkan produk-produk Indomie, terutama Mie instan Goreng Spesialnya. Mie dari jaman saya masih TK hingga sekarang. Yang rasanya nyaris tidak berubah. Tetep ngangenin.

Mie Ramen di resto Jepang seperti Sushi Tei enak, tapi mahal. Sayangnya, di resto-resto Jepang yang ada di Surabaya, menunya ada yang memakai daging B2. Yang mana otomatis saya tidak bisa menikmatinya. Seperti di Takigawa Tunjungan Plaza. Walau kata temen saya, mie ramennya endes pol.

Kalo mie goreng yang paling bersejarah itu adalah Mie Goreng Depot Goyang Lidah. Warung sederhana yang buka di Jalan Borobudur, Malang (Sebelum Pasar Blimbing) ini udah ada sejak jaman saya masih  TK. Depot ini menjual chinese food, tapi yang paling enak adalah mie gorengnya. Mie nya besar-besar, porsinya lumayan, rasanya manis uenak, dan harga terjangkau (Rp. 13,000).  Waktu kecil Bapak sering beli untuk dibawa pulang selepas beliau bekerja.

Dan sekarang, sepertinya saya mulai menyukai satu resto baru di Malang yang spesialisasi di Mie. Namanya Noodle Inc. Lokasinya di jalan Soekarno-Hatta Malang. Restonya terdiri dari 2 lantai, tapi lantai bawah lebih asik buat berlama-lama. Menunya tentu saja kreasi Mie. Ada juga sih menu sampingan seperti lumpia, dan dimsum, tapi pilihannya sedikit.

Yang keren dari tempat ini adalah Mie nya adalah homemade. Dibuat secara langsung di depan para penonton, eh, maksudnya, para pengunjung resto. Yap, restonya berkonsep semi open kitchen. Pengunjung bisa melihat mas nya yang manis itu, melempar, menarik adonan mie yang kayaknya sih lumayan berat. Jadi ya, suara adonan yang “dihantam” ke meja itu udah jadi bagian dari pertunjukan.

Rasa menunya… top markotop. Enak. Pilihannya sih beragam, tetapi saya baru mencoba mie tarik ayam dan mie tarik asam pedas. Selain mie nya yang kenyal, kuah mie tarik ayamnya juga pas banget bumbunya, ga lebay. Potongan ayamnya juga memuaskan, sayangnya, sayurnya kurang.. hehehe, cuma dapet 2 lembay bokcoy dan sebiji jamur shitake. Tapi untuk porsi yang cukup besar itu, sudah mantap.

Mie Tarik Ayam

Mie Tarik Ayam

Untuk level “pedas”nya, bisa memilih tidak pedas, sedang, pedas banget, atau sambel dipisah. Untuk menemani mie tarik ayam, saya pilih sambel dipisah. Ternyata, pake sambel rasanya lebih nendang. Tapi tentu saya menambahkan sedikit sekali sambalnya.

Mie tarik asam pedas juga ok. Kuahnya kental, perpaduan asam dan pedasnya juga ok. Pedasnya sih lumayan pedas bagi saya yang kurang suka pedas. Selain ayam, pilihannya ada daging sapi yang slice.

Mie Tarik Asam Pedas

Mie Tarik Asam Pedas

Untuk cemilan, si lumpia udangnya endes. Untuk pilihan minum beragam, tetapi saran saya, sebaiknya pilih minuman yang netral seperti es teh tawar atau air botol. Karena saya pribadi pasti merasa eneg kalau abis makan mie, minumannya terlalu manis. Well, kembali ke selera sih…

Harga untuk menunya terjangkau kok, seporsi mie tarik ayam hanya Rp. 19,000 dan mie tarik asam pedas Rp. 20,000. Mie tarik pake pangsit kayaknya juga enak tuh, kesana lagi ah….

IMG00853-20140420-1929IMG00848-20140420-1819

 

 

In Malang (1) – Sego Resek –

Walaupun saya hidup di Malang bertahun-tahun, jujur saya kurang mengenal kota kelahiran saya ini. Ok, dulu waktu masih jaman sekolah kadang keluyuran kesana sini. Namun sekedar main ke rumah temen atau main di mall. Kini setelah 4 tahun saya tinggal, tentu sudah banyak hal yang berubah. Kota kecil ini sudah mulai sesak jalan rayanya, sudah semakin banyak bangunan baru, dan bergeliat kehidupannya.

Karena itu, menikmati kota saya sendiri adalah hal yang sudah saya agendakan. Walau saya jarang jalan – jalan tiap kali pulang ke Malang sekarang. Namun tiap ada kesempatan, dan duit, langsung cabut.

Sabtu lalu saya diajak seorang teman untuk mencoba mencicipi Sego Resek (Nasi Sampah). Bukan, makanannya bukan terbuat dari sampah, melainkan warung tenda kaki lima ini berdiri di bekas tempat pembuangan sampah. Tidak ada aroma sampah. Lokasinya ga jauh dari perempatan Kasin.

Kami datang agak malam, dan antrian sudah cukup banyak. Untunglah kami dapat tempat duduk. Warungnya kecil, tapi yang ngantri cukup banyak. Padahal yang dijual hanya nasi goreng mawut. Kami makan di tempat, dan tidak menunggu lama hingga piring kami datang. Porsinya pas lah. Nasi gorengnya agak basah, berisi tauge, kol cincang,mie, telur ayam, daging ayam yang disuir-suir, dan potongan jerohan. Yang membedakan dengan nasi goreng lainnya. Nasi goreng ini tidak berwarna merah karena saus tomat itu, dan tidak memakai vetsin (MSG). warnanya memang pucat, secara penampilan, hmmmm, bisa dibilang memang terlalu biasa. Tapi rasanya enak kok.

Sambil makan, saya melihat bagaimana nasi tersebut dimasak. Luar biasa! Di wajan yang gede itu, nasi dimasak dalam jumlah yang besar. Karena pesanan pun juga banyak. Pertama-tama, sekilo tauge, lalu cincangan kol yang langsung memenuhi wajan, setelah itu baru mie dan nasinya dimasukkan ke wajan. Dan jumlahnya bisa 5 kiloan beras yang sudah jadi nasi. Jadi wajan segede itu penuh dengan nasi. Tak lama kemudian, si bapak pemilik warung dan sekaligus kokinya, menuang kaldu ke dalam wajan (pantas tampak basah), dan kecap manis. Lalu mulailah dia mengaduk-aduk nasinya.

Menurut mas yang membantu jualan, warung buka mulai jam 6 sore. Dan ketika kami datang sekitar jam 8, sudah masak nasi yang ke 7 kalinya!!!!!  Menurut teman saya pula, beberapa kali dia datang diatas jam 8, sudah habis. Apalagi saat itu adalah malam minggu. Rame-ramenya.

Harga nasi goreng mawut biasa RP. 6.000,-. Dengan jerohan Rp. 8.000,-

Warung ini sudah jualan sejak tahun 1958. Tapi warungnya masih kaki lima, tenda terpal, dan di pinggir jalan raya. Mungkiiin… ah, whatever

Perjalanan saya sabtu lalu berlanjut ke kawasan Jalan Soekarno Hatta, Malang. Wih, rame banget. Sepanjang jalan yang banyak berdiri ruko itu, kini penuh dengan penjual makanan, café, warkop lesehan, hingga berdiri rumah makan- rumah makan. Padahal dulu ga segitunya.

Asiknya, kini lebih banyak pilihan untuk nongkrong di kota dingin ini (Setidaknya saat malam hari). Ada beberapa pilihan malam itu, misalnya ke depan kampus SOB yang rame, di kawasan Universitas Brawijaya di Dinoyo yang berjajar warung kaki lima dan café – café kecil, dan Soetta. Kami memilih di Soetta.

Awalnya pingin ngopi, tapi karena semua warkop lesehan penuh sesak. (Malam itu ada acara nonton bola bareng rupanya), akhirnya kami parkir di depan Taman Krida Budaya. Dan duduk lesehan sambil menikmati Angsle dan Ronde.

Angsle adalah makanan berkuah santan, isinya ada sagu mutiara, ketan putih, kacang hijau, roti dan pethulo. Sedang Ronde adalah makanan berkuah bening, kuahnya air jahe, isinya kacang tanah yang disangrai, sagu, dan bola-bola putih dari ketan sebesar biji kelereng. ISinya kalo ga gula merah ya kacang. KEduanya disajikan dalam keadaan panas. Pas banget untuk malam yang dingin itu.

Antara Kondang Merak dan Balekambang

Setelah sekian lama berusaha mengingat pengalaman kecil ini. Maka inilah yang saya ingat. Dulu ketika saya kuliah pernah membuat catatan perjalanan. Namun kemarin ketika pulang kampung, setelah 4 tahun merantau ke pulau lain, saya cari-cari di lemari tidak ada. Dimana-mana juga tidak ada. Buku-buku bekas saya rupanya dikilo kan oleh bapak saya. Padahal ada buku agenda saya yang isinya mirip diary.

Kejadiannya saya lupa di tahun berapa, seingat saya semester 4 kuliah. Perjalanan ke pantai Kondang Merak yang ada di kabupaten Donomulyo, Malang Selatan. Tujuannya adalah camping.

Kami yang berangkat adalah Saya, Emon, Dani, Isa, Agus Maryono, Wahyu, Nizar, Husein, Dadang, dan dua orang cewek, Nita dan Aan. Sebenarnya rencana jalan-jalan ini sudah diumumkan di kelas kami jauh-jauh hari sebelumnya. Namun rupanya, tidak banyak yang tertarik. Maklum sih, soalnya kalo melihat tipikal teman-teman yang lain, tipe yang kurang suka berpetualang dalam hidupnya. Hehehe..

Persiapan pun dilakukan. Mobil carteran dapet dengan harga Rp. 200.000,- yang akan mengantar kami lalu menjemput kami pulang. Mobil carry putih itu menjemput kami pada hari jumat sore. Dan itu adalah jumat yang sama ketika untuk pertama kalinya saya jalan bareng sama FS (baca Dear FS…)

Kami berangkat dengan persiapan seadanya. Benar-benar sangat seadanya. Pemberhentian pertama kami adalah ke rumah Nita di Gondang Legi, Kabupaten Malang. Rupanya Nita sudah mempersiapkan bekal untuk dibawa ke lokasi berkemah. Tak lama kami disitu. Karena sudah terlalu sore, maka kami segera menuju lokasi pantai. Sejauh yang saya ingat, mendekati pantai yang belum dikelola dengan baik oleh pemerintah itu, akses kesana sangat memperihatinkan. Jalanan masih berbatu, gelap, nyaris tidak ada penerangan. Sekitar jam 7 malam kami tiba, itupun sangat gelap. Benar-benar pantai yang kurang diurus sebagai tempat wisata. Setelah kami membongkar perlengkapan dari mobil. Mobil itu pergi meninggalkan kami.

Setelah mendirikan dua tenda. Tenda untuk cewek berupa tenda parasut yang tertutup. Modelnya yang setengah bola itu. Karena ceweknya hanya ada dua, maka enak lah Nita dan Aan bisa nyaman tidur disitu. Sedang tenda untuk cowok, hanya berupa kain terpal yang disangga bamboo. Kalau pernah ikut Pramuka pasti tahu seperti apa bentuknya. Namun tenda ini tidak ada penutup di kedua “akses” masuknya. Di dalamnya, tas-tas kami dikumpulkan diatas tikar yang digelar sebagai tempat tidur.

Kami mendirikan tenda tidak terlalu jauh tapi juga tidak terlalu dekat dengan bibir pantai. DIkejauhan tampak satu dua bangunan. Setelah kami dekati rupanya warung dari anyaman bamboo. Sejauh mata memandang, hanya kegelapan yang mengepung kami. Bayangan-bayangan pohon dalam kegelapan menambah suasana lebih pekat.

Makan malam pertama kami cukup istimewa, karena bekal yang dibawa Nita dari rumahnya dibuka. Kami membuat api unggun sekaligus sebagai bahan bakar untuk memasak mie instan. Menu lengkap adalah Mie instan rebus yang dicampur daun ginseng bawaan Nita, nasi, dan ikan Betutu bakar. Saya tidak tahu apa nama latin ikan ini atau bahasa Inggrisnya. Menjelaskan bentuk ikannya pun agak susah. Seperti persilangan antara Lele dengan ikan Wader (ikan Wader pun ga tahu apa nama Inggrisnya.. huhuhu)  Bau nya amis, dagingnya sih terasa tajam seperti rasa daging ikan pari. Namun karena lapar dan itulah bahan makanan yang mewah, ditambah suasana keakraban diantara kami, maka makan malam itu pun sangat istimewa. Kami makan pakai tangan….

Sebelum tidur, kami sempat bermain air di pinggir pantai. Kebetulan airnya sedang surut. Sekalian gantian jaga malam. Kecuali kedua cewek itu, kami para cowok bergantian jaga. Tugas kami selain menjaga api unggun tetap menyala, juga harus menjaga kalau-kalau ada apa-apa. Saya kebagian shift kedua. Dari tengah malam sampai pagi. Bersama Dani, saya aktif mencari kayu-kayu kering  dan daun-daun kering sebagai bahan bakar api. Tidak banyak yang saya ingat ngapain aja malam itu. Yang pasti hingga fajar menyingsing.

Oh ya, urusan ke toilet juga sedikit masalah. Karena pantai Kondang Merak ini sangat memperihatinkan, maka satu-satunya kamar mandi umum saat itu, juga dipakai untuk beberapa penduduk sekitar yang ada. Walaupun entah rumahnya dimana. Kamar mandinya hanya berupa sekat-sekat dari dinding bata tanpa atap. Pintunya dari sebuah anyaman bamboo yang hanya ditutupkan jika ada yang memakai kamar mandi itu. Airnya harus mengambil dulu di sumur yang ada di dekat kamar mandi itu. Maka kamar mandi itupun hanya berfungsi sebagai tempat pipis, ga mungkin kami mau mandi disitu.

Pagi harinya, ketika sang Mentari sudah menghangatkan bumi Indonesia. Kami beraktifitas masing-masing sebelum akhirnya sarapan dipinggir pantai. Jarak lokasi kami ke bibir pantai sangat dekat. Karena air masih surut, kami santai-santai menikmati sisa ikan Betutu semalam.

Entah siapa yang memulai, anak-anak mulai main cebur-ceburan ke pantai. Padahal sarapan aja belum selesai. Jadi ya, abis sarapan langsung nyemplung ke pantai.  Satu per satu diceburkan ke air. Maka mandi pagi kami lengkap dengan pakaian di badan. Benar-benar seru…. Cukup lama loh kami berendam.

Seharian di hari Sabtu itu nyaris tidak banyak yang kami lakukan. Hanya bersantai-santai, jalan kesana sini. Tiduran, nyemplung ke pantai lagi. Berjemur. Makan siang. Sore hari, nyemplung lagi.

Malam harinya ini lebih seru. Karena makan malam kami sudah kehabisan stok bahan makanan. Maka kami hanya makan nasi yang dibeli tadi siang di warung terdekat. Lauknya mie rebus dan sayur daun ginseng. Kami berkumpul dalam tenda cowok duduk melingkar. Ditengah kami ada satu wadah plastic yang isinya campuran mie dan nasi. Dan sebuah sendok. Ya, kami makan secara bergantian menggunakan satu sendok itu, untuk semuanya, secara satu per satu. Sampai makanan itu habis. Sungguh kenikmatan yang tak tergantikan.

Keesokan harinya, kami tidak sarapan karena bahan makanan sudah tidak ada bahan makanan (Seingat saya Isa membawa biscuit dan itupun dibagi rata). Minggu pagi itu juga kami berkemas. Menggulung tenda. Bukan untuk langsung pulang. Karena mobil belum datang. Tapi kami akan melanjutkan perjalanan menuju pantai Balekambang. Yang letaknya tak jauh dari Kondang Merak. Saya tidak tahu jaraknya dalam angka. Yang pasti perjalanan kami kesana dengan jalan kaki terasa cukup lama.

Perjalanan itu melewati hutan yang masih alami, rute yang kami ambil adalah disekitar pesisir, jadi suara ombak masih terdengar. Bahkan kami sempat beristirahat di sebuah pantai yang masih sangat alami. Jika Kondang Merak masih dikunjungi para wisatawan local, maka pantai itu sepertinya jarang bahkan mungkin nyaris tidak pernah dikunjungi. Secara untuk kesana dari Kondang Merak harus melewati jalan setapak yang menerobos hutan dengan jarak yang lumayan. Saya tidak tahu apakah pantai dengan garis pantai yang tidak terlalu panjang itu masih sedemikian rupa atau tidak. Kondang Merak pun saat ini saya belum mendapat info terbarunya.

Sekitar jam 10 siang kami tiba di pantai Balekambang. Sambil menunggu mobil datang menjemput, kami jalan-jalan di sekitar situ. Kami memilih memasang tenda “darurat” untuk sholat dan tidur siang di dekat pantai namun terlindungi oleh rindangnya pepohonan. Disitu juga ada sebuah jembatan yang menghubungkan ke sebuah pulau kecil.

Saya ingat betul saya tidur siang dengan sangat nyenyak siang itu. Saya sempat berpikir, bakalan kelaparan karena bahan makanan sudah habis, dan kami hanya sarapan dengan biscuit. Ternyata syukur Alhamdulillah, entah siapa yang bawa duit lebih, membeli nasi pecel di warung terdekat di pantai itu. Saya ingat betul harga nasi pecel itu Rp. 1.500,-/ bungkus.

Pantai Balekambang lebih terkenal daripada Kondang Merak. Karena itu pada hari Minggu pantai ini lebih ramai. Akses menuju pantai ini pun sudah lumayan bagus. Sudah lebih banyak fasilitas umum untuk pengunjung. Walaupun masih kalah jauh pengelolaannya dengan pantai-pantai komersil lainnya, setidaknya untuk masyarakat local, sudah cukup sebagai tempat berwisata dan berpiknik.

Sore harinya, kami dijemput oleh Carry putih itu. Pulang ke Malang. Dan yang bisa saya ingat adalah, kami semua tertidur dengan nyenyaknya dalam mobil karena kelelahan.

Itu adalah salah satu petualangan saya yang tak akan terlupakan. Terima kasih teman-teman karena telah membawa saya dalam sebuah cerita sederhana namun tak lekang oleh waktu, setidaknya bagi saya pribadi.

 

The OSPEK

Salah satu momen yang penting dalam hidup saya. Walaupun masih ada pro dan kontra tentang ospek, di kampus saya akan kuliah, STIBA MALANG. Ospek dijalankan dengan masih mengikuti beberapa”tradisi” lama. Soal kekerasan, hanya secara verbal dan itupun masih dalam batas “wajar” seperti bentak-bentakan, tidak ada kekerasan secara fisik, tidak ada hukuman fisik. Para senior kami walaupun masang wajah garang-garang, kami tahu itu hanya bagian dari sandiwara mereka.

OSPEK kami dilakukan selama seminggu penuh. Mulai jam 6 pagi teng teng sampai jam 6 sore teng teng juga. Atribut masih bisa ditolerir karena jatuhnya ga lebay. Yang cowok pake kaos kaki 3 warna, hari terntentu pake sepatu putih polos (Saya pinjem sepatu keponakan – ada garis2 pink nya, saya tutup pake pita putih yang dilem castol) hari lain pake sepatu hitam. Yang cewek rambutnya diikat pake 3 warna pita sesuai kelompok.

Kelompok saya berpita hijau, saking bangganya kami memakai ijo, kami menyebut kelompok kami geng ijo, sesuai dengan iklan rokok di TV yang anggotanya kompak selalu. Semua kelompok dikumpulkan di aula utama (seingat saya ada 300an mahasiswa baru) duduk dilantai tanpa alas. Saya duduk agak ke belakang karena nama saya berawalan huruf R.

Yang lucu adalah tugas-tugas yang diberikan sengaja dianeh-anehkan. Seperti harus membawa mata sapi berkedip, “kacang panjang”, minuman coklat yg tidak mengandung cokat dan susu, telur kembar, cakar ayam berbentuk “peace”, Roti selai dan kupu-kupu. Dua yang terakhir emang biasa aja, tapi lucu. Kami sepakat supaya bisa kompak, ketika menerima tugas membawa roti selai, kami limpahkan tugas itu pada Nani, cewek berjilbab asal Makasaar. Dia sendiri yang mengajukan diri untuk mengemban tugas itu. Intinya adalah supaya kami saling menolong mengerjakan tugas lain, seperti ; merangkum berita liputan 6 malam SCTV, hasil diskusi di metro tv, dsb. (Saya kebagian mengerjakan merangkum liputan 6 malam SCTV bersama 5 orang lainnya)

Keesokan harinya, ketika jam 6 pagi kami dikumpulkan di gerbang, sebelum masuk ke aula, kami dicek dulu, mengumpulkan tugas-tugas. Disitu kami secara sembunyi-sembunyi saling membagi rotinya. OMG… kami pikir rotinya itu yang seperti Sari Roti 5000an itu, (Saat itu roti biasa yang ga bermerek ukuran bulet seperti Sari Roti harganya Cuma seribu) ternyata adalah roti tawar yang kotak2 itu, selembar roti dipotong jadi 4, trus diberi selai, satu bagian potongan tadi buat lapisannya, ala sandwich gitu. Trus dibungkus plastic gula yg seperempat kiloan itu. Apa ga kecut kami melihatnya…  secara satu lembar roti jadi 2 “sandwich” , masing-masing orang dapat 1 lagi!! bah, daripada ga bawa sama sekali.

Tibalah jam makan pagi, sekitar jam 8 seingat saya. Kami disuruh mengangkat tinggi-tinggi roti kami. Dan jreng, kami satu kelompok yang berjumlah 40 orang kompak sama rata semuanya. Kontan semua tatapan mata tertuju pada kami, saat yang lain bawa roti ukuran normal, bahkan ada yang jumbo, roti kami lebih mirip sandwich mini atau roti unyil.

Maka kami pun sekelompok semuanya dihukum berdiri di depan aula selama makan pagi itu. Alasan kami dihukum adalah, kompak sih boleh aja, tapi harus logis, untuk sarapan roti sekali telan gitu mana cukup sampai jam 1 siang nanti??? Mana minumnya hanya aqua gelas sebiji. Ga boleh bawa lebih.

Sejak itu sih tepatnya kami dijuluki ijo… kayaknya itu hari ke dua deh…

Lalu soal kupu-kupu, tugas di hari pertama ospek, selain tetek bengek yang lain. Kami diwajibkan membawa sepasang kupu-kupu tanpa merusak habitatnya. Hmm… sehari sebelumnya saya ajak bapak saya ke sawah untuk mencari kupu-kupu, dan Alhamdulillah gampang nangkapnya.

Hari pertama ospek… kami masih diperbolehkan membawa tas asli, bukan karung beras. Saya masukkan sepasang kupu-kupu tadi ke dalam plastic dan saya masukkan tas bersama tugas2 yang lain. Yaitu, membawa Koran bekas, 1 siung bawang putih, dan makanan untuk sarapan dan makan siang. Saya sempat lihat beberapa anak membawa kantong plastic berisi kupu-kupu hidup juga. Sementara di kelompok saya, kok malah ga ada yang bawa. Saya pun bertanya, “mana kupu-kupu kalian?” lalu seorang mengeluarkan dari sakunya, dua buah kupu-kupu kertas.

Oh My Gay…. Mampuslah aku, jadi itu maksudnya membawa kupu-kupu tanpa merusak habitatnya.. wah, alamat kena hukuman nih. Maka sepanjang acara materi ospek, saya tetap simpan kedua kupu-kupu saya di dalam tas. Saat pembekalan materi, saya tidak mendengarkan karena sibuk membuat kupu-kupu kertas seadanya. Satu betina dan satu jantan. Untuk membedakannya cukup saya beri lambang sex laki-laki dan wanita. Alhamdulillah, saat pengumpulan tugas kupu-kupu itu saya terbebas dari hukuman senior… Beberapa teman saya yang tahu hal itu hanya tertawa saja. Saat istirahat siang,.. “terbanglah wahai kupu-kupu, maaf aku mengurungmu semalaman dalam kantong plastic….”

Puncak dari acara Ospek adalah malam inaugurasi. Setiap kelompok, yang rupanya nanti juga akan menjadi teman-teman saya satu kelas selama 3 tahun lebih ke depan, wajib menampilkan sebuah persembahan pada acara penutupan. Acara itu akan diselenggarakan mulai jam 7 malam di hari terakhir, Sabtu. Jika Senin sampai Jumat kami dibebani dengan tugas-tugas yang menguras tenaga dan pikiran, maka pada hari Sabtu kami dibebaskan membawa bekal makanan terserah kami dan tak ada tugas satupun, namun kami diwajibkan focus pada apa yang akan kami sajikan di acara penutupan.

Maka, acara pun dimulai dari kelompok jurusan bahasa Perancis. Mereka menampilkan sebuah aksi teatrikal kolaborasi music dan koreografi gerak tubuh. Saya lupa apa lagu temanya, tapi saya ingat ada unsur kupu-kupunya. Kelompok lain rata-rata hanya menampilkan band. Kelompok Mandarin I menampilkan tari Bali, lalu ada yang pembacaan puisi.

Kelompok Ijo berencana menampilkan band juga, namun disertai sebuah pertunjukkan fashion show.

Setelah persiapan singkat backstage, band kelompok ijo mulai memainkan alat music, namun sesuai scenario, si Intan, the vocalist, ga nyanyi-nyanyi… saat itu lah kami muncul mengagetkan penonton dengan fashion show kami. Bukan sembarang fashion show… Busana nya bukan karya perancang terkenal, bukan.. tapi baju kebaya, daster, baju tidur. Dan yang tampil semuanya adalah para anggota kelompok laki-laki, termasuk aku. Saya kebagian mengenakan baju petani perempuan, pake kemeja yang jelek dan kain batik yang disarungkan kepinggang (OMG!!) supaya ga malu, saya pakai cadar biar orang-orang susah mengenaliku. Bagus memakai daster mamanya, badannya yg bongsor dengan daster xxxl aja udah bisa bikin ketawa. Yoseph yg dari Kupang mengenakan kebaya juga, lalu ada catur, satu-satunya cewek yang berani tampil, memakai baby doll, dan si emon, ketua kelompok kami, memakai handuk saja yang dililitkan melingkari pinggangnya, itu aja. Oh ya, asesorisnya adalah sikat gigi lengkap dengan odolnya, ya.. di atas catwalk dia menyikat giginya!!

Aksi di catwalk yang spontan dan tanpa scenario membuat penonton terkejut dan tertawa. Di akhir lagu, saat kami take a bow, saya ingat mendengar suara tepuk tangan yang ramai. Yes.. sukses!! Bahkan seorang senior bilang kalo pertunjukkan kami yang ala kadarnya itu paling seru. Sayangnya ga ada penghargaan untuk pertunjukkan terbaik, karena saya yakin pasti kelompok kami meraihnya.

Bagi teman-teman yang saat itu ga ikut ospek bener-bener rugi, karena melalui itulah, awal pertemanan kami dibangun. Awal dari banyak kisah yang akan kami lalui bersama. Ya, satu geng ijo itu. Lucunya, setelah resmi menyandang status mahasiswa, saya bersahabat baik dengan seorang teman bernama Fransisca Andriani, namun selama ospek, saya tidak pernah tahu yang namanya Fransisca. Padahal dia tahu saya betul. Mungkin karena dia duduknya didepan sesuai abjad kali ya, jadi saya kurang menghapal temen-teman satu kelompok yang duduk di depan. Bayangkan, kelompok ijo ada 40 orang, tapi duduknya dibuat berbaris dua dua kebelakang. Nama saya berawalan R.

Sampai sekarang, Fransisca yang biasa dipanggil Aan atau Anthung, tetap dan akan selalu menjadi sahabat saya. Dia lah yang pertama tahu saya gay, teman curhat saya, teman jalan, main, dsb. Juga teman satu kelompok mengerjakan tugas-tugas. Di akhir kuliah, dia lulus sebagai wisudawati terbaik, IPK nya dengan saya hanya selisih 0.02. hadeeeeh….

Tentu saja bukan hanya Aan yang menjadi sahabat, ada yang lain kok….